Bulletin Mingguan Anti-Korupsi: 2015 Juni 26
RINGKASAN BERITA
Senin, 22 Juni 2015 ada empat peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, Presiden Joko Widodo secara tegas menolak revisi UU KPK. Bahkan dikatakan bahwa Presiden akan menarik revisi tersebut dari Prolegnas 2015.
Kedua, revisi UU KPK ternyata adalah barter yang dilakukan pemerintah dengan DPR. Barter yang dilakukan adalah antara Revisi UU KPK dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2015. Revisi UU KPK adalah syarat yang diajukan DPR untuk menyetujui Perppu terkait pengangkatan Plt KPK.
Ketiga, kewenangan penyadapan KPK terbukti efektif dengan ditangkap tangannya empat orang pelaku penyuapan kepada dua anggota DPRD Kabupaten Musi Banyuasin. Dalam penangkapan empat pelaku itu juga disita tas berisi uang Rp 2,56 miliar dalam pecahan Rp 50.000 dan Rp 100.000.
Selasa, 23 Juni 2015 ada lima peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, Badan Anggaran (Banggar) DPR meragukan usulan dana aspirasi akan berjalan dengan maksimal. Hal ini karena tidak disiapkan dengan matang dan terkersan tergesa-gesa.
Kedua, dalam kasus suap-menyuap dalam pembahasan APBD-P Kabupaten Musi Banyuasin telah ditetapkan empat tersangka. KPK sedang mengembangkan penyidikan karena diduga kuat transaksi suap-menyuap ini dilakukan atas perintah atasan, yakni Bupati Kabupaten Musi Banyuasin.
Ketiga, DPR dan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, setuju dengan revisi UU KPK yang diduga ada pelemahan KPK, meski Presiden telah menyatakan menolak revisi tersebut. Revisi UU KPK dikatakan dapat melemahkan KPK karena salah satu poin revisi adalah penyadapan KPK, yang adalah jiwa KPK. Jika kewenangan KPK terkait penyadapan direvisi, ditakutkan KPK tidak akan maksimal lagi menangkap para koruptor yang selama ini belum bisa tersentuh hukum.
Keempat, Bareskrim telah memeriksa tiga anggota DPRD DKI terkait kasus korupsi pengadaan UPS yang merugikan negara sebesar Rp 50 miliar. Mereka adalah anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, yakni Asraf Ali, Iman Satria, dan Lucky Satrawirya.
Kelima, Dahlan Iskan diberi sekitar 50 pertanyaan oleh penyidik Bareskrim terkait klarifikasi atas dokumen-dokumen tender pengadaan bahan bakar minyak high speed diesel yang diperlukan PLN tahun 2010. Yusril meyakini Dahlan Iskan tidak terkait dengan dugaan korupsi apapun.
Rabu, 24 Juni 2015 ada lima peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, dana aspirasi tetap di-sah-kan oleh DPR meski tidak dengan suara bulat. Adapun telah dikatakan dalam dana aspirasi tersebut sangat berpotensi terjadinya korupsi. Saat ini rakyat hanya tinggal menunggu sikap pemerintah, apakah akan diakomodir atau ditolak sesuai dengan permintaan rakyat?
Kedua, mengenai revisi UU KPK hanya dibutuhkan komitmen Presiden. Hal ini karena revisi UU KPK telah disetujui semua anggota DPR, meski telah ada penolakan dari Presiden.
Ketiga, Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Musi Banyuasin diduga kuat ikut berperan dalam dugaan manipulasi APBD-P Muba tahun 2015. Tindakan yang dilakukan adalah suap terkait proyek perbaikan jalan nasional yang memakan anggaran sebesar Rp 59 miliar.
Keempat, Pansel KPK memperpanjang pendaftaran calon pimpinan KPK hingga tanggal 3 Juli 2015. Dijelaskan perpanjangan masa pendaftaran dilakukan untuk melengkapi berkas peserta yang membutuhkan waktu yang lama utuk mendapatkannya, seperti legalisir ijazah dari perguruan tinggi di luar negeri.
