Cabut Ketentuan Izin Pemeriksaan Anggota Dewan dalam RUU Susduk
Saat ini DPR RI sedang menyiapkan berbagai perangkat hukum yang dibutuhkan Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Salah satunya adalah Rancangan Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU Susduk). RUU Susduk dibahas bersama dengan tiga rancangan undang-undang bidang politik lainnya yaitu RUU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, RUU tentang Partai Politik (RUU Parpol) dan RUU tentang Pemilihan Presiden (ruu Pilpres) diajukan oleh Pemerintah kepada DPR pada 25 Mei 2007 dengan Surat Presiden No. R-27/Pres/05/2007.
Klik disini untuk mengunduh daftar pejabat terganjal ijin pemeriksaan
RUU Susduk dibahas oleh Panitia Khusus (Pansus) yang dipimpin Ganjar Pranowo dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP). Disamping membahas RUU Susduk, Pansus ini juga membahas RUU tentang Parpol. Penetapan anggota Pansus dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR 26 Juni 2007.
Hingga saat ini Pansus mulai melakukan beberapa pembahasan materi penting atau isu krusial yang akan dibahas dalam RUU Susduk antara lain: Kedudukan MPR, Kewenangan DPD, Fraksi, Penggantian Antar Waktu, Rangkap Jabatan, Sekretariat Dewan, dan Badan Kehormatan.
Ada beberapa hal yang penting untuk dikritisi dari proses pembahasan RUU Susduk ini. Pertama, minim sosialiasi terhadap RUU Susduk. Kedua, terdapat isu krusial yang terlewat untuk dibahas oleh Pansus. Salah satunya mengenai ketentuan izin pemeriksaan terhadap anggota dewan yang sedang diproses dalam perkara pidana, termasuk perkara korupsi. Selain penting untuk dibahas, ketentuan izin pemeriksaan ini penting untuk dicabut.
1. Menghambat kinerja aparat penegak hukum
Maraknya korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan saat ini dalam tingkat yang mengkhawatirkan. Sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh anggota parlemen daerah (DPRD) yang notabene secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentasikan kehendak publik. Selain korupsi, sejumlah anggota dewan juga diberitakan terlibat kasus kriminal seperti narkoba atau pemalsuan.
Khusus untuk anggota DPR dalam catatan Badan Kehormatan (BK) DPR, sejak Desember 2005-Juni 2007 terdapat 70 anggota DPR yang diadukan masyarakat karena terlibat sejumlah kasus atau pelanggaran hukum. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch, Selama empat tahun terakhir (2005-2008), tidak kurang 1437 orang anggota dewan diseluruh Indonesia telah diproses secara hukum dalam kasus korupsi, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan hingga yang telah diputus oleh pengadilan. Tercatat 782 orang yang sudah divonis di Pengadilan. Selebihnya (655) masih macet ditingkat penyidikan dan dihentikan.
Prakteknya, upaya memproses hukum anggota dewan kenyataannya tidak semulus seperti yang diharapkan. Keharusan adanya izin pemeriksaan anggota dewan (pusat dan daerah) yang diduga terlibat perkara korupsi kenyataannya telah menjadi penghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dalam catatan ICW, untuk tahun 2006-2008, pemeriksaan dalam perkara korupsi terhadap 120 anggota dewan (baik sebagai saksi maupun tersangka) terhambat karena persolan izin.
Pihak Kejaksaaan dan Kepolisian sebagai tulang punggung pemberantasan korupsi seringkali mengeluhkan hal yang serupa. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Marwan Effendy pada 10 September lalu menyatakan perkara korupsi sering terhambat masalah perizinan dari presiden. Hal senada juga pernah disampaikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri saat masih menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI.
Kasus terbaru terjadi dalam penanganan kasus korupsi yang melibatkan anggota dewan di daerah. Polda Jawa Barat hingga Agustus 2008 lalu belum dapat melakukan pemeriksaan terhadap 45 anggota DPRD Kabupaten Garut terkait kasus dugaan korupsi dana proyek Jaring Asmara (Jasmara) dari Pos Bantuan Sosial APBD Garut tahun 2007 sebesar Rp 76 miliar. Persoalannya karena Polda belum mendapat izin pemeriksaan dari Gubernur Jawa Barat, Heryawan. (http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2008/08/05/brk,20080805-129741,id...).
Keharusan adanya izin untuk memeriksa Anggota Dewan (DPD, DPR RI, DPRD Tk I dan DPRD Tk II) yang tersangkut kasus korupsi merupakan suatu prosedur yang harus dilalui oleh pihak kejaksaan dan kepolisian sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD.
