Bibit dan Chandra Bisa Diadili dalam Kasus Pemerasan
Hakim Banding Menangkan Anggodo
Posisi dua wakil ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah kembali terancam. Mereka bisa diadili dalam kasus pemerasan yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang. Sebab, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo mengenai penghentian kasus Bibit-Chandra melalui SKPP (surat ketetapan penghentian penuntutan).
Putusan tersebut merupakan kemenangan kedua Anggodo dalam menghadapi kejaksaan. Sebelumnya, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan dalam kasus yang sama. "Pengadilan tinggi pada prinsipnya setuju dengan alasan-alasan dan pertimbangan PN Jakarta Selatan," tutur Andi Samsan Nganro, juru bicara PT DKI Jakarta, kepada Jawa Pos tadi malam.
Putusan tingkat banding tersebut dijatuhkan kemarin (3/6) oleh majelis hakim yang diketuai Muchtar Ritonga. Majelis hakim itu beranggota I Putu Widnya dan Nasaruddin Tappo. "Memerintahkan kepada kejaksaan untuk melanjutkan perkara ke pengadilan," kata Andi, mengutip sebagian isi putusan tersebut.
Dia menguraikan, ada beberapa perbaikan dan penegasan majelis hakim PT dalam putusan tersebut. Antara lain, kedudukan Anggodo sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berhak mengajukan gugatan tersebut. Kedudukan itu sebelumnya diperdebatkan.
Dalam amar putusan, Anggodo yang bernama asli Ang Tju Nek tersebut masuk dalam kategori pihak ketiga yang berkepentingan. Alasannya, Bibit dan Chandra disangka dengan pasal tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan dan penyalahgunaan kekuasaan. Sedangkan Anggodo selama ini disangka mencoba menyuap pimpinan KPK. "Itu dua hal yang berkaitan," urai hakim kelahiran Sulawesi Selatan tersebut.
Penegasan lain terkait dengan alasan sosiologis yang digunakan oleh kejaksaan dalam menghentikan kasus Bibit-Chandra. Alasan tersebut dianggap tidak tepat karena kini tidak terjadi kekosongan hukum. Penggunaan alasan itu tidak sesuai dengan pasal 140 ayat 2 KUHAP sehingga SKPP dinilai tidak sah. "Namun, apabila ada situasi sosial politik yang mengkhawatirkan, seharusnya digunakan pengesampingan perkara (deponering, Red) demi kepentingan umum," terang Andi.
Terpisah, pengacara Anggodo, Bonaran Situmeang, menanggapi kemenangan kliennya tersebut dengan enteng. "Itu bukan kemenangan Pak Anggodo, melainkan kemenangan hukum dan rakyat kecil yang memperjuangkan hak di mata hukum," tutur Bonaran. Menurut dia, putusan tersebut membuktikan bahwa SKPP terhadap kasus yang sudah P-21 (lengkap) itu adalah tindakan yang melanggar hukum. Sebab, jika dinyatakan lengkap, kasus harus diteruskan ke tingkat pengadilan.
Bonaran mengimbau semua pihak yang terkait dengan kasus Bibit-Chandra menghormati putusan PT DKI Jakarta itu. Dia bahkan meminta Pengadilan Tipikor menangguhkan sidang kasus Anggodo. Sebab, kasus Bibit-Candra dan Anggodo sangat berkaitan. Seperti diketahui, Bibit-Chandra disangka memeras, sedangkan Anggodo disangka menyuap dua pimpinan KPK tersebut. "Mana yang benar? Tidak mungkin dalam satu kasus ada dua modus," papar dia.
Selain itu, lanjut dia, dalam dua kasus tersebut, kasus Bibit-Chandra diproses lebih dulu. Karena itu, kasus tersebut seharusnya disidangkan lebih dulu. Nah, dengan alasan-alasan itu, Bonaran meminta penahanan kliennya ditangguhkan. "Tidak adil kalau Anggodo tetap ditahan," imbuh pengacara senior tersebut.
Sementara itu, Kejagung enggan berkomentar banyak. Kejagung beralasan belum menerima salinan putusan tersebut. "Saya kan belum baca diktumnya, alasan-alasannya apa. Jadi, tunggu dulu," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) M. Amari ketika dihubungi koran ini.
Meski putusan banding dalam perkara praperadilan merupakan putusan akhir, Amari tidak menampik masih adanya langkah yang bisa ditempuh kejaksaan untuk tidak melanjutkan kasus itu ke pengadilan. Misalnya, melakukan deponering. "Kemungkinan-kemungkinan itu masih, tapi kan tidak bisa diputuskan sekarang," elak mantan kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat tersebut.
Ahmad Rifai, salah seorang kuasa hukum Bibit-Chandra, mengatakan bahwa putusan PT tersebut tidak usah terlalu dikhawatirkan. Menurut dia, jaksa memiliki kewenangan untuk melimpahkan perkara ke pengadilan atau tidak. "Jaksa yang bisa menilai, apakah ada bukti-bukti kuat atau tidak. Kalau dipaksakan, itu justru bertentangan dengan Undang-Undang Kejaksaan," ungkap dia. Artinya, lanjut dia, hakim tidak bisa memaksa untuk melimpahkan kasus tersebut ke pengadilan. Apalagi, ada pasal 35 huruf C UU Kejaksaan yang memungkinkan jaksa mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Dia justru mengkritik posisi Anggodo sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Menurut dia, hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 80 KUHAP. "Itulah yang seharusnya dipertanyakan, tapi kok malah dikuatkan (putusan PN, Red)," keluhnya. Rifai menuturkan telah berkomunikasi dengan Bibit. "Untuk sementara, Pak Bibit tidak mau komentar dulu sambil menunggu diterimanya putusan tersebut," jelas dia.
