Bupati Tegal Ditahan
Diduga Korupsi Proyek Jalingkos
Bupati Tegal Agus Riyanto resmi ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah, Selasa (28/6). Kepala Kejaksaan Tinggi Jateng Widyopramono menegaskan, pihaknya sudah mempunyai bukti-bukti kuat sehingga cukup alasan untuk menahan tersangka.
Dalam hal penahanan, Kejati juga tidak akan pandang bulu menegakkan hukum meski saat ini posisi tersangka sebagai Bupati Tegal.
”Bupati sekalipun, kami tidak akan pandang bulu. Bukti-bukti kuat sudah ada dan proses penahanan harus dilakukan,” tegas Widyopramono didampingi Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Setia Untung Arimuladi setelah proses pemeriksaan Agus Riyanto di kantor Kejati Jateng, Jalan Pahlawan Semarang, Selasa (28/6).
Widyopramono menuturkan, proyek Jalingkos menelan anggaran Rp 15 miliar dari APBD Tegal 2006/2007. Yang diduga diselewengkan oleh tersangka senilai Rp 1,73 miliar.
Dari proses penyidikan, dana yang seharusnya digunakan untuk pembayaran pengadaan tanah itu malah digunakan untuk kepentingan pribadi.
Tersangka juga menggunakan dana senilai Rp 2,225 miliar dari pinjaman atas nama daerah ke Bank Jateng Cabang Slawi yang dimasukkan ke dalam rekening pribadinya.
Atas perbuatan tersebut, negara dirugikan Rp 3,9 miliar. Tersangka dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bupati Tegal ini terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.
Agus telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 20 September 2010. Sejumlah asetnya senilai Rp 1,8 miliar juga telah disita oleh kejaksaan, di antaranya rumah di Jalan Cibolerang Indah Blok F Nomor 12 Kelurahan Margahayu Utara, Kecamatan Babakan Ciparay, Bandung, Jawa Barat.
Selain itu juga alat-alat produksi PT Kolaka Tegal yang bergerak di bidang pengaspalan jalan.
Usai penyidikan yang diketuai jaksa Gatot Guno Sembodo dan diserahkan ke jaksa penuntut Kamari, kemarin, tersangka langsung dibawa mobil tahanan Tipikor Kejati bernomor polisi H 9580 FG pada pukul 12:45. Sebelumnya, tersangka bersama kuasa hukumnya memasuki halaman Kejati sekitar pukul 10:00 menumpangi mobil Toyota Prado G 7275 ZA.
Huni Blok J
Tak banyak komentar dilontarkan sang bupati yang mengenakan kemeja lengan pendek bermotif kotak-kotak biru tua. Dengan penjagaan ketat dari petugas dan beberapa pengawalnya, tersangka langsung memasuki mobil tahanan menuju Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane Semarang.
Agus Riyanto yang berstatus tahanan titipan Kejati Jateng ini menghuni kamar 8 di blok J. Blok yang terdiri atas 21 kamar itu merupakan blok khusus tahanan, terdakwa, dan terpidana kasus tindak pidana korupsi.
Di situ Agus bertemu dengan koleganya, di antaranya mantan Bupati Kendal Hendy Boedoro, mantan Ketua DPRD Jateng Mardijo dan mantan Ketua DPRD Pati Wiwik Budi Santoso.
Kepala LP Kedungpane Nyoman Surya Putra Atmadja mengatakan Bupati Tegal akan tinggal di Kedungpane selama masa penantian dan proses pengadilan. Ia meyakinkan tidak ada fasilitas khusus yang diberikan kepada Agus Riyanto.
”Semuanya sama, campur jadi satu, ada kurang lebih 48 orang yang berada di blok J itu,” kata Nyoman.
Kondisi Agus Riyanto terlihat cukup sehat. Ia mengatakan siap menghadapi proses hukum. Roda pemerintahan di Slawi dipastikannya tidak terganggu karena sejak jauh-jauh hari dia telah mempersiapkan segala sesuatunya. Bahkan malam sebelum ditahan atau Senin (27/6) malam, Agus telah mengumpulkan seluruh muspida Kabupaten Tegal.
”Saya sudah siap, saya kumpulkan muspida, selain pamitan juga persiapan agar roda pemerintahan tetap berjalan. Saya memang sudah punya feeling akan ditahan, makanya pas berangkat itu saya sudah siapkan pakaian di koper,” ujarnya ketika menerima kunjungan istri dan pengacaranya di LP Kedungpane, Rabu (29/6) pagi.
