BUMN Klaim Kelebihan Bayar Pajak
Sinkronisasi data pajak dan perusahaan dilakukan pada 20 Oktober nanti.
Sekretaris Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Said Didu membantah anggapan bahwa BUMN masih memiliki tunggakan pajak hingga Rp 7 triliun. Sebaliknya, dia mengemukakan, pihaknya menemukan kelebihan bayar pajak perusahaan negara kepada pemerintah hingga Rp 9,8 triliun. Kelebihan bayar ini diketahui setelah data pajak BUMN dicocokkan dengan data Direktorat Jenderal Pajak.
Tunggakan pajak BUMN ini mencuat setelah Direktur Jenderal Pajak M. Tjiptardjo mengumumkan tunggakan pajak BUMN mencapai Rp 19 triliun pekan lalu. Di antara penunggak, terdapat PT Pertamina dan PT Kereta Api. Tapi Kementerian Negara BUMN ragu akan data pihak Pajak. Apalagi, setelah mencocokkan data, Kementerian BUMN justru menemukan kelebihan bayar pajak.
Kelebihan itu terjadi karena, sebelum terbit Undang-Undang BUMN pada 2003, perusahaan negara yang membayar pajak tidak diaudit. "Sebelum ada undang-undang itu, tidak ada neraca," kata Said Didu seusai pertemuan dengan Direktorat Jenderal Pajak pada Jumat malam lalu. Kelebihan bayar itu berasal dari pajak penghasilan pasal 25, pasal 29, dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Berdasarkan data Kementerian BUMN, kelebihan bayar pajak PT Pertamina kepada pemerintah mencapai Rp 15,2 triliun, yang berasal dari tahun buku 2003-2009. Selain itu, temuan Badan Pemeriksa Keuangan juga menyebutkan ada kelebihan bayar PPN oleh PT PLN Batam senilai Rp 26 miliar. Sehingga total kelebihan pembayaran sebesar Rp 15,226 triliun.
Said mengatakan, dengan kelebihan bayar itu, pemerintah masih berutang sekitar Rp 9,8 triliun kepada BUMN karena terdapat sengketa pajak senilai Rp 5,4 triliun. Sengketa yang diklaim Direktorat Jenderal Pajak itu senilai Rp 5,4 triliun dan terdiri atas empat kasus.
Pertama, sengketa senilai Rp 4,24 triliun sedang diproses di pengadilan pajak. Sebanyak Rp 4,2 triliun di antaranya merupakan sengketa pajak PT Pertamina dan sisanya, Rp 40 miliar, merupakan sengketa BUMN selain Pertamina. Kedua, sengketa pajak yang belum masuk pengadilan senilai Rp 559 miliar, yang berada di 10 BUMN. Kini pajak itu sedang dalam proses sinkronisasi dan rekonsiliasi.
Ketiga, pajak yang tidak terbayar akibat masalah hukum sebesar Rp 39 miliar. Untuk sengketa pajak ini, faktur pembayaran pajak ada tapi uangnya tidak masuk ke Direktorat Jenderal Pajak. "Kami tidak akan meminta BUMN membayar pajak ini karena sudah dibayarkan sebelumnya," kata Said.
Keempat, sengketa belum terbayar pajak 19 BUMN senilai Rp 564 miliar karena kesulitan likuiditas perusahaan. Belasan perusahaan ini merugi dan tidak mungkin membayar pajak. "Kalau diminta bayar pajak, pasti kolaps," katanya.
Menurut Said, mengatakan Direktorat Jenderal Pajak akan dipertemukan dengan BUMN pada 20 Oktober nanti untuk melakukan sinkronisasi data. Pihaknya akan meminta BUMN yang terbukti memiliki tunggakan segera membayar.
Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil ragu tunggakan pajak BUMN hingga Rp 19 triliun. "Tidak mungkin BUMN mengemplang pajak karena mereka yang paling patuh membayar pajak," kata Sofyan. RIEKA RAHADIANA | Arif Firmansyah
Sumber: Koran Tempo, 19 Oktober 2009