Di bagian lain, putusan PT itu membuat KPK ketir-ketir. Sebab, jika perkara dilanjutkan ke pengadilan, Bibit-Chandra harus nonaktif dari jabatan pimpinan lembaga superbodi tersebut. "Situasi pada 2009, kala tinggal dua pimpinan KPK, bisa terulang," ucap Juru Bicara KPK Johan Budi lirih.
Kala itu, setelah Antasari Azhar diberhentikan karena terlibat dalam kasus pembunuhan berencana, yang mengisi posisi pimpinan KPK tinggal Haryono Umar dan M. Jasin. "Situasi tersebut akan sangat melemahkan KPK dan menghambat penanganan perkara-perkara," ujar pria asal Mojokerto tersebut.
Saat ini beberapa kasus yang menarik perhatian publik memang ditangani KPK. Misalnya, perkara Bank Century dan kelanjutan kasus travellers cheques dalam pemilihan deputi gubernur senior Bank Indonesia.
Johan berharap kejaksaan tidak serta-merta menerima putusan banding tersebut, melainkan melakukan upaya hukum yang masih memungkinkan. Apakah itu deponering? "Apa pun itu," tegas Johan. (fal/kuh/c11/agm)
Sumber: Jawa Pos, 4 Juni 2010
-----------
Anggodo Menang Lagi
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas permohonan praperadilan yang diajukan Anggodo Widjojo. Meski ada perbaikan, PT DKI Jakarta menetapkan penghentian penuntutan perkara atas nama tersangka Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah yang diterbitkan kejaksaan tidak sah.
Putusan ditetapkan dalam sidang pada Kamis (3/6) di Jakarta. Majelis hakim banding diketuai M Ritonga dengan anggota I Putu Wignya dan Nasarudin Tappo.
Saat ini, Anggodo yang berstatus terdakwa sedang diadili di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Humas PT DKI Jakarta, Andi Samsan Nganro, putusan banding mewajibkan kejaksaan melanjutkan penuntutan perkara Bibit dan Chandra. Kedua Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu sebelumnya disangka menyalahgunakan wewenang dan upaya pemerasan.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus M Amari, Kamis malam, mengatakan, kejaksaan menunggu putusan itu diterima lebih dulu. Setelah dipelajari, kejaksaan akan menentukan sikap apakah perlu upaya hukum lanjutan atau tidak, misalnya mengajukan kasasi.
”Secara normatif, apakah boleh kasasi untuk putusan banding praperadilan?” kata Amari.
Hakim banding menjelaskan, Anggodo sebagai pemohon adalah pihak ketiga yang berkepentingan. Anggodo adalah terdakwa kasus upaya penyuapan terhadap pimpinan KPK, menyuap pimpinan KPK, dan menghalangi penyidikan korupsi. Anggodo adalah adik Anggoro Widjojo, tersangka korupsi sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan.
Dalam pokok perkara, alasan yang menyertai perkara Bibit dan Chandra jelas konstruksi hukumnya. Tak ada alasan bagi kejaksaan untuk menghentikan kasus itu dengan pertimbangan sosiologis. ”Dalam hal ini tidak ada ketentuan yang tak jelas dan saling bertentangan. Kejaksaan seyogianya menggunakan lembaga pengesampingan perkara demi kepentingan umum,” ujar Andi.
Pengesampingan perkara demi kepentingan umum (deponeering) adalah wewenang Jaksa Agung, yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Langkah kejaksaan dengan menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP) bertentangan dengan Pasal 140 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Namun, perbuatan melawan hukum itu bukan obyek praperadilan sehingga diktum menyatakan perbuatan itu melawan hukum ditiadakan.
Kuasa hukum Anggodo, Bonaran Situmeang, mengatakan, ”Ternyata penegakan hukum di Indonesia sesuai dengan hati nurani pencari keadilan. Ini soal hukum. Perkara yang sudah dinyatakan lengkap harus lanjut ke pengadilan.”
Taufik Basari, kuasa hukum Bibit dan Chandra, mengaku belum memperoleh salinan putusan itu. ”Kejaksaan harus bertanggung jawab atas putusan yang pernah dibuat,” katanya.
SKPP perkara Bibit dan Chandra diterbitkan kejaksaan 1 Desember 2009, yang ditandatangani Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Setia Untung Arimuladi.
Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis malam, berharap kejaksaan mencari upaya hukum lain guna menghentikan perkara Bibit-Chandra. Pasalnya, kasus Bibit-Chandra adalah bagian dari rekayasa untuk melemahkan KPK, sebagaimana terlihat dalam pemutaran rekaman pembicaraan Anggodo di Mahkamah Konstitusi, November 2009.
”Jika mereka tidak melakukan upaya hukum lain, jelas ini akan melemahkan KPK,” kata Johan.
Mantan anggota Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum terhadap Bibit dan Chandra, Todung Mulya Lubis, meminta Jaksa Agung mengesampingkan kasus Bibit-Chandra. Jika tak dihentikan, Bibit dan Chandra tak perlu ”mengemis” kepada kejaksaan dan bersiaplah menghadapi sidang.(aik/idr/sf/why)
Sumber: Kompas, 4 Juni 2010