BPK Temukan Beberapa Proyek Molor sebabkan Utang Tambah Rp 2,02 T
Pemerintah harus menanggung pembengkakan beban utang berupa tambahan biaya sekitar Rp 2,02 triliun. Itu buntut keterlambatan pelaksanaan proyek selama ini. Temuan itu diungkapkan Ketua BPK Anwar Nasution saat penyerahan ikhtisar hasil pemeriksaan semester II-2008 kepada DPR di Jakarta kemarin (21/4).
BPK juga menemukan beberapa hasil proyek yang didanai utang luar negeri senilai Rp 438,47 miliar tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal. Penyebabnya, pemerintah masih lemah dalam perencanaan, koordinasi, dan pengawasan utang luar negeri.
Anwar menyimpulkan, sistem pengendalian pengelolaan utang luar negeri yang terkait realisasi, monitoring rekening khusus, dan pencatatan barang milik negara masih lemah. ''Prosedur perencanaan dan penarikan pinjaman yang telah dirancang tidak berjalan secara efektif," kata Anwar .
BPK juga menemukan klausul biaya asuransi, biaya komitmen, dan biaya jasa bank penatausahaan yang dipersyaratkan dalam naskah perjanjian telah menambah beban keuangan negara setidaknya Rp 36 miliar. BPK meminta perhatian serius pemerintah terkait sistem pencatatan utang luar negeri. Menurut Anwar, sistem saat ini belum dapat menghasilkan informasi mengenai utang luar negeri secara andal.
Ini menyebabkan ketiadaan sumber informasi mengenai posisi penarikan pinjaman yang dapat dipercaya pemerintah untuk mengambil keputusan secara meyakinkan. Auditor Utama Keuangan Negara II BPK Syafri Adnan Baharuddin mengatakan, uang negara Rp 2,02 triliun itu merupakan dana pendamping rupiah di APBN yang menjadi salah satu syarat pencairan pinjaman. ''Uang itu sudah keluar, tapi proyek tidak dapat dilaksanakan," kata Syafri.
Tambahan biaya dari uang negara tersebut bisa jadi lebih besar karena pemeriksaan BPK hanya mencakup 66 naskah pinjaman senilai Rp 45,29 triliun, atau hanya 4,94 persen dari total pinjaman. Pemeriksaan dilakukan pada pengelolaan pinjaman luar negeri di Departemen Keuangan, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, serta sembilan kementerian/lembaga lain, dan delapan BUMN.
Pemeriksaan atas pengelolaan utang tersebut merupakan salah satu dari audit khusus atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). Dalam hasil pemeriksaan semester II-2008, total temuan atas hasil PDTT itu mendekati Rp 30 triliun. Secara umum, kelemahan terletak pada sistem pengendalian intern (SPI) dan ketidakpatuhan terhadap perundang-perundangan. Akibat yang ditimbulkan adalah kerugian negara, kekurangan penerimaan, bahkan hingga indikasi tindak pidana korupsi dan kehutanan.
Temuan PDTT lain yang signifikan adalah pemeriksaan atas belanja yang menunjukkan kerugian pemerintah pusat Rp 25 miliar dan pada belanja pemerintah daerah Rp 253 miliar. Penyebabnya adalah adanya kelebihan pembayaran, rekanan tidak menyelesaikan pekerjaan, tuntutan perbendaharaan, pengadaan fiktif, pemahalan harga, dan spesifikasi barang tidak sesuai kontrak.
Pemeriksaan atas dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana pendidikan lain menunjukkan kelemahan desain dan implementasi berbagai program yang berpotensi merugikan keuangan negara. Sebanyak 2.592 sekolah tidak mencantumkan seluruh penerimaan dana BOS dan dana pendidikan lainnya senilai Rp 624 miliar.
Sementara itu, pelaksanaan kontrak kerja sama (KKS) Minyak dan Gas Bumi (migas) masih terus menuai masalah. BPK menemukan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 14,4 triliun pada pelaksanaan KKS migas 2007 dari hasil pemeriksaan terhadap lima Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Kekurangan penerimaan itu terjadi karena masih banyak biaya yang tidak diatur namun dimasukkan ke dalam cost recovery atau biaya yang ditanggung pemerintah.
Dari jumlah itu, Rp 14,40 triliun merupakan kekurangan penerimaan perhitungan kembali bagi hasil Pertamina Petrolium Contract (PPC) dan Kontrak Minyak dan Gas Pertamina (KMGBP) periode 2003-2007. Kekurangan itu terjadi sehubungan dengan koreksi alokasi biaya depresiasi yang diperhitungkan dalam cost recovery. Sedangkan temuan Rp 174,9 miliar merupakan koreksi perhityungan pada lima KKS Migas.
Anggota BPK Udju Djuhaeri merekomendasikan pemerintah untuk segera memperbaiki peraturan terkait KKS migas ini.(sof/iro)
Sumber: Jawa Pos, 22 April 2009