Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 2015 Agustus 18-21
RINGKASAN BERITA
Selasa, 18 Agustus 2015 ada empat peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, KPK dan ICW mengkritik langkah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memberikan remisi atau potongan masa pidana kepada 1.938 dari total 2.786 narapidana korupsi. Pemberian remisi diyakini akan mereduksi efek jera terhadap tindak pidana kejahatan luar biasa ini.
Kedua, kasus terpidana korupsi Bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, Pahri Azhari dan istrinya, Lucianty, menjadi bukti bahwa keluarga belum dapat menjadi benteng antikorupsi.
Ketiga, hasil sidang etik Dewan Pers menyatakan bahwa pada Kompas dan Tempo tidak ditemukan adanya pelanggaran, tetapi The Jakarta Post dianggap melanggar karena pemberitaannya tidak berimbang. Hasil ini adalah langkah Dewan Pers untuk membuktikan bahwa laporan Romli tidak berkaitan dengan kasus pidana.
Keempat, ada potensi mala-administrasi dalam pengelolaan dana desa karena banyak daerah yang belum menyusun regulasi tentang teknis penggunaan dan pertanggungjawaban dana desa.
Rabu, 19 Agustus 2015 ada empat peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK menyatakan bahwa memang masih ada kandidat yang rekam jejaknya bermasalah dalam daftar 19 calon yang lolos saringan. Panitia seleksi akan mendalami catatan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Indonesia Corruption Watch (ICW), ataupun lembaga penegak hukum lainnya, seperti KPK, Kejaksaan, serta Kepolisian.
Kedua, Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri, berharap KPK bisa segera mengakhiri perannya jika korupsi di Indonesia sudah berakhir.
Ketiga, pada semester I 2015, rata-rata vonis bagi koruptor 2 tahun 1 bulan. Angka ini lebih buruk daripada tahun 2014 dengan rata-rata vonis 2 tahun 6 bulan.
Keempat, KPK menilai praperadilan Otto Cornelis Kaligis sebagai proses hukum biasa seperti yang dilakukan tersangka korupsi lainnya. Apalagi KPK telah melimpahkan berkas perkara Kaligis ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Kamis, 20 Agustus 2015 ada tiga peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, Sutan Bhatoegana dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider satu tahun kurungan. Tapi ia tak ingin dihukum sendirian. Ia meminta KPK memeriksa dan memproses hukum rekan-rekannya juga di Komisi VII DPR yang juga menerima suap.
Kedua, MA dan Kejaksaan Agung tidak risau dengan hasil penelitian ICW terkait tren vonis korupsi semester 1-2015 yang cenderung menurun dari tahun ke tahun. Mereka menilai putusan hakim dan tuntutan jaksa terhadap terdakwa korupsi selama ini telah tepat dan memenuhi prinsip keadilan.
Ketiga, MA mengirim surat pada KY, yang berisi bahwa MA membela Hakim Sarpin dan tidak akan menjatuhi hukuman seperti rekomendasi KY.
Jumat, 21 Agustus 2015 ada dua peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK memberi perhatian khusus pada dua calon pimpinan KPK yang memiliki transaksi keuangan mencurigakan, hasil dari PPATK.
Kedua, selama dua belas tahun Mahkamah Konstitusi menjadi penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Namun, dalam sejumlah perkara, putusan MK tidak sepenuhnya lepas dari kontroversi.
PERKEMBANGAN PENTING
18 Agustus
- Dibacakan mimpi anak Indonesia untuk Indonesia bebas korupsi, pada hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 2015.
- Digelar kembali sidang praperadilan OC Kaligis akan penetapan tersangka olehnya dari KPK.
19 Agustus
- KPK memberi tenggat waktu pemberian hasil tracking capim KPK pada hari Jumat.
- Sutan Bhatoegana menjalani sidang pembacaan putusan.
- Kamis adalah proses sidang pertama OC Kaligis di Pegadilan Tipikor.
20 Agustus
- Sutan Bhatoegana dijatuhi hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp500 juta subsider satu tahun kurungan.
- Sutan Bhatoegana meminta KPK memeriksa juga komisi VII DPR yang juga menerima suap.
- OC Kaligis menjalani sidang pertamanya di Pengadilan Tipikor.
- KPK mengambil alih kasus korupsi Pasar Madiun senilai Rp76 Miliar dari Kejaksaan.
- Sarpin tidak akan mencabut laporan terhadap dua komisioner KY terkait pencemaran nama baiknya.
