Buruknya Keterbukaan Informasi Parpol
Jakarta, antikorupsi.org (25/09/2015) – Rendahnya kesadaran partai politik dalam memberikan informasi kepada publik seperti laporan keuangan, struktur kepengurusan, dan kegiatan yang dilakukan seakan menjadi bumerang untuk parpol sendiri. Hal ini terbukti dengan diajukannya gugatan sengketa informasi di komisi informasi, dan tentu ini menyulitkan parpol itu sendiri. Meskipun demikian, tetap saja masih ada partai yang tidak ‘berani’ membuka laporan secara transparan kepada publik.
Fenomena ini tidak disangkal, peneliti sentra advokasi untuk hak pendidikan rakyat (Sahdar), Dayu Putra, yang menjelaskan bahwa dari 10 parpol yang mendapat kursi di DPRD di Sumatera Utara, ada lima parpol yang enggan menyerahkan informasi laporannya kepada pemohon melalui mediasi dan sidang sengketa informasi di Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara, yaitu PDI-P, Hanura, Nasdem, PAN, dan PKS.
Sedangkan lima partai lainnya seperti PPP, Gerindra, PKB, Demokrat, dan Golkar bersedia memberikan laporan yang diminta seperti laporan keuangan, laporan kegiatan, dan struktur kepengurusan.
“Mereka (lima partai yang menyerahkan) hanya menyerahkan laporan keuangan dari APBD tahun 2013-2014. Hanya PPP yang menyerahkan secara lengkap tanpa ada keberatan apapun,” ujarnya saat dihubungi antikorupsi.org
Berpatokan pada UU No 14/2008 tentang keterbukaan informasi publik proses gugatan dimulai dari pengajuan surat keberatan kepada parpol dan sengketa di Komisi Informasi Provinsi Sumatera Utara. Menurutnya, tujuan dari gugatan ini didasari agar parpol dapat lebih transparan dalam memberikan laporan kepada masyarakat sebagian wujud tanggung jawab. Serta memberikan informasi kepada masyarakat untuk lebih teliti dan cerdas dalam rangka menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) mendatang. Selain juga mendorong kelembagaan parpol menjadi lebih bersih dan akuntabel.
Dengan adanya keterbukaan informasi parpol kepada publik, diyakini masyarakat akan lebih teliti dan cerdas dalam melihat partai mana yang terbuka dan transparan, serta partai yang mau memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sedangkan untuk parpol, keterbukaan informasi akan menjadi daya tarik tersendiri agar parpol mendapat kepercayaan publik.
“Respon partai atas permintaan informasi masih buruk. Tidak ada parpol yang memberikan informasi secara sukarela, karena informasi baru diberikan setelah ada gugatan sengketa informasi,” ujarnya.
Dirinya mengusulkan, ke depan diharapkan ada perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan transparansi keuangan politik. Karena selama ini hanya laporan keuangan yang bersumber dari APBD yang dilaporkan kepada masyarakat. Padahal seharusnya bukan hanya itu, semua dana yang diterima partai politik seperti iuran dan sumbangan anggota serta iuran yang sah menurut hukum juga harus dibuka kepada publik.
Selain itu, pemerintah juga harus menjalankan sanksi yang selama ini ada di UU No 2/2012 tentang Partai Politik dan turunannya di Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 23/2013 yaitu pemberhentian pemberian dana parpol yang lambat ataupun tidak pernah menyerahkan laporan keuangannya sesuai prosedur.
“Bila perlu sanksi lebih digalakkan seperti sanksi pidana berupa denda agar parpol lebih serius menjalankan fungsinya,” tegas Dayu.
Buruknya keterbukaan informasi parpol bukan hanya di Provinsi Sumatera Utara. Di Provinsi Banten pun juga demikian. Direktur eksekutif Masyarakat Transparan (Mata) Banten Fuaddudin Bagas, juga menjelaskan bahwa, dari 10 partai yang digugat sengketa informasi di Komisi Informasi Provinsi Banten hanya tiga partai yang menyerahkan laporan keuangan partai, program kerja, dan struktur kepengurusan, yaitu PDI-P, PKS, dan PPP. Namun disayangkan laporan keuangan yang diserahkan hanya sumber dana yang diterima melalui APBD.
“Tujuh partai lainnya kita layangkan gugatan sampai batas waktu yang ditentukan tidak satu partai pun yang menyerahkan laporan,” keluhnya.
Dirinya menegaskan, secara managerial, parpol tidak memiliki sumberdaya manusia yang baik. Hal ini berdampak pada mekanisme pelayanan publik. dari pantauan yang dilakukan, parpol tidak menjadikan kantor sebagai tempat aktivitas politik. Sering terlihat kantor partai kosong.
Selain itu, parpol tidak menjadikan tata kelola keuangan partai yang memiliki kapasitas mumpuni. Dalam hal ini laporan keuangan tidak dijadikan laporan sebagai tanggung jawab keterbukaan informasi parpol yang serius kepada publik. Melainkan hanya sebagai alat untuk mendapatkan anggaran dari APBD di tahun-tahun berikutnya.
“UU yang ada hanya mengatur laporan keuangan yang bersumber dari APBD, maka ke depan perlu diatur agar parpol dapat mempertanggung jawabkan laporan keuangan yang bersumber selain dari APBD disertai sanksi tegas,” ucapnya. (Ayu-Abid)