Bisa Diikuti Pengusutan KPK
Sejumlah anggota panitia angket BBM DPR tak ingin kinerja tim investigasi kebijakan energi itu diintervensi berbagai pihak. Karena itu, salah seorang pengusul hak angket Dradjad Wibowo berharap proses kerja panitia angket bisa dibarengi dengan penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan penyelewengan di bidang perminyakan.
''KPK bisa masuk. Ada pintunya di UU,'' ujar Dradjad saat menerima wakil Indonesia Corruption Watch (ICW) di ruang Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) kompleks DPR/MPR Senayan, Jakarta, kemarin (17/7). Menurut dia, banyak data dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan temuan lembaga swadaya masyarakat yang bisa dijadikan dasar penyelidikan oleh KPK.
Dradjad mengusulkan agar KPK membentuk divisi khusus migas untuk membantu tugas panitia angket. Tim tersebut bisa bertukar data dengan panitia angket dan melakukan penyelidikan secara beriringan. ''Saya rasa panitia angket bisa mengundang siapa pun warga negara Indonesia, termasuk KPK, untuk dimintai keterangan,'' jelasnya.
Namun, Dradjad menegaskan, usulnya itu bukan dimaksudkan untuk mengintervensi KPK. Dia juga menyadari bahwa personel penyidik KPK terbatas dalam menangani banyaknya laporan kasus korupsi. ''Dengan kewenangan dan fasilitas penyelidikan yang memadai, KPK bisa bekerja dengan baik,'' jelasnya. Apalagi, lanjut dia, selama ini lembaga setinggi DPR itu tidak memperoleh akses data di bidang perminyakan.
Dalam kesempatan tersebut, ICW mengungkap sejumlah data dugaan penyelewengan yang dilakukan lembaga-lembaga perminyakan dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir. Kepala Pusat Data dan Dokumentasi ICW Firdaus Ilyas memaparkan, telah terjadi penyimpangan pengelolaan minyak yang merugikan negara hingga Rp 194 triliun. Kerugian tersebut merupakan akumulasi 2000-2007. ''Kami baru mendapatkan data sampai 2000 saja,'' jelasnya. Dia yakin, jika akses data bisa didapat sejak terjadi kontrak kerja minyak pertama 1965, kerugian negara bisa jauh lebih besar.
Firdaus menyatakan, indikasi korupsi penerimaan minyak senilai Rp 194 triliun muncul setelah ICW membandingkan data realisasi produksi minyak yang termuat dalam APBN dan data produksi minyak yang dilaporkan ESDM. Angka Rp 194 triliun didasarkan pada tidak dilaporkannya 160 juta barel minyak yang merupakan selisih angka produksi yang dikeluarkan ESDM dengan realisasi dalam APBN.(cak/tof)
Sumber: Jawa Pos, 18 Juli 2008