Bola Panas KPK
Di tengah upaya kekuatan-kekuatan politik di DPR untuk melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui usulan revisi UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, kinerja KPK masih luar biasa. Pada 21 April 2011 KPK menangkap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, pengusaha berinisial MEI, serta perempuan berinisial MRM di Kantor Menpora.
Di ruang Kantor Sesmenpora, tim KPK menemukan tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar, uang tunai 128.148 dollar AS, 13.070 dollar Australia, 1.955 euro, dan Rp 73,171 juta. Uang tunai dan cek itu diduga terkait dengan korupsi proyek pembangunan infrastruktur penyelenggaraan SEA Games 2011.
Hingga saat ini KPK masih menelusuri ke mana saja uang yang diberikan kepada Sesmenpora itu mengalir. MEI adalah salah seorang petinggi di PT Duta Graha Indah (DGI), perusahaan yang sedang mengerjakan proyek prasarana SEA Games 2011 di Palembang dan sekaligus perusahaan yang lolos prakualifikasi pembangunan gedung baru DPR. Ada dugaan petinggi PT DGI itu memiliki hubungan dekat dengan kader Partai Demokrat (Kompas, 26 April 2011).
Seperti diutarakan oleh Ketua KPK Busyro Muqoddas, hingga kini KPK masih mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain, termasuk atasan Wafid, Menpora Andi A Mallarangeng. Jika benar ada keterlibatan pihak lain yang juga menyangkut kader Partai Demokrat, ini merupakan titik awal untuk membongkar semua praktik korupsi yang terkait dengan Istana. Selama ini KPK belum mampu menyentuh pusat kekuasaan negara.
Saat Antasari Azhar menjadi Ketua KPK, dalam sebuah seminar di Cikini, Antasari pernah berjanji untuk mengusut semua kasus korupsi di pemerintahan, termasuk lingkungan Istana. Namun, sebelum upaya pemberantasan korupsi itu terlaksana, Antasari malah dijebloskan ke penjara. Tak cuma itu, pelemahan KPK berlanjut dengan tuduhan korupsi kepada dua komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Kini KPK di bawah kepemimpinan Busyro Muqoddas ibarat memegang bola panas. Persoalan korupsi di lingkungan Istana tidak hanya menyangkut Kantor Menpora semata, tetapi juga kasus pengadaan 16 kereta rel listrik (KRL) bekas asal Jepang senilai Rp 44,5 miliar. Belakangan proyek KRL eks Jepang itu dipertanyakan banyak kalangan karena dinilai kemahalan. Kasus ini menyangkut nama Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa yang akan berbesanan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam kaitannya dengan DPR, menurut Indonesia Corruption Watch, KPK sudah memproses 42 anggota DPR yang tersangkut delapan kasus korupsi. Jika kedelapan kasus ini diproses hingga tuntas, ICW memperkirakan ada lebih dari 100 anggota DPR yang terjerat. Beranikah KPK melanjutkan penelusurannya?
Pemburu rente
Persoalan korupsi di lingkungan pemerintahan, termasuk Istana, tidak hanya menyangkut pejabat, dari pejabat politik sampai pejabat struktural di lingkungan kementerian, tetapi terkait juga dengan partai politik. Sudah jadi rahasia umum, banyak partai politik yang memiliki menteri di kabinet memanfaatkan anggaran publik untuk mendanai kegiatan partai.
Seperti kita ketahui, anggaran partai politik dapat berasal dari iuran anggota (termasuk anggota DPR dan kabinet), sumbangan perusahaan, dan anggaran publik yang sah, seperti bantuan pemerintah kepada partai politik sesuai dengan nilai perolehan suara dalam pemilu. Namun, menggunakan anggaran publik dari kementerian tidak sah karena kegiatan partai disisipkan ke dalam daftar isian pelaksanaan anggaran kementerian.
Negara sampai saat ini adalah pemilik anggaran terbesar. Tidaklah mengherankan jika partai politik bagaikan pemburu rente yang berupaya masuk ke dalam koalisi pemerintahan agar bisa menikmati anggaran publik. Jika masuk memeriksa semua kementerian yang menterinya berasal dari partai politik, tidak mustahil KPK akan menemukan betapa banyak anggaran untuk kepentingan partai politik.
Dana publik yang digunakan partai politik bisa dalam bentuk kegiatan yang terkait dengan konstituen partai, anggaran rutin partai, kampanye pemilu, ataupun kegiatan untuk meningkatkan kapasitas politisi partai di perwakilan daerah.
Maka, korupsi yang sudah menggurita dan amat struktural ini harus dibongkar sampai ke akarnya. Dalam kaitan itu, dalam kasus temuan di Kantor Sesmenpora, jangan sampai Sesmenpora Wafid Muharam hanya dijadikan ”korban” dari seluruh korupsi di Kemenpora tersebut. Bisa saja ia adalah pejabat pengumpul dana yang diperintah oleh pejabat yang lebih tinggi, dalam hal ini menteri.
Tuntaskan penanganan
Pada era reformasi ini cara yang konvensional, yaitu meminta izin Presiden untuk memeriksa menteri, tampaknya sudah usang. Seperti dalam kasus banyaknya kepala daerah yang belum mendapat izin Presiden untuk diperiksa, ini justru menimbulkan tuduhan seolah-olah Presiden melindungi para kepala daerah tersebut, apalagi kalau mereka berasal dari partai yang sama dengan Presiden.
Kita harus tetap menganut asas praduga tidak bersalah terhadap pejabat struktural ataupun pejabat politik yang diduga tersangkut kasus korupsi. Namun, penyidikan KPK ke semua lembaga pemerintah kementerian dan nonkementerian perlu dilakukan agar penegakan hukum di negeri ini benar-benar terlaksana tanpa pandang bulu.
Masa kerja pimpinan KPK yang tinggal delapan bulan tampaknya harus benar-benar digunakan tidak saja untuk menolak revisi atas UU No 30/2002 tentang KPK—yang intinya semakin melemahkan KPK dan mengembalikan penegakan hukum kasus-kasus korupsi seperti dulu—tetapi juga bagaimana KPK dapat menuntaskan ”bola panas” korupsi yang menyerempet Istana.
Para komisioner KPK tak perlu takut pada bola panas yang mereka genggam karena rakyat pasti akan mendukung KPK sepenuh hati. KPK harus melakukan ”serangan balik” terhadap para politisi korup yang ingin melemahkannya. Inilah saat yang tepat bagi KPK untuk membuktikan bahwa institusi ini tetap tegas dan independen dari penguasa negeri.
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 29 April 2011