BK Opinikan Disclaimer
LK Pemerintah Tak Penuhi Kaidah Transparansi
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pantas gemas dengan laporan keuangan (LK) pemerintah pusat 2006. Dengan alasan tidak bisa meyakini data pendapatan pajak dan sulitnya mendapat akses data yang sifatnya lintas sektoral, Anwar Nasution menjatuhkan opini disclaimer terhadap kinerja pemerintah sepanjang tahun fiskal 2006 (Jawa Pos, 20/6/07).
Bagi institusi bisnis berlabel terbuka (Tbk), opini disclaimer adalah karpet merah menuju penjatuhan berbagai sanksi dan cemoohan publik. Dewan Board of Commissioner (BOC) dan Board of Director (BOD) langsung dihantam pemegang saham. Sebab, hal itu berimplikasi terhambatnya pemberian informasi ke publik sebagai kewajiban memenuhi UU Pasar Modal Nomor 8/1995.
Multiplier effect dari opini disclaimer adalah turunnya harga saham. Bagi Bapepam-LK, terbentang jalan untuk menjatuhkan sanksi denda dalam ukuran harian hingga LK dibereskan. Disclaimer memang merepotkan. Karena itu, perusahaan publik begitu berhati-hati dalam memenuhi prinsip standar akuntansi keuangan (SAK) agar terhindar dari audit ulang yang membutuhkan biaya ekstra.
Disclaimer bagi pemerintah -apalagi ini adalah opini ketiga BPK dan berturut-turut- tentu sangat memprihatinkan. Sebab, pemerintah sebagai otoritas tertinggi republik ini tidak compliance dengan standar yang ditetapkannya sendiri. Kesan yang timbul, birokrasi bekerja asal-asalan, semrawut, dan tidak memenuhi kaidah transparansi pengelolaan negara.
Subjek lain yang ditemukan auditor BPK ketika memeriksa keuangan negara adalah ditemukannya ribuan rekening liar yang bernilai hampir Rp 20 triliun. Masing-masing dari 35 kementerian atau lembaga negara yang memiliki ribuan rekening. Total rekening liar yang ditemukan sejak 2004 mencapai 5.591 buah. Karena nilainya sangat material, hal itu makin menguatkan keyakinan BPK tentang buruknya kualitas laporan keuangan pemerintah pada 2006.
BPK sudah memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menerapkan sistem single account agar transparansi anggaran termonitor. Namun. hingga tahun ketiga, temuannya tetap sama. Artinya, pemerintah sama sekali tidak menggubris rekomendasi pihak auditor. Temuan yang berulang demikian bisa berubah peringkatnya menjadi mayor finding dengan konsekuensi lepasnya asas transparansi republik ini.
Peran Koordinasi
Pendapat yang muncul dengan terulangnya opini disclaimer BPK memberikan sinyal kuat bahwa tidak ada koordinasi antarlembaga di tingkat pemerintah pusat. Masing-masing departemen dan lembaga negara secara parsial hanya fokus pada kewajiban internal tanpa mempertimbangkan bahwa hasil kerjanya menjadi beban departemen lain.
Karena itu, diperlukan peran koordinasi pada tingkat dengan kompleksitas yang lebih besar. Penanggung jawab laporan keuangan pemerintah tidak boleh hanya ditimpakan pada pundak direktur akuntansi dan pelaporan keuangan seorang, namun harus menjadi tanggung jawab dan konsekuensi bersama-sama.
Hal itu mengantisipasi tracking data yang kemungkinan besar lintas sektoral, seperti data pendapatan negara dari pajak. Lembaga negara yang mengurusi pajak mungkin hanya mengetahui besarnya dana pajak, sedangkan dinas perindustrian atau dinas lain memiliki data instansi wajib pajak beserta data pendukung lain.
Untuk memenuhi asas transparansi, BPK dan lembaga auditor pasti melakukan crossing data saat proses auditing. Auditor pada opening meeting mungkin hanya mengetahui bisnis proses dari penjelasan sekilas, namun pada tahap pengumpulan data akan sangat berbeda sehingga diperlukan peran koordinator. Tanpa koordinasi, auditor bisa melakukan interpretasi data secara sepihak sehingga menimbulkan konsekuensi finding.
Audit Tumpang Tindih
Audit lembaga negara dan BUMN merupakan hak negara untuk mengawasi kinerja keuangan dalam periode tertentu. Audit bisa mencegah penyelewengan sehingga aspek pelayanan kepada publik terpelihara. Audit juga bisa membantu proses bisnis bila menemui hambatan dan yang paling penting unsur legalnya terpenuhi.
Namun, audit di Indonesia juga harus dipikirkan kembali oleh lembaga berwenang. Sebab, satu objek publik dalam periode yang sama bisa diaudit lembaga berlainan. Mulai BPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), KPK, Tipikor (pada masa sebelum dibubarkan), auditor independen, kepolisian, hingga internal audit. Ironisnya, objek yang ditanyakan sama persis.
Rupanya, antarlembaga audit itu belum menemukan kata sepakat. Masing-masing meragukan kapabilitas yang lain, padahal sama-sama memiliki sertifikat profesi yang sah dan legal.
Akibatnya sungguh tidak adil karena waktu auditee habis dipakai untuk melayani auditor ketimbang produktif bekerja. Tumpang tindihnya audit seperti itu jelas-jelas mengingkari prinsip dasar auditing bahwa pelaksanaan audit tidak mengganggu proses bisnis.
Lemahnya Integrasi IT
Persoalan lain adalah lemahnya integrasi IT antara berbagai lembaga negara. Data masing-masing departemen berdiri sendiri sehingga matching data harus dilakukan secara manual. Hal itu mungkin menjadi hambatan terbesar BPK sehingga menemukan selisih anggaran Rp 3,4 triliun pada audit 2004 dan beda Rp1,9 triliun pada LK 2005.
BPK bukan satu-satunya lembaga yang mengeluhkan tidak terintegrasinya seluruh data-data negara. Lembaga peradilan, misalnya, juga tidak bisa mendeteksi sertifikat ganda tanah Meruya, Pasuruan, atau masih tertunggaknya masalah sengketa tanah yang mencapai 2.810 kasus.
Di sektor riil juga menemui hal yang sama, tidak kurang dari 1.366 perda produk daerah bertentangan dengan UU yang berkedudukan lebih tinggi. Akibatnya, calon investor yang hendak berinvestasi di Indonesia harus berhadapan dengan 52 jenis pajak pada objek sama.
IT memang bukan satu-satunya solusi, namun kemampuan IT menjadi bank data hingga miliaran informasi tentu saja sangat membantu. Paling tidak, IT bisa membantu eksekutif saat hendak mengambil keputusan strategis.
Effnu Subiyanto, mahasiswa Magister Manajemen UGM Jogjakarta (E-mail: effnu@sg.sggrp.com)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 22 Juni 2007