21 Agustus
- Pemerintah menolak megaproyek usulan DPR
- MK didesak segera melakukan sidang terhadap UU Sisdiknas terkait program wajib belajar 12 tahun
- ICW mendesak Pertamina menurunkan harga LPG 12 kg yang dinilai sengaja dimahalkan.
- Pengadilan Tipikor menunda sidang perdana OC Kaligis karena Kaligis sakit.
- MA resmi menolak rekomendasi KY untuk memberi hukuman pada Hakim Sarpin.
IN-DEPTH ANALYSIS
Vonis Pengadilan untuk Koruptor Tidak Menjerakan
Beberapa hari lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir hasil pemantauan terhadap vonis pengadilan tindak pidana korupsi terhadap berbagai macam kasus korupsi yang dituntut selama semester 1 2015. Kajian itu membagi analisa kedalam beberapa poin pembahasan. Pertama, ICW hendak melihat apakah secara umum vonis koruptor masuk kategori ringan, sedang atau berat. Kedua, apakah vonis terhadap koruptor memiliki standard dan tingkat konsistensi antara satu perkara dengan perkara lain, khususnya yang memiliki kesamaan substansi, seperti contoh jumlah kerugian negara yang ditimbulkan dari kasus-kasus tersebut. Selain itu, ICW juga coba melihat apakah vonis pengadilan, baik ditingkat pertama, banding maupun kasasi juga menjadi bagian dari upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan dari kejahatan korupsi.
Secara umum, temuan ICW menyimpulkan bahwa rata-rata vonis pengadilan terhadap kasus korupsi sebanyak 217 perkara belum menimbulkan efek jera karena hanya 2 tahun 1 bulan penjara. Sebaliknya, rata-rata vonis ini menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dimana pada semester 1 2014 rata-rata putusan adalah 2 tahun 9 bulan. Demikian halnya, pengadilan juga tidak menjadikan uang pengganti sebagai sarana untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari korupsi karena dari keseluruhan perkara yang disidangkan, hanya 99 perkara yang putusannya disertai dengan putusan uang pengganti. Terakhir, ICW mencatat ada disparitas putusan. Sebagai contoh, untuk dua kasus korupsi yang perbedaan nilai kerugian negaranya signifikan, hakim dari dua kasus tersebut menjatuhkan vonis penjara yang sama berat. Sebaliknya, nilai kerugian negaranya sama tapi vonis penjara yang dijatuhkan berbeda secara signifikan (http://nasional.news.viva.co.).
Sayangnya, hasil kajian ICW yang telah dirilis tidak dianggap sebagai masukan oleh Mahkamah Agung. Melalui Ketua MA, Hatta Ali mengatakan bahwa hakim memiliki independensi untuk menjatuhkan putusan, tergantung dari kasus korupsi yang ditangani apakah masuk kategori berat, sedang atau ringan. Ia menambahkan, hakim bukanlah algojo yang harus menghukum berat setiap kasus korupsi yang ditanganinya. Sebaliknya, dirinya mengklaim bahwa tren vonis korupsi pada tingkat kasasi selalu lebih berat daripada tingkat pertama dan banding (http://www.hukumonline.com/)
Agaknya, ada yang luput dari perhatian Ketua MA, Hatta Ali. Persoalan yang diangkat oleh ICW bukan semata rata-rata vonis pengadilan yang ringan, akan tetapi lebih dari itu, yakni gagalnya pengadilan menjalankan fungsinya untuk membangun efek jera bagi pelaku korupsi. Efek jera dalam konteks ini tentunya bukan sekedar vonis penjara yang harus lebih berat, karena adanya wewenang eksekutif untuk memberikan remisi atau pengurangan putusan setelah terpidana menjalani masa pemidanaan, melainkan juga penyelamatan aset negara. Temuan ICW yang menyebutkan bahwa hanya 99 kasus korupsi yang dibebankan uang pengganti kepada pelaku korupsi, dibandingkan 169 perkara lainnya yang nihil uang pengganti merupakan bukti bahwa pengadilan masih bersikap lembut terhadap kejahatan korupsi. Perlu diingat bahwa nadi (kejahatan) korupsi adalah pada uangnya. Tanpa merampas seluruh uang yang dihasilkan dari kejahatan korupsi, maka korupsi akan mendapatkan tempat untuk berkembang biak.***
Pembubaran KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
Issue pembubaran KPK kembali muncul ke permukaan publik. Kali ini, pernyataan tersebut terlontar dari Ketua Umum PDI-P (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) Megawati Soekarnoputri, dalam pidatonya di seminar Peringatan Hari Konstitusi yang diselenggarakan MPR (18/8).
