Buka 17 Rekening Polri
Majelis Komisioner Komisi Informasi Pusat memerintahkan Kepolisian Negara RI untuk memberikan informasi 17 nama pemilik rekening anggota kepolisian, termasuk besaran jumlahnya kepada Indonesia Corruption Watch. Majelis Komisioner KIP menilai alasan penolakan Polri untuk memberikan informasi itu tidak memadai dan tidak terbukti.
Putusan itu dibacakan Ketua Majelis Komisioner KIP Ahmad Alamsyah Saragih dalam sidang di gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Selasa (8/2). Ahmad didampingi anggota Majelis Komisioner KIP, Henny Widyaningsih dan Ramly Amin Simbolon.
Majelis Komisioner KIP juga menyatakan bahwa informasi 17 nama pemilik rekening anggota Polri dan besaran nilai yang dikategorikan wajar sesuai dengan pengumuman pihak Mabes Polri tanggal 23 Juli 2010 adalah informasi yang terbuka.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch sebagai pemohon mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi kepada KIP karena pihak Polri menolak memberikan informasi 17 nama pemilik rekening dari anggota Polri dan besaran nilai yang dikategorikan wajar oleh Polri.
Alasan penolakan Polri memberikan informasi tersebut kepada pihak lain, seperti ICW, antara lain adalah dapat menghambat penyelidikan dan penyidikan serta dapat mengungkap rahasia pribadi.
Dalam pertimbangannya, Majelis Komisioner KIP berpendapat dalil Polri (termohon) yang menolak memberikan informasi soal 17 rekening itu dengan menggunakan alasan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak memadai untuk dijadikan dasar penolakan pemberian informasi.
Menurut Majelis Komisioner, KIP, membuka informasi rekening 17 anggota Polri tersebut tidak terbukti dapat mengungkap rahasia pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Huruf h Angka 3 UU KIP. Membuka informasi rekening itu juga dinilai tak terbukti dapat menghambat penyelidikan dan penyidikan.
Perwakilan termohon, Brigadir Jenderal Iza Fadri mengatakan bahwa pihaknya menolak putusan Majelis Komisioner KIP dan akan mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah merilis ada transaksi keuangan mencurigakan pada 10 pegawai pajak, 15 pegawai Bea dan Cukai, serta seorang hakim pengadilan pajak dalam kurun waktu 2005-2010. PPATK mengakui, sebagian besar pegawai tersebut masih aktif.
Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan PPATK ke Polri dan Jaksa Agung mencapai lebih dari 1.000 transaksi. Di luar pegawai pajak, pegawai Bea dan Cukai, dan hakim pajak itu, PPATK juga melaporkan 15 transaksi keuangan mencurigakan milik pejabat Polri.
Setelah sidang, perwakilan pemohon, Tama S Langkun, mengatakan, ICW menerima putusan majelis hakim komisioner. Putusan itu memberikan angin segar bagi upaya membuat institusi Polri semakin transparan saat lembaga penegak hukum lain, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum dapat diandalkan untuk membuka 17 rekening anggota Polri.
Tama Langkun yang peduli terhadap kasus itu pernah dianiaya pada Juli 2010, sekitar pukul 03.45, di Jalan Duren Tiga Raya, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Namun, sampai saat ini belum jelas penanganan hukum terhadap kasus penganiayaan terhadap Tama.
Secara terpisah, Koordinator Divisi Hukum ICW Febridiansyah mengatakan, kepolisian seharusnya menunjukkan komitmen untuk transparan menyampaikan 17 pemilik rekening anggota Polri dan besaran nilainya.
”Kalau Kapolri berkomitmen membenahi institusi Polri yang lebih transparan, Kapolri sebaiknya sampaikan saja 17 rekening tersebut,” kata Febri. (FER)
Sumber: Kompas, 9 Februari 2011