Bupati Tegal Agus Riyanto Segera Dinonaktifkan
Bupati Tegal Agus Riyanto menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Rabu (13/7). Sesuai aturan, terdakwa kasus dugaan korupsi Jalan Lingkar Kota Slawi (Jalingkos) itu harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai bupati.
Surat penonaktifannya tengah diproses. Agus mengaku pasrah dan menyerahkan semuanya sesuai prosedur yang berlaku.
Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Jateng Suko Mardiono mengatakan, pihaknya sedang memproses surat pengusulan penonaktifan Agus Riyanto.
”Kami sudah menyurati Pengadilan Tipikor untuk meminta nomor register perkara sebagai dasar penyusunan surat pengusulan penonaktifan ke Mendagri,” katanya.
Penonaktifan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 31 ayat 1 menerangkan, kepala daerah diberhentikan sementara jika berstatus terdakwa dalam kasus korupsi. Proses penonaktifan, lanjutnya, tidak bisa dipastikan akan berapa lama.
”Kami berharap bisa secepatnya agar pemerintahan di Tegal bisa berjalan lancar,” katanya.
Menanggapi hal itu, Agus Riyanto mengaku sudah memahami ketentuan tersebut dan akan mengikuti semua prosedur. Ia hanya berharap proses hukumnya berjalan lancar dan cepat tuntas.
”Sudah ada aturannya, saya manut saja,” katanya.
Apalagi, sejak sebelum ditahan, putra asli Tegal itu sudah mempersiapkan pemerintahannya agar tidak terganggu dengan ketiadaannya.
”Saya sudah siapkan semuanya, teman-teman di Pemkab Tegal saya mohon kerja samanya, saya titip rakyat Tegal agar dapat terlayani semua kebutuhannya dengan baik. Masyarakat Tegal saya minta membantu dengan menjaga iklim kondusif,” ujarnya.
Tidak Terganggu
Pakar hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Rahmat Bowo Suharto menyatakan, penonaktifan itu memang harus dilakukan bagi kebaikan semua pihak. Hal itu dilakukan agar proses persidangan tidak terganggu dan tetap berjalan dalam garis independensi.
Selain itu, kepala daerah yang berstatus terdakwa juga tidak direpotkan dengan persoalan publik dan pemerintahan di daerah yang dipimpinnya.
”Terdakwa harus dibebaskan dari urusan pemerintahan agar dapat berkonsentrasi pada proses hukumnya,” katanya.
Jika nantinya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) menyatakan terdakwa terbukti bersalah, maka Mendagri akan menindaklanjuti dengan pemberhentian tetap. Sebaliknya jika terdakwa dinyatakan tidak bersalah, maka nama baik yang bersangkutan akan dipulihkan dan bisa menjabat bupati lagi. (J14,H68-59)
Sumber: Suara Merdeka, 15 Juli 2011