Pada kesempatan pidato tersebut, Megawati memang membaca teks. Namun dia tak kaku, ada juga hal-hal yang tak tercantum di teks yang disampaikannya. Salah satu improvisasinya adalah soal pembubaran KPK. Poin pentingnya, Megawati mengungkapkan bahwa, jika korupsi sudah tidak ada, maka KPK bisa dibubarkan. Alasannya, KPK sudah tidak dibutuhkan dan merupakan lembaga yang sifatnya sementara (Adhoc).
http://news.detik.com/berita/2995010/ini-kutipan-pidato-megawati-yang-singgung-pembubaran-kpk
http://news.detik.com/berita/2994520/ini-pidato-lengkap-megawati-di-peringatan-hari-konstitusi
Kondisi ini menimbulkan reaksi keras di pemberitaan maupun media sosial. Bahkan, issue #BubarkanKPK dan #Mega, sempat menjadi trending topics dalam jejaring media sosial twitter. Sejumlah kalangan menganggap pernyataan Megawati tidak tepat. Tetapi, ada sejumlah orang yang menganggap pernyataan Megawati merupakan hal yang wajar.
Respon terhadap issue ini semakin menguat ketika Fraksi PDI-P meradang. Mereka merasa pernyataan Megawati dipelintir media. Fraksi PDI Perjuangan DPR-RI geram dengan munculnya pemberitaan yang menyebut Ketua Umum menginginkan pembubaran KPK. Fraksi PDI-P mempertimbangkan mengambil langkah hukum terhadap sejumlah media yang dinilai menulis berita tak akurat dan merugikan citra Megawati tersebut.
Terlepas apapun maksud yang terkandung dalam pernyataan Megawati, ada sejumlah hal penting yang perlu untuk diketahui. Pertama, terkait dengan fungsi dan tugas KPK. Bahwa sesungguhnya, tugas KPK bukan hanya melakukan penindakan. Tetapi ada juga fungsi lainnya, seperti pencegahan, monitoring, koordinasi, dan supervisi terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sehingga, alangkah bijaksananya jika penyataan pembubaran KPK tidak perlu lagi disampaikan ke publik.
Pertimbangan lainnya, pemberantasan korupsi masih membutuhkan KPK. Masyarakat juga masih menaruh harapan yang besar terhadap KPK. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya laporan dugaan korupsi yang disampaikan oleh masyakarat kepada KPK. Dalam 6 (enam) bulan terakhir saja (Januari 2015 – Juni 2015), terdapat 3020 laporan yang diterima KPK.
http://acch.kpk.go.id/rekapitulasi-pengaduan-masyarakat
Kedua, tidak tepat jika KPK dikatakan sebagai lembaga yang sifatnya Adhoc (sementara). Jika mengacu pada ketentuan UU (Undang – undang), KPK merupakan lembaga independen yang wajib ada di Indonesia. Apalagi, setelah Indonesia meratifikasi UNCAC (Konvensi PBB anti korupsi) melalui UU Nomor 7 tahun 2006. Dimana salah satu mandatnya adalah, keharusan bagi Indonesia untuk memiliki badan khusus untuk memberantas korupsi.
Sisi lainnya, tidak ada satu pasal pun dalam UU yang menyatakan bahwa KPK adalah lembaga Adhoc (sementara). Tidak pula ditemukan ketentuan yang mengatur tentang masa usia KPK. Penting untuk diingat, bahwa pembentukan dan pembubaran lembaga seperti KPK, harus diatur dengan UU.
Ketiga, sebagai partai berplatform demokrasi, langkah hukum terhadap media -pilar keempat demokrasi- seharusnya dihindari pada era demokrasi saat ini. Fraksi PDI-P bisa menggunakan hak jawab terhadap media yang dianggap keliru memuat pemberitaan. Jika menemui jalan buntu, bisa menggunakan mekanisme Dewan Pers untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Terlebih lagi, sudah ada media yang menarik dan menyampaikan permintaan maaf atas pemberitaan terkait.
Dan keempat, dalam kondisi darurat korupsi seperti saat ini, posisi KPK harusnya diperkuat. Bukan sebaliknya, dilemahkan apalagi sampai dibubarkan. Bukankah salah satu Nawa Cita (agenda) Presiden Joko Widodo ingin memperkuat KPK?***