Buletin Anti-Korupsi: Update 5-10-2016
POKOK BERITA:
“Transaksi Keuangan Pengurus Partai Politik Dipantau”
http://print.kompas.com/baca/
Komisi Pemberantasan Korupsi tengah mengusulkan agar ada sinkronisasi data figur politik, baik penyelenggara negara maupun pengurus partai politik, sehingga semua transaksi keuangan mereka bisa terpantau. Kebijakan itu, selain untuk mendorong perbankan mengenali nasabah, juga untuk memudahkan kerja KPK saat menangani perkara korupsi.
“Panitera Dinilai Jauh Lebih Berkuasa”
http://print.kompas.com/baca/
Kompas, Rabu, 5 Oktober 2016
Panitera pengadilan dinilai jauh lebih berkuasa dibandingkan dengan hakim. Sering kali kasus korupsi yang melibatkan aparatur pengadilan dimulai melalui panitera. Mahkamah Agung semestinya melakukan perombakan struktur, utamanya dalam penempatan panitera dan aparatur peradilan lainnya.
“BPK Temukan Kerugian Negara Rp 1,9 Triliun”
http://koran.tempo.co/konten/
Tempo, Rabu, 5 Oktober 2016
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan negara mengalami kerugian hingga Rp1,9 triliun berdasarkan pemeriksaan sepanjang semester pertama 2016. Ketua BPK, Harry Azhar Aziz, mengatakan sebanyak 48 pemeriksaan pada semester pertama dilakukan untuk tujuan tertentu. Menurut Harry, dari 696 laporan hasil pemeriksaan (LHP) pada IHPS Semester pertama 2016, 116 LHP merupakan pemeriksaan di lembaga pemerintah pusat. Sebanyak 551 LHP pada pemerintah daerah, dan 29 LHP pada badan usaha milik negara dan badan lainnya.
“Irman Akui Intervensi Bulog”
http://mediaindonesia.com/
Media Indonesia, Rabu, 5 Oktober 2016
Setelah diperiksa penyidik KPK selama sekitar 1 jam, Ketua nonaktif DPD RI, Irman Gusman, mengakui dirinya meminta Dirut Bulog, Djarot Kusumayakti, untuk menambah jumlah pasokan gula di Sumatra Barat. Irman juga mengakui menjual pengaruh sebagai Ketua DPD RI kepada Sutanto dengan menelepon Djarot.
“Data PEP akan Permudah Pengusutan Kasus Korupsi”
http://mediaindonesia.com/
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan industri perbankan tengah berkoordinasi membuat aturan terkait dengan basis data transaksi perbankan yang berasal dari politically exposed person (PEP) atau orang-orang yang dianggap penting.