Kelima, Johan Budi yang saat ini menjabat sebagai Plt Wakil Ketua KPK mendaftar sebagai calon pimpinan KPK periode 2015-2019. Alasannya mendaftar karena ia dinilai marwah KPK saat ini sudah mulai pudar.
Kamis, 25 Juni 2015 ada tiga peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, pemerintah menolak usulan dana aspirasi DPR karena pemerintah menilai usulan itu bertentangan dengan Nawa Cita Dan tidak berwenang melakukan penentuan anggaran karena itu adalah kewenangan eksekutif.
Kedua, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti meminta kewenangan penyadapan di Kepolisian disamakan seperti kewenangan penyadapan di KPK. Kesamaan yag dimaksud adalah prosedur yang dapat menyada tanpa melalui proses pengajuan ijin ke pengadilan.
Ketiga, rekanan pelaksana kegiatan renovasi gedung Sekretariat Jenderal Kementerian ESDM pada 2012 ternyata hanya pinjam nama/ fiktif. Hal ini untuk memanipulasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Semua terungkap dalam sidang di pengadilan dengan menghadirkan beberapa saksi kunci.
Jumat, 26 Juni 2015 ada empat peristiwa penting yang dicatat.
Pertama, Presiden dan pemerintah menolak usulan DPR mengenai dana aspirasi. Pemerintah berpendapat ekonomi dunia sedang bergejolak, dan berimbas ke Indonesia. Hal ini membuat anggaran yang ada dan sudah direncanakan harus dimaksimalkan dan tidak mungkin memasukkan mata anggaran baru di luar program yang telah direncanakan.
Kedua, Presiden secara tegas menolak revisi UU KPK, yang dapat berakibat pelemahan KPK. Masyarakat diminta janga meragukan komitmen pemerintah tentang pemberantasan korupsi di Indonesia. Lagipula, masih ada hal penting lain yang dapat dibahas di Prolegnas 2016 selain revisi UU KPK.
Ketiga, dalam persidangan kasus dugaan korupsi Kementerian ESDM, saksi berkata bahwa ada titipan uang sebesar 140.000 Dollar AS yang ditujukan kepada Didi Dwi Sutrisnohadi, Kepala Biro Keuangan Kementerian ESDM.
Keempat, dalam proses penyidikan, Jero Wacik dicecar dengan banyak pertanyaan terkait dana menteri. Meski tidak menjawab semua pertanyaan penyidik, Jero Wacik memiliki jawaban yang tetap sama, yakni tidak menyalahgunakan dana menteri untuk kepentngan pribadi.
PERKEMBANGAN PENTING
22 Juni
-
Revisi UU KPK adalah barter dengan Perppu, yang dilakukan DPR
-
Kewenangan penyadapan KPK terbukti efektif
23 Juni
-
Badan Anggaran DPR ragu dengan dana aspirasi
-
DPR dan Wakil Presiden setuju dengan revisi UU KPK
-
Tiga anggota DPRD DKI diperiksa terkait korupsi UPS
-
Dahlan Iskan diperiksa terkait tender BBM
24 Juni
-
Dana aspirasi di-sah-kan oleh DPR
-
Revisi UU KPK disetujui oleh seluruh anggota DPR
-
Pendaftaran Pansel diperpanjang hingga 3 Juli 2015
25 Juni
-
Dana aspirasi ditolak karena tidak sesuai Nawa Cita
-
Kapolri meminta wewenang penyadapan kepolisian sama dengan KPK
-
Dalam kasus korupsi Kementerian ESDM, diketahui daftar rekanan pelaksana kegiatan fiktif
26 Juni
-
Presiden menolak dana aspirasi
-
Presiden menolak dengan tegas revisi UU KPK
-
Persidangan kasus dugaan korupsi ESDM mendapat temuan baru, yakni adanya dana yang ditujukan pada Kepala Biro Keuangan Kementerian ESDM.
IN-DEPTH ANALYSIS
Dana Aspirasi, Ceruk Baru Pendanaan Politik?
