Birokrasi di Tengah Korupsi
Semakin hari berita mengenai petinggi negara yang tertangkap atau diduga melakukan tindak korupsi bukan semakin surut,melainkan semakin ramai.Di saat yang sama, sikap abai petinggi republik, dari kalangan birokrasi, anggota Dewan, pemimpin masyarakat sipil (Islam atau sekuler) tingkat pusat atau daerah, terhadap berbagai soal yang dihadapi rakyat (kecil) juga semakin tajam.
Warga negeri ini seolah kehilangan arah ketika para pemimpinnya cenderung lebih mendahulukan kepentingan diri dan kelompoknya daripada memperjuangkan perbaikan nasib rakyatnya yang semakin menderita.Gejala ini bisa menjadi petunjuk sedang berlangsungnya frustrasi berbangsa warga negeri ini menghadapi berbagai problem kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya (baca: agama) dalam alam global yang semakin terbuka ini.
Frustrasi yang meluas dari warga negeri ini dipertunjukkan oleh sikap para orang tua murid SD di Tandes Surabaya yang secara berjamaah menghujat orang tua murid pelapor kecurangan berjamaah siswa SD tersebut yang mencontek bareng saat menjawab soal ujian.Kecenderungan “mengakali” sistem evaluasi proses belajar-mengajar di hampir semua sekolah hingga tingkat pendidikan tinggi negeri atau swasta, Islam atau sekuler, dilakukan oleh guru, pimpinan lembaga pendidikan, pengawas, dan pejabat berwewenang dalam bidang pendidikan, bahkan juga elite gerakan Islam.
Keculasan pendidikan, jika boleh disebut demikian, berlangsung secara sistematis melibatkan semua elemen pendidikan, termasuk orang yang selama ini sering bertindak atas nama Tuhan dan kesucian Tuhan itu sendiri. Dalam situasi kritis tersebut, jika kita sepakat demikian, terasa sejuk bagai meminum air sewindu saat mendengar berita tentang pejabat yang begitu peduli atas nasib rakyatnya.
Saking langkanya, berita demikian diterima dengan sikap setengah tak percaya, “Apa iya, masih ada pejabat yang bersikap arif,bijak,jujur, dan sekaligus memperjuangkan dengan sungguh perbaikan nasib rakyatnya,” sebagaimana celetuk lirih seorang tetangga setiap saat mendengar berita langka tersebut.
Kelangkaan sikap bijak itu bagaikan ikan purba yang seolah tibatiba muncul ke permukaan danau atau laut,melukiskan perilaku dan tradisi nenek-moyang yang di masa lalu menjadi mainstream, tetapi kini menjadi cemoohan karena terasa anehnya.
Melayani
Senin pagi tanggal 9 Mei 2011 di Kantor Komnas HAM Jakarta,melantun dua kalimat cerdas dan arif yang melukiskan barang langka dan kepurbaan di atas, salah satunya dari dua petinggi Polri, Kapolri dan Wakapolri. Kalimat pertama meluncur dari Wakapolri saat berbincang menunggu acara resmi penandatanganan MoU Polri-Komnas HAM dimulai.
Kalimat verbalnya memang tidak persis demikian, tetapi makna tersiratnya kirakira bisa dipahami dari paparan berikut ini saat menasihati prajurit Polri tentang bagaimana tugas Polri. Wakapolri ketika itu membuat suatu metafora dengan menyatakan,kira-kira kalimatnya seperti ini: “Kau tahu tugas pelayan atau pembantu?
Apakah pembantu pernah membantah perintah majikan saat memerintahkan melakukan pekerjaan tertentu? Itulah tugas Polri sebagai pelayan yang selalu setia melayani majikannya dan sang majikan itu tiada lain ialah rakyat.” Kalimat kedua melantun saat Kapolri Jenderal Drs Timur Pradopo memberi sambutan acara penandatanganan MoU Polri dan Komnas HAM.
Pak Timur, begitu ia biasa dipanggil, menjelaskan bahwa untuk memenuhi tugas Polri agar bisa bekerja secara profesional, Polri selain membutuhkan pengawas internal, juga memerlukan pengawas eksternal yang antara lain diperankan Komnas HAM. Ini niat pejabat yang secara sengaja meminta pihak lain untuk mengawasinya yang justru selama ini diberi stigma seolah selalu bersimpang jalan.
Beberapa minggu sebelum mendengar pernyataan kedua petinggi Polri tersebut,penulis berkesempatan bersilaturahmi kepada Wali Kota Yogyakarta dan Solo dalam rangka penelitian tentang PKL oleh Komnas HAM Subkomisi Penelitian dan Pengkajian. Kedua wali kota ini seolah sepakat menempatkan PKL sebagai aset bangsa dan investor yang utama bagi perekonomian daerah.
Bagaimana keduanya menata PKL di daerahnya tanpa menggusur atau jika tindakan kedua pejabat ini bisa disebut menggusur, bagai-mana PKL yang digusur itu justru kemudian bergembira, ini merupakan pertanyaan yang kadang tidak mudah dijelaskan. Berita tentang sikap petinggi negeri bidang penegakan hukum (Polri) dan pejabat daerah tersebut memang enak didengar, indah diperbincangkan, tapi tampak begitu susah dipraktikkan.
Etika birokrasi yang kini bagai barang purba itu memang indah dan menarik dibahas di seminar atau ditulis di koran dan buku, tetapi tidak mudah dilaksanakan oleh pejabat birokrasi dan pimpinan daerah lainnya.Alasannya baik karena kondisi daerah yang berbeda maupun latar belakang sosio-politik yang beragam.
Namun,jika saja ucapan dan sikap kedua petinggi Polri dan pejabat daerah terkait etika birokrasi itu secara konsisten dipenuhi serta paralel antara ucapan dan tindakan di sebarang waktu, kita bisa berharap negeri ini masih punya harapan untuk bangkit dan berjaya di tengah persaingan global yang makin sengit dan kompetitif.
Apalagi jika banyak lagi sikap danucapanserupayangbelum sempat kita dengar dari elite negeri ini. Sekurangnya dua peristiwa di lapangan itu bisa menjadi air sejuk di tengah kepongahan elite politik negeri ini saat berhadapan dengan banyak problem masyarakatnya.
Di saat warga negeri ini cenderung abai atas regulasi negara dengan “mengakali” aturan resmi dengan mencontek berjamaah, kehendak untuk diawasi dengan maksud memenuhi aturan main dari pejabat bidang penegakan hukum dan keamanan tersebut terasa menjadi semacam angin surga.
Mencontek berjamaah bukan sekadar soal regulasi negara, tetapi juga berkaitan dengan moralitas yang di negeri ini berbasis keagamaan.Mungkinkah kecenderungan demikian bisa diartikan sebagai suatu penanda bahwa konsep kebangsaan dan ketuhanan (baca: keagamaan) sedang menghadapi problem eksistensial?
Barangkali orang pinggir jalan atau peserta seminar dan istigasah di gardu ronda yang lebih bisa jujur menjawab tanpa risiko dihujat secara berjamaah.
ABDUL MUNIR MULKHAN Mantan Sekretaris PP Muhammadiyah, Anggota Komnas HAM RI, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 16 Juni 2011