Keberatan
Kuasa hukum Agus, Wilson Tambunan, keberatan dengan penahanan kliennya oleh kejaksaan. Wilson menilai, tim penyidik Kejati tidak fokus dalam menangani perkara ini.
Menurutnya, masih banyak pihak yang terlibat namun mengapa sepertinya semua ditimpakan kepada bupati. Sebelumnya, mantan Kepala Bagian Agraria Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Tegal periode 2006-2007, Edy Prayitno bersama stafnya Budi Haryono juga telah dipidanakan akibat kasus ini. Majelis hakim Pengadilan Negeri Slawi mengganjar hukuman masing-masing empat dan lima tahun penjara.
Wilson menilai, pihak lain seperti Bank Jateng Cabang Slawi juga harus ikut bertanggungjawab karena mencairkan begitu saja pinjaman melalui Edy dan Budi. Padahal tidak ada surat kuasa dalam pencairan tersebut.
”Kami akan membongkar semua bukti yang melibatkan Bank Jateng di pengadilan nanti karena sampai saat ini Kejati belum menyentuh Bank Jateng. Ini sangat aneh bagi kami,” imbuh Wilson.
Agus menyatakan, kesaksian Edi Prayitno, terpidana empat tahun kasus Jalingkos, palsu.
”Testimoni (kesaksian) itu yang menjadi pasal atau dasar dalam memeriksa saya. Padahal testimoni itu palsu, termasuk testimoni Ariyani (istri Edy-red),” kata Agus.
Dia menilai, selama ini kejaksaan belum melakukan tindakan apapun untuk membuktikan kebenaran testimoni itu.
”Penahanan saat ini jelas sedikit banyak telah mencederai hati masyarakat Kabupaten Tegal, karena hak mereka untuk tahu kebenaran testimoni Edy tidak dipenuhi,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Agus, kejaksaan tidak memeriksa soal pinjaman daerah yang dipindahkan oleh Bank Jateng Cabang Slawi ke rekening pribadi Budi Haryono, tersangka Jalingkos lainnya yang telah dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Justru sekarang dirinya yang ditahan. Yang mengherankannya, status penahanannya adalah titipan dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Slawi. ”Saya mirip ATM karena dititipkan,” terangnya.
Agus tidak tahu jika dirinya adalah tahanan dari Kejari Slawi. Lantaran selama ini, Kejati melalui utusannya bernama Gatot adalah pihak yang melakukan penyidikan terhadap dirinya.
Terpisah, Wakil Bupati Tegal M Hery Soelistyawan menyatakan, penahanan bupati tidak akan berimbas terhadap roda pemerintahan. Termasuk juga pelayanan masyarakat.
”Bahkan kalau perlu tanda tangan bupati yang tidak bisa saya wakili, kami siap untuk bolak-balik Tegal-Semarang,” kata Hery. (J14,H68,H64-43)
----------------
”Saya Dizalimi ”
BERKAUS oblong abu-abu dan celana khaki krem, pagi itu Agus Riyanto SSos MM tampak seperti bukan seorang bupati. Padahal siapa pun tahu, pria kelahiran Tegal 16 Agustus 1965 ini telah memimpin daerah penghasil teh itu sejak 2004.
Dan mayoritas dari satu juta lebih pemilih Pilkada Tegal 2008 kembali memilihnya untuk kali kedua.
Namun, sejak Selasa (28/6), suami Marhamah ini harus menanggalkan sejenak jas putih kebesarannya.
Status tersangka kasus dugaan korupsi proyek Jalan Lingkar Kota Slawi (Jalingkos) 2006-2007 yang disandangnya sejak 20 November 2010 sebentar lagi berakhir.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah menyatakan penyidikan selesai dan kasus akan segera berlanjut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Selama menunggu jadwal sidang, Agus harus menghabiskan hari-harinya di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kedungpane Semarang.
Bagaimana sang bupati menghadapi kenyataan ini? Ditemui di ruang tunggu LP Kedungpane, Rabu (29/6) kemarin, jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta ini menjawab dengan tenang.
”Apakah saya takut? Jujur, jelas ada ketakutan. Namun ketakutan itu lebih karena bila fakta hukum yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang terjadi,” ujarnya.
