Buletin Anti-Korupsi: Update 16-3-2016
POKOK BERITA:
“Korupsi Sektor Swasta Perlu Jadi Perhatian”
http://print.kompas.com/baca/
Kompas, Rabu, 16 Maret 2016
Korupsi sektor swasta sejauh ini belum banyak mendapat perhatian kendati menyangkut jumlah uang yang mencapai lima kali lipat dari anggaran negara sebesar Rp 2.100 triliun. Pada masa mendatang, penegak hukum dan masyarakat sipil perlu mengawasi korupsi swasta karena berpotensi mengganggu perekonomian nasional.
“Rp 14,5 Triliun Belum Dibayar”
http://print.kompas.com/baca/
Kompas, Rabu, 16 Maret 2016
Kejaksaan Agung masih memiliki piutang uang pengganti sebesar Rp 14,5 triliun. Sesuai laporan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2014, nilai ini merupakan gabungan tunggakan dari perkara tindak pidana korupsi serta perkara perdata dan tata usaha negara. Pihak Kejagung mengakui pengembalian uang negara ini tidak mudah karena berbagai hal, antara lain minimnya anggaran, profesionalitas jaksa, dan ketersediaan aset pelaku.
“Seponering Abraham Dinilai Tak Dapat Digugat”
http://koran.tempo.co/konten/
Pengamat hukum dari Universitas Muslim Indonesia, Hambali Thalib, menyatakan tidak ada celah hukum untuk melakukan gugatan praperadilan atas seponering kasus bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad. Menurut dia, gugatan praperadilan hanya bisa dilakukan terhadap kasus yang berakhir melalui mekanisme surat perintah penghentian penyidikan (SP3) atau surat keputusan penghentian penuntutan (SKP2).
“Berdendang Tanamkan Antikorupsi”
Media Indonesia, Senin, 14 Maret 2016
Anak-anak pada umumnya senang mendengarkan lagu-lagu, bahkan ikut bernyanyi. Itu sebabnya media lagu kerap dipakai untuk mendidik anak di sekolah, terutama anak usia dini. Cara itu pula yang dipilih Indonesia Corruption Watch (ICW) dengan meluncurkan album bertajuk Lagu Anak Hebat. Puluhan anak didampingi para orangtua mereka antusias mengikuti acara tersebut.
“Korupsi Anggota DPR Takut Terendus”
Media Indonesia, Senin, 14 Maret 2016
ICW menilai anggota DPR yang tidak menyerahkan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) jelas memberikan contoh buruk bagi penyelenggara negara lain.Selain itu, juga patut dicurigai berpotensi melakukan tindak pidana korupsi.