Bukti Awal Ocehan Nazaruddin
Mabes Polri perlu didorong untuk secepatnya mengambil langkah-langkah strategis menyelidiki dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Nazaruddin
SIAPAPUN yang mengikuti perkembangan kasus Nazaruddin pasti geregetan. Mantan bendahara umum DPP Partai Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang itu terus ”bernyanyi” dari tempat persembunyiannya, entah di mana. Yang jelas, ocehannya itu membuat sejumlah tokoh negeri ini seperti kebakaran jenggot, walaupun mereka tetap berekspresi tenang, membantah satu per satu serangan tersebut.
Tokoh yang dimunculkan dalam ocehan Nazaruddin pun beragam, misalnya politikus seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh (Partai Demokrat), I Wayan Koster (PDIP), bahkan petinggi KPK seperti Chandra M Hamzah, Ade Chandra , dan Johan Budi SP, yang dituduhnya terlibat dalam persengkokolan membuat deal-deal tertentu dengan Anas.
Bahkan melalui tayangan sebuah TV swasta, Nazaruddin dengan penuh percaya diri menunjukkan kamera flashdisk ataupun keping CD yang disebutnya sebagai bukti-bukti pendukung. Meskipun secara internal KPK sudah meminta klarifikasi dari tiga petinggi lembaga itu yang diduga bersinggungan dengan Nazaruddin, sejatinya penyidik Mabes Polri harus tergerak untuk lebih proaktif, baik dalam upaya menangkap Nazaruddin (membantu KPK) maupun aktif menyelidiki kasus tersebut. Mengapa?
Pakar hukum dari UNS Prof Dr Adi Sulistiyono SH MH berpendapat ocehan Nazaruddin bisa dijadikan bukti awal (SM, 29/07/11). Dengan bukti awal itu, dalam konteks penyelidikan, penyidik Mabes Polri sejatinya sudah bisa melakukan legal action yaitu meminta konfirmasi dari pihak-pihak yang disebutkan oleh Nazaruddin ataupun pihak lain yang ada keterkaitan dengan kasus tersebut.
Aan, bekas sopir Nazaruddin mengaku bahwa tahun 2009-2010 pernah mengantar mantan bosnya itu bertemu dengan para petinggi KPK tersebut (MetroTV, 28/07/11). Tentang keterkaitan dugaan sejumlah politikus Partai Demokrat ”bermain” dalam kasus Hambalang Bogor ataupun pembangunan wisma atlet di Palembang, seperti diberitakan Suara Merdeka, edisi 29 Juli 2011, kloning berkas percakapan lewat BlackBerry Messenger (BBM) antara terdakwa Mindo Rosalina Manullang dan Angelina Sondakh mengindikasikan kebenaran dari tudingan Nazaruddin.
Lebih Proaktif
Penyelidikan terhadap tindak pidana yang sifatnya bukan delik aduan, terlebih kasus yang melibatkan pejabat publik, tentunya mempunyai nilai perhatian tinggi dari masyarakat. Semestinya penyidik Mabes Polri punya naluri dan kepekaan tinggi, meskipun hal ini bisa memunculkan konflik kepentingan, sebagaimana dikatakan Bambang Widodo Umar, pemerhati masalah hukum dan kepolisian.
Konflik kepentingan itu terjadi manakala penyidik Mabes Polri ”kelewat” aktif dengan hanya mendasarkan nyanyian Nazaruddin sebagai dasar penyelidikan dan pada sisi lain dihadapkan pada political will sebenarnya. Pasalnya, bukan rahasia lagi bahwa komitmen yang dilisankan oleh Presiden SBY terkait dengan pemberantasan korupsi, acapkali berbanding terbalik dengan banyaknya hal yang kontraproduktif yang dilakukan oleh orang-orang di sekelilingnya. Bisa jadi Mabes Polri lebih bersikap wait and see, meskipun sejatinya lebih baik memilih untuk lebih proaktif.
Menjadikan ocehan atau nyanyian Nazaruddin sebagai bukti awal untuk pijakan dalam penyelidikan, bila dilakukan secara transparan, niscaya masyarakat memberikan dukungan. Satu per satu informasi yang bisa dijadikan petunjuk pasti akan disampaikan oleh masyarakat. Sebab sangat mustahil bila jejak Nazaruddin ataupun mantan koleganya yang ia tuduh korupsi atau melakukan persekongkolan, tidak meninggalkan bukti.
Jadi, atas dasar kemauan dan iktikad pengabdian atas nama profesionalisme, Mabes Polri perlu didorong untuk secepatnya mengambil langkah strategis menyelidiki dugaan tindak pidana yang dilakukan Nazaruddin, yaitu dengan menerapkan strategi makan bubur panas. Tidak perlu menunggu kehadiran Nazaruddin, sebab penyidik Polri bisa memulainya dari orang-orang di seputar Nazaruddin, baik dalam kapasitas saat menjabat bendahara umum Partai Demokrat maupun kiprahnya sebelum menjadi politikus Senayan. (10)
Herie Purwanto, dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 2 Agustus 2011