Selama dua jam berbincang, ketenangan itu jualah yang terpancar. Agus sama sekali tidak tampak tertekan. Bahkan dia mengaku menikmati malam pertamanya di tahanan Blok J Nomor 8 LP Kedungpane.
Situasi terasing yang acap dirasakan orang yang pertama masuk jeruji besi, tidak ia temui. Malah Agus bisa berkelakar dengan nyaman bersama para penghuni lama yang sudah banyak dikenalnya. ”Ngobrol dengan Pak Mardijo (mantan Ketua DPRD Jateng), Pak Hamid (tersangka kasus Jatirunggo) dan lainnya, setelah itu tidur nyenyak sampai pagi,” ujarnya.
Namun bukan berarti Agus tanpa beban.
Diakui atau tidak, menjadi pesakitan di tahanan bukanlah cita-citanya ketika menerima mandat rakyat sebagai bupati. Dengan emosi yang tetap terkendali, Agus mengungkapkan bahwa dia merasa dizalimi.
Penyidikan Jalingkos, menurutnya, tidak pernah sampai pada substansi. Padahal yang dipersoalkan pertama adalah masih adanya empat warga yang belum menerima ganti rugi.
”Tapi kejati tidak ke sana. Menahan saya tidak membuat empat warga itu menerima haknya. Banyak keganjilan dalam penyidikan ini yang berasal dari penyidik sendiri,” jelasnya.
Diceritakannya, ketika pertama kali ditetapkan sebagai tersangka, ia masih tenang karena memang tidak melakukan perbuatan korupsi.
Namun sejak pemeriksaan kedua pada pertengahan Februari, sejumlah keanehan menggiring opini bahwa ada rekayasa untuk menjatuhkan. Dari pertanyaan-pertanyaan penyidik yang dinilainya tidak fair, adanya sejumlah pihak yang tidak pernah diperiksa, penyitaan asetnya yang ganjil dan banyaknya fakta yang dikesampingkan.
”Saya dikorbankan kejaksaan, ada rekayasa untuk memaksakan saya menjadi tersangka kemudian terdakwa,” kata bapak tiga putri ini.
Sejak itu ayah dari Rosmalia Yulia, Dian Aulia, dan Enka Mutu Manikam ini menyiapkan mental dan hati. Juga menyiapkan sejumlah disposisi pada wakilnya untuk menggantikannya selama dibui.
Karena pekerjaan itulah dia sempat beberapa kali tidak memenuhi panggilan pemeriksaan kejati.
Bahkan malam sebelum ditahan atau Senin (27/6) malam, Agus telah mengumpulkan seluruh muspida Kabupaten Tegal.
”Feeling saya tidak pernah salah. Saya sudah merasa akan ditahan, makanya saya siapkan. Berangkat dari Tegal, saya sudah bawa pakaian ganti,” kata anggota grup musik indie ”G-One” yang didirikannya pada 2006 itu.
Keyakinan tersebut semakin kuat setelah dia benar-benar merasakan dinginnya malam di tahanan.
”Ternyata saya tidak sendiri. Banyak di sini yang juga merasa terzalimi. Dengan cara begini, pemberantasan korupsi tidak akan berhasil di negeri ini karena tidak pernah sampai substansi. Aksi aparat hanya menghasilkan orang-orang teraniaya dan barisan sakit hati,” katanya dengan nada meninggi.
Semakin lantang, Agus menyatakan bahwa Kejati Jateng mempertaruhkan reputasinya dalam kasus Jalingkos ini. Didukung pengacaranya Wilson Tambunan dan Winarno Djati, Agus menantang kejati di pengadilan untuk adu fakta dan bukti.
”Tapi apakah ada sanksi untuk penyidik jika ternyata penyidikannya tidak terbukti? Kasus ini dipaksakan,” tegasnya. Namun kelantangan Agus itu cepat melunak kembali. Terlebih setelah sang istri, Marhamah, tiba di Kedungpane dan membawakan nasi bungkus untuk makan pagi. Sebelumnya, Agus mengakui bahwa di atas semuanya ia lebih memikirkan tekanan yang dihadapi anak dan istri.
”Paling berat anak-anak, ini baru saja putri saya SMS. ‘Bapak pripun, kabare sae? bapak sing sabar ja....” kalimatnya tak selesai, terpenggal oleh air mata yang jatuh membasahi layar ponselnya. (Anton Sudibyo, Modesta Fiska-43)
Sumber: Suara Merdeka, 30 Juni 2011