Pasal 106 UU Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD disebutkan sebagai berikut :
(1)
Dalam hal anggota MPR,DPR, dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2)
Dalam hal seorang anggota DPRD Propinsi diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan,permintaan keterangan dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.
(3)
Dalam hal seorang anggota DPRD Kabupaten/Kota diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak berlaku apabila anggota MPR,DPR,DPD,DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
(5)
Setelah tindakan pada ayat (4) dilakukan, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang agar memberikan ijin selambat-lambatnya dalam dua kali 24 jam.
(6)
Selama anggota MPR,DPR,DPD,DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota menjalani proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan pengadilan, yang bersangkutan tetap, menerima hak-hak keuangan dan administrasi sampai dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan pasal 106 tersebut penyidik (dari Kepolisian atau Kejaksaan) hanya dapat melakukan pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, MPR,DPR,DPD,DPRD Propinsi dan DPRD Kab/kota, jika ada persetujuan tertulis dari Presiden untuk MPR dan atau DPR dan atau DPD, persetujuan tertulis dari Mendagri untuk DPRD Propinsi dan atau Gubernur/wakil gubernur, dan persetujuan tertulis dari Gubernur untuk DPRD Kab/kota dan atau bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota.
Meski pasal 106 ayat (4) menyatakan bahwa ketentuan mengenai izin pemeriksaaan tidak berlaku apabila anggota MPR,DPR,DPD,DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan, namun dalam pasal 106 (5) memberikan kewajiban bagi penyidik melaporkan kepada pejabat yang berwenang agar memberikan izin selambat-lambatnya dalam dua kali 24 jam.
Ketentuan tersebut faktanya juga tidak berubah. Dalam RUU Susduk yang sedang dibahas di DPR ketentuan soal izin masih diatur dalam Pasal 61.
Pasal 61 (RUU Susduk)
(1)
Dalam hal Anggota DPR, dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak berlaku apabila Anggota DPR dan DPD melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.
(3)
Setelah tindakan pada ayat (3) dilakukan, harus dilaporkan kepada pejabat yang berwenang agar memberikan ijin selambat-lambatnya dalam dua kali 24 jam.
(4)
Selama Anggota DPR dan DPD menjalani proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan pengadilan, yang bersangkutan tetap menerima hak-hak keuangan dan administrasi sampai dengan adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bukan rahasia umum adanya birokrasi meminta izin untuk melakukan pemeriksaan tersebut kenyataaanya justru mempersempit gerak Kejaksaan atau Kepolisian mengusut dugaan korupsi. Alih-alih mempercepat, keharusan izin dari presiden atau mendagri atau Gubernur justru memperlambat proses penuntasan kasus korupsi khususnya di daerah.
Pertama, Dalam beberapa temuan misalnya pemeriksaan perkara korupsi seringkali tertunda karena masih menunggu keluarnya izin dari pejabat yang berwenang. Disamping itu izin pemeriksaan kenyataannya bersifat parsial atau tidak menyeluruh. Misalnya ketika seorang anggota dewan diperiksa sebagai saksi, pihak penegak hukum di daerah harus mengajukan izin kepada Gubernur . Dan apabila statusnya meningkat sebagai tersangka maka penyidik harus meminta izin kembali. Izin pemeriksaan ternyata tidak bisa dilakukan satu paket misalnya izin diberikan mulai dari kepala daerah diperiksa menjadi saksi, tersangka dan termasuk ketika akan menahan tersangka.
Kedua, Persoalan adminitrasi dan birokrasi perizinan juga menjadi alasan penyebab lambatnya izin pemeriksaan turun. Jika Kejaksaan Negeri hendak memeriksa seorang Anggota DPR, maka prosedur permintaan izinnya harus dilakukan secara bertahap, yaitu kepada kejaksaan tinggi, lalu disampaikan ke Jaksa Agung selanjutnya ke Sekretariat Negara dan terakhir baru ke Presiden. Meski sudah ditangan presiden, surat izin tersebut belum tentu direspon dengan cepat. Hingga saat ini belum ada stándar yang jelas mengenai jangka waktu keluarnya izin pemeriksaan oleh presiden. Kondisi yang sama juga harus ditempuh ketika aparat penegak hukum di daerah akan memeriksa anggota dewan yang terliat dalam kasus korupsi.
