BPK Boleh Audit Biaya Perkara; Dilakukan setelah Kasus In Kracht
Keinginan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit biaya perkara yang masuk ke Mahkamah Agung (MA) sudah disetujui pemerintah. Itu akan dimasukkan dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta secara teknis diatur dalam peraturan pemerintah (PP).
Menurut Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Depkum dan HAM Wicipto, masalah tersebut sudah tercantum dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang sedang digodok. Salah satu poin penting RPP itu, katanya, BPK baru bisa melakukan audit bila sebuah perkara sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht).
Biaya perkara, jelasnya, adalah uang titipan pihak beperkara untuk membayar biaya yang keluar dalam pengurusan perkara, yakni biaya kepaniteraan dan administrasi perkara. Biaya adminstrasi itu termasuk biaya pengambilan putusan atau biaya pendaftaran. Besaran biaya perkara bervariasi per kasus, tergantung jenis dan proses beperkaranya, ujarnya.
Sebagaimana pernah diberitakan, Ketua BPK Anwar Nasution pernah menyebut pengutipan biaya perkara di MA itu sebagai pungli (pungutan liar). Bahkan, Anwar melaporkan MA ke polisi karena merasa lembaganya dihalangi untuk mengaudit. Masalah itu sempat menimbulkan ketegangan di antara kedua lembaga tinggi tersebut. Jalan keluar baru muncul setelah dilakukan pertemuan segi tiga BPK, MA, dan Presiden SBY. Jalan keluar dari ketegangan tersebut ialah dibentuknya PP yang memperbolehkan BPK mengaudit MA.
Wicipto menambahkan, aturan soal PNBP sebenarnya telah lama ada ketika administrasi MA digabung dengan Departemen Kehakiman, yakni PP No 26 Tahun 1999 tentang Besaran PNBP di Lingkungan Departemen Kehakiman. Administrasi MA yang satu atap dan permasalahan biaya perkara membuat pemerintah merasa perlu membuat aturan baru.
Bagaimana jika ada sisa? Menurut Wicipto, sisa biaya perkara akan dikembalikan kepada penyetor. Para pihak diberi tahu, jika dalam jangka waktu 180 hari uang itu tidak diambil, otomatis jadi milik negara, jelasnya.
Aturan tersebut, lanjut Wicipto, tidak berlaku mundur. Biaya perkara yang telanjur dipungut MA tanpa proses pertanggungjawaban lewat audit tak bisa lagi disinggung-singgung. Aturan ini baru berlaku kalau sudah ditandatangani presiden, tegasnya.
Terpisah, anggota BPK Baharuddin Aritonang mengungkapkan, meski RPP tersebut bisa disebut langkah maju, pihaknya tetap melakukan langkah hati-hati dalam mengaudit biaya perkara MA yang diatur setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Itu kan hanya muaranya. Kalau misalnya pihak beperkara titip sepuluh, kemudian tinggal tiga, itu juga harus dicek penggunaannya apa saja, katanya kepada Jawa Pos tadi malam.
Ditambahkan, sebaiknya audit dilakukan sejak awal ketika biaya perkara disetorkan agar jelas penggunaannya. Itu juga demi kebaikan MA, kita bantu dalam hal transparansi, ujarnya dengan logat Batak yang kental.
Bukan hanya soal waktu audit yang jadi ganjalan. Pengaturan biaya perkara melalui PP juga jadi masalah. Menurut pria berkacamata itu, BPK dan MA adalah lembaga tinggi negara yang sejajar dengan pemerintah. Tapi, kenapa soal itu pemerintah yang mengatur? tanyanya.
Menurut dia, keberadaan UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan, Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara seharusnya sudah cukup untuk jadi pintu masuk BPK mengaudit MA. Tapi sudahlah, daripada ribut-ribut, ujarnya lantas tertawa kecil.
Juru Bicara MA Djoko Sarwoko menjelaskan, lembaga peradilan tertinggi tersebut punya alasan dalam menarik biaya perkara. Sebab, tidak mungkin semua perkara diperlakukan seperti perkara pidana yang probono alias gratis. Pembebanan biaya perkara juga dilakukan untuk membatasi tumpukan perkara di MA.
MA menetapkan biaya perkara untuk kasasi perdata umum Rp 500.000 sejak 1 April 2002. Biaya perkara perdata dan TUN untuk tingkat PK ditetapkan melalui SK No KMA/042/SK/VIII/2002 yang ditandatangani Bagir Manan pada 20 Agustus 2001. SK itu menaikkan biaya perkara dari Rp 500.000 menjadi Rp 2,5 juta untuk permohonan PK perdata umum, perdata agama, dan TUN yang mulai berlaku pada 1 September 2001. Sedangkan biaya untuk perkara perdata niaga ditetapkan Rp 5 juta. (ein/tof)
Sumber: Jawa Pos, 14 Desember 2007