Budaya Amplop di Kota Besar [29/06/04]
Amplop agaknya telah menjadi budaya di DKI Jakarta. Tanpa menyiapkan uang di dalam amplop, urusan Anda akan terkatung-katung. Sebagai contoh, untuk mengurus kartu tanda penduduk yang khusus di Jakarta bebas pungutan, tetap dimintai biaya administrasi meski beberapa ribu rupiah. Begitu pun urusan lain, lebih lancar dengan uang pelicin.
Amplop tentu sekadar istilah bagi pemberian sejumlah uang kepada pihak yang telah mengurus kepentingan kita. Pemberian amplop ini laiknya ucapan terima kasih atas kelancaran layanan yang diberikan. Namun, tidak jarang praktiknya bukan sukarela, bahkan sering kali bagaikan pemerasan: jika tidak memberi imbalan, urusan terkatung-katung. Kendati tidak peduli apakah uang yang diberikan dimasukkan ke dalam amplop ataupun tanpa amplop, para penggemar amplop ini tampaknya masih memiliki harga diri sehingga tetap menggunakan istilah amplop.
Sebagai pegawai negeri (dosen), saya tumbuh di tengah budaya demikian. Tak jarang, pelbagai urusan di lingkungan kerja sendiri mesti menyiapkan uang pertanda terima kasih demi memperlancar memproses berkas. Bahkan, untuk mencairkan dana penelitian yang telah susah payah dimenangi, ujung-ujungnya akan tetap dikenai potongan sekian persen. Beragam alasan untuk pengesahan pemotongan.
Dengan latar belakang budaya demikian, saya pindah ke Malaysia karena melanjutkan pendidikan. Maklum, membawa anak yang masih belajar di SD, sehingga saya mesti mengurus pendaftaran mereka. Di masa awal pengurusan, birokrasi di Malaysia terasa begitu rumit dan merepotkan bagi orang Indonesia. Merepotkan? Birokrasi Malaysia menerapkan prosedur yang ketat. Semua prosedur ditempuh sendiri tanpa boleh diwakilkan. Pada setiap counter, orang yang memerlukan pelayanan mesti mengantre (istilah di Malaysia beratur) sesuai dengan nomor urut.
Untuk budaya antre ini Malaysia patut diacungi jempol. Berbeda dengan di Jakarta maupun kota besar lain di Indonesia, masyarakatnya memiliki disiplin tinggi. Begitu pun pada setiap counter pelayanan, baik di bank, kantor pos, hingga layanan publik lainnya disediakan mesin nomor. Tanpa mengambil nomor antrean, jangan harap dilayani. Tak ayal, di awal bermukim di Malaysia saya sempat membatin, Hidup orang Malaysia penuh dengan nomor antrean.
Hal tersebut, bagi sebagian orang Jakarta, tentu menyiksa. Lazimnya, orang Jakarta terbiasa menggunakan jasa calo untuk berurusan di counter layanan publik. Membeli tiket kereta api tak perlu mengikuti antrean yang mengular karena ada calo yang menawarkan tiket meski harganya lebih mahal. Begitu pun semua urusan bisa diselesaikan di bawah meja dengan budaya amplop.
Maka, selama beberapa hari saya terpaksa repot hilir mudik, berawal dari Kanwil Pendidikan untuk pendaftaran siswa, lalu pergi ke semacam kantor pendidikan untuk wilayah lebih kecil guna mendapatkan surat penempatan sekolah. Berdasarkan surat penempatan tersebut, pihak sekolah baru menerima calon siswa. Prosedur itu akan bertambah panjang bila menyangkut siswa dari negara asing karena sebelum diterima bersekolah mesti mendapatkan student pass dari pihak Imigrasi.
Berapa uang keluar karena melewati pelbagai meja birokrasi? Di awal masa pengurusan, saya yang terbiasa dengan budaya amplop, sempat kecut karena memikirkan banyaknya biaya kutipan yang harus dikeluarkan. Maka, begitu urusan selesai di kantor pertama, saya telah menyiapkan uang di amplop. Saya sungguh berdebar-debar membayangkan berapa ringgit yang akan melayang. Namun, petugas di layanan counter diam saja kendati saya telah menunggu permintaan uang pungutan. Belakangan, saya baru mengetahui bahwa memang sama sekali tidak ada pungutan kecuali yang telah tertera pada butir peraturan.
Saya, orang Jakarta yang terbiasa dengan budaya amplop, sempat shock. Kenapa? Terkecuali membayar uang pendaftaran yang resmi dan student pass, tidak satu ringgit pun uang keluar untuk tambahan pungutan. Bayangkan: berapa kantor yang saya lalui tanpa pungutan amplop. Saya termangu, bahkan hati menggerung: Malaysia yang sama Melayunya dengan Indonesia, mengapa bisa lebih tertib menjalankan tugas dengan bersih? Sungguh, ini merupakan pengalaman pertama yang berkesan, mendapatkan pelayanan optimal tanpa harus mengeluarkan biaya ekstra.
Saya mengakui, sebagai orang Jakarta yang terbiasa bergegas, pengalaman mengikuti tahap prosedur satu per satu beserta mengantre sungguh menyiksa. Apalagi karena kita telah terbiasa menempuh jalan singkat yang ditawarkan budaya amplop. Tapi, perjuangan tersebut bila telah terbiasa seperti warga negara Malaysia tidak berarti banyak karena pelayanan di counter diusahakan efisien.
Kurang merebaknya budaya amplop seperti di Jakarta, agaknya, karena Kerajaan Malaysia keras menerapkan sanksi bagi aparatnya yang rasuah (korupsi). Jangankan meminta uang, memberikan uang suap pun akan ditindak. Petugas yang disodori uang dapat tersinggung dan melaporkan si pemberi kepada pihak yang berwajib. Hal tersebut menyebabkan orang mesti hati-hati ketika hendak menyodorkan amplop.
Pakar budaya Melayu dari Universiti Malaya, Bazrul B Bahaman, mengakui adanya aspek psikologis semacam itu di tengah masyarakat Malaysia. Di sini BPR (Badan Pencegah Rasuah) sangat ditakuti. Mereka memiliki kuasa penuh untuk menyelidik. Orang pun tanpa perlu mencantumkan identitas dapat melapor secara on-line, urai dosen di universitas tertua di Malaysia tersebut.
(N Mahdiyah Pengamat Masalah Perkotaan)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 29 Juni 2004