Setelah debat panas yang cukup panjang, DPR melalui rapat paripurna sepakat mengalokasikan dana aspirasi sebesar Rp 20 Miliar per anggota DPR. Sebelumnya, DPR telah meminta masukan dari berbagai pihak seperti KPK dan eksekutif. Kedua institusi ini menyarankan agar DPR tidak menganggarkan dana aspirasi karena rawan penyelewengan (Koran Tempo, 25 Juni 2015). Sebagaimana dalam proses penyusunan kebijakan publik di DPR pada isu yang lain, adanya forum dengar pendapat hanya menjadi justifikasi untuk tetap memutuskan kebijakan publik tertentu berdasarkan pertimbangan dan logika politik DPR semata. Setidaknya, DPR sudah menunjukkan adanya mekanisme partisipasi dalam proses penyusunan kebijakan publik.
Alasan DPR menyetujui dana aspirasi adalah untuk pemerataan pembangunan. DPR juga menyanggah bahwa dana ini akan mudah dikorupsi karena mekanisme pengajuannya harus tetap melewati proses pembahasan antara DPR dan Pemerintah. BPK dan KPK pun dilibatkan untuk mengawasi dana tersebut. Secara teknis, DPR meminta agar dana itu masuk di dana alokasi khusus (DAK) (Koran Tempo, 25 Juni 2015).
KPK sendiri menyarankan agar DPR menunda persetujuan dana aspirasi karena secara teknis DPR tidak dapat menyajikan sistem yang transparan. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo tidak yakin jika dana aspirasi akan dapat memeratakan pembangunan karena jumlah anggota DPR terbanyak ada di pulau Jawa (306 kursi), sementara Bali, NTB, NTT hanya 32 kursi. Maluku dan Papua Cuma 17 kursi. Alih-alih memeratakan pembangunan, bias kota dan sentralisme pembangunan di Pulau Jawa akan semakin kuat. Demikian halnya, konsep ini tidak sejalan dengan program Nawacita Pemerintahan Jokowi yang ingin membangun Indonesia dari wilayah pinggiran dan wilayah timur. Budiman Sudjatmiko, anggota DPR dari PDI P beranggapan dana aspirasi telah menabrak program dana desa yang menjadi esensi dari konsep desentralisasi pembangunan.
Pertanyaannya, mengapa sebagian besar fraksi di DPR menyetujui dana aspirasi meskipun banyak yang menolak? Sangat mungkin jawabannya ada pada dua hal. Pertama, DPR sudah mulai khawatir apabila mereka menggunakan mekanisme illegal untuk mendapatkan sumber dana politik. Banyaknya anggota DPR yang tertangkap tangan oleh KPK karena mempermainkan anggaran bisa jadi adalah alasan yang kuat untuk melegalisasi upaya mengakses dana publik. Kekhawatiran DPR mennjadi kian tampak karena secara bersamaan mereka juga ngotot untuk melakukan revisi UU KPK, terutama untuk pasal-pasal yang bersinggungan dengan wewenang KPK dalam hal penyadapan,penyidikan dan penuntutan.
Alasan kedua, adanya pressure kebutuhan dana politik yang kian besar untuk mencalonkan kembali sebagai anggota DPR. Meskipun jumlah yang dibutuhkan tidak dapat diverifikasi karena buruknya sistem pelaporan dana kampanye, akan tetapi banyak estimasi yang menyebutkan kebutuhan dana kampanye DPR yang nilainya bisa bermiliar rupiah. Dengan dana aspirasi, setidaknya anggota DPR petahana tidak akan kesulitan untuk mencalonkan diri kembali dan memenangi kontestasi karena mereka dapat dengan mudah menggunakan dana aspirasi untuk kegiatan kampanye terselubung. Argumentasi ini membawa implikasi pada kian sempitnya peluang bagi calon anggota DPR yang baru untuk bertarung, sehingga kompetisi pemilu akan semakin meningkatkan kebutuhan dana kampanye calon anggota DPR.