Bupati Blitar Dihukum 15 Tahun
Di saat umat muslim bersuka cita menyambut Lebaran, Bupati (nonaktif) Blitar Imam Muhadi mendapat parsel yang menyakitkan. Tiga hari menjelang Lebaran, dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda Rp 400 juta subsider 6 bulan, dan mengembalikan kerugian negara Rp 36 miliar.
Muhadi yang berharap bebas dan bisa berlebaran bersama keluarga langsung menolak putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Blitar yang menyidangkan kasus korupsinya itu. Majelis hakim yang terhormat serta seluruh masyarakat yang hadir, saya menolak putusan ini dan menyatakan banding, katanya tegas, namun suaranya bergetar.
Vonis itu sebenarnya lebih ringan daripada tuntutan jaksa, yakni 18 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan mengembalikan kerugian negara Rp 51 miliar.
Muhadi didakwa mengorupsi uang kas daerah (Pemkab Blitar) Rp 94 miliar. Kasus ini terbesar di Jatim. Namun, yang terbukti di sidang Rp 81 miliar. Sisanya, Rp 13 miliar, bisa dipertanggungjawabkan.
Sidang yang mendapat perhatian warga Kabupaten Blitar kemarin berlangsung sekitar satu setengah jam, mulai pukul 11.00. Majelis hakim meliputi Nyoman Dedy Tri Parsada (ketua) serta Sih Yuliati dan Joko Saptono (anggota). Jaksanya, Kemas A. Wisnu, Mulyani, Soeprihanto, dan Supriyono.
Muhadi yang mengenakan kemeja lengan panjang motif kotak warna biru didampingi tiga penasihat hukum, Muji Leksono, Rahab, dan Yuyud Wahyu Utomo. Dia membawa buku catatan yang biasa dibawa dalam sidang. Sebagian keluarga juga hadir. Antara lain, anak dan adik.
Bupati yang pada awal ditahan sakit jantung dan beberapa kali masuk rumah sakit itu kemarin terlihat sehat. Bahkan, dia lebih tegar daripada biasanya. Saya sehat, katanya.
Dalam sidang, hakim menyimpulkan, pelanggaran pasal 3 UU 31 tahun 1999 yang diubah dalam pasal 20 UU 2001 yang dituduhkan kepada Muhadi telah terpenuhi enam unsur. Antara lain, mantan pegawai negeri sipil (PNS) Departemen Agama Blitar itu menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
Majelis hakim memperoleh bukti aliran dana Rp 36,718 miliar ke sejumlah rekening Muhadi. Yakni, setoran tunai di Bank Jatim Rp 5,070 miliar, Bank Mandiri Rp 712 juta, Bank BNI Rp 16 juta, Bank BCA Rp 4,859 miliar, serta Bank BRI Rp 100 juta. Ada juga deposito Rp 24 miliar dan transfer dari Krisanto (terdakwa lain) Rp 1,96 miliar.
Tindakannya dimulai dari permintaan uang kepada Kasubag anggaran pada 2002 (waktu itu dijabat oleh Krisanto). Muhadi pun mengeluarkan surat perintah membayar giro (SPMG) Rp 2 miliar. Proses itu mulus sehingga berlanjut pada tahun-tahun berikutnya.
Atas tindakannya itu, pada 2002, negara dirugikan Rp 18,8 miliar, tahun 2003 Rp 52,1 miliar, serta tahun 2004 Rp 10 miliar. Total Rp 81 miliar.
Pada 2004, sebenarnya terdapat SPMG senilai Rp 24 miliar. Namun, Rp 13, 4 miliar bisa dipertanggungjawabkan. Antara lain untuk pembangunan Jembatan Jugo Rp 4,085 miliar, utang KPRI Praja Mukti Rp 5,7 miliar, pinjaman PBB/PBHTB 1,5 miliar, Kesbanglinmas Rp 1,5 miliar, serta peringatan hari besar nasional (PHBN) Rp 550 juta.
Hakim berkeyakinan, tindakan Muhadi dilakukan bersama empat anak buahnya. Yakni, Solichin Inanta, M. Rusdjan, Bangun Suharsono, dan Krisanto. Tindakan itu juga berkelanjutan, mulai 2002, 2003, hingga 2004. Dari uraian itu, kami tidak sepakat dengan pembelaan penasihat hukum, kata Nyoman.
Yang memberatkan, sebagai bupati, dia tidak memberi teladan, merugikan keuangan negara, merusak citra dan wibawa pemerintah, bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi, tidak mengakui perbuatannya, dan telah menikmati hasilnya.
Sedangkan hal yang meringankan, antara lain, terdakwa belum pernah dihukum, sopan dalam persidangan, dan mempunyai tanggungan keluarga, ujar Nyoman.
Di ujung sidang, hakim memberikan tiga pilihan kepada Muhadi: menolak, menerima, atau berpikir-pikir. Dia memilih menolak dan menyatakan banding.
Keluarganya juga tidak bisa menerima putusan tersebut. Mereka beranggapan Muhadi tidak bersalah. Saya sangat kecewa atas keputusan hakim. Sebab, semua pembelaan yang kami keluarkan tidak dipertimbangkan, kata anak tertua Muhadi, Mohammad Guntur Yasir Arafat.
Mahasiswa pascasarjana jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, itu menambahkan, tidak semua kesaksian dijadikan pertimbangan. Padahal, dalam sidang, Krisanto dan beberapa orang juga menerima dana korupsi tersebut. Mengapa pengakuan itu tidak dikejar, seolah-olah hanya Bapak yang disalahkan.
Guntur menjelaskan, kalau bapaknya menikmati uang Rp 60 miliar, tidak mungkin kehidupan keluarganya seperti sekarang. Silakan masyarakat datang ke rumah kami dan melihat realita kehidupan kami, tambahnya.
Diakui, ketika kasus tersebut mulai terungkap, keluarga sempat shock. Tapi, akhirnya mereka tegar. Hanya, istri Muhadi sering tidak di Blitar. Dia ke rumah orang tuanya di Jogjakarta.
Ketika mendengar putusan hakim kemarin, Guntur juga emosional. Jelas saya sangat marah. Ini sungguh tidak adil. Memang saya sangat emosi. Saya minta maaf. (tin)
Sumber: Jawa Pos, 1 November 2005