Ketiga, pemberian izin tidak diikuti dengan langkah melakukan monitoring dan evaluasi. Dalam prakteknya cepatnya keluar izin pemeriksaan oleh anggota legislatif kenyataan tidak diikuti dengan cepatnya penanganan perkara korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian maupun Kejaksaan. Presiden misalnya, terkesan mempasrahkan begitu saja tugas selanjutnya kepada kedua institusi hukum yang meminta izin tersebut, tanpa adanya monitoring dan evaluasi atas kinerja penanganan perkara secara terus menerus. Tidak ada konsekuensi atau tindakan yang diberikan oleh presiden kepada kejaksaan atau kepolisian daerah apabila penanganan perkara terhadap tersangka berlarut-larut.
Selain karena ketiga alasan tersebut, kondisi prosedur izin seringkali dimanfaatkan oleh pihak tertentu dan berpotensi terjadi konflik kepentingan. Presiden, Mendgari, dan Gubernur yang notabene memiliki baju partai poltik, dapat melakukan upaya memperlambat bahkan – bukan mustahil - tidak mengeluarkan izin pemeriksaan apabila pihak-pihak yang dimintakan izin tersebut adalah berasal dari partai yang sama. Fakta lain juga menunjukkan bahwa adanya izin pemeriksaan bagi anggota dewan, pada akhirnya membuat penegakan hukum hanya mampu menyentuh level-level pelaksana hingga sebatas pimpinan proyek.
2. Diskriminatif
Keharusan adanya izin pemeriksaan bagi anggota dewan merupakan tindakan diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesamaan didepan hukum (equality before the law). Pasal 27 Ayat (1) UUD 45 yang berbunyi "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya". Anggota dewan sebagai warga negara harusnya juga diperlakukan sama dengan warga negara lain yang memiliki pekerjaan bukan sebagai anggota dewan.
Belajar dari pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya penuntasan kasus korupsi yang ditangani oleh KPK relatif tidak memiliki persoalan karena institusi ini tidak memiliki kewajiban untuk meminta izin pemeriksaan. Baik ketika memeriksa gubernur, bupati maupun anggota dewan. Sejumlah kasus yang ditangani akhirnya tuntas hingga ke proses ke pengadilan dan telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Masih dipertahankannya ketentuan adanya izin pemeriksaan bagi anggota dewan dalam RUU Susduk juga dapat dinilai negatif bahwa anggota DPR berupaya melindungi (atau memberikan proteksi) terhadap dirinya dan kader/anggota politik yang menjabat sebagai anggota dewan di daerah meskipun telah melakukan penyimpangan. Pada sisi lain semangat yang dibangun ini justru bertolak belakang dengan agenda penegakan hukum dan juga pemberantasan korupsi.
Berdasarkan uraian tersebut jelas, untuk memberikan dukungan terhadap penuntasan kasus korupsi, maka kami meminta DPR untuk menghapus ketentuan izin pemeriksaan bagi anggota dewan dalam RUU Susduk.
·
Kebijakan ini dapat diganti dengan cukup adanya pemberitahuan pemeriksaan kepada presiden atau mendagri atau gubernur. Selain itu monitoring dan evaluasi atas kinerja aparat kejaksaaan atau kepolisian di daerah juga harus ditingkatkan. Dimasa datang tidak ada lagi perkara yang macet atau berlarut-larut dan anggota dewan yang tetap menjabat meskipun telah ditetapkan sebagai terdakwa.
·
Apabila ketentuan adannya izin pemeriksaan tersebut tidak dicabut (masih dicantumkan dalam RUU Susduk) maka Indonesia Corruption Watch akan mengajukan permohonan uji materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi.
Jakarta, 30 November 2008
Emerson Yuntho
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan
Indonesia Corruption Watch
DAFTAR PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN YANG TERKENDALA IZINDALAM KASUS KORUPSI
PADA TAHUN 2006-2008 (SAKSI DAN ATAU TERSANGKA)
o |
Nama |
Jabatan |
Kasus Korupsi |
Penyidik |
1. |
Suripto |
Anggota DPR RI, mantan Sekjen Dephut |
· Mark Up pengadaan 2 helikopter di Departemen Kehutanan dan perkebunan · Penggelapan dana klaim asuransi Helikopter Bell-412 |
Polda Metro Jaya |
2. |
Markum Sidngodimedjo |
Anggota DPR RI, mantan Bupati Ponorogo |
DPRD Kabupaten Ponorogo |
Polwil Madiun |
3. |
Subhiriza |
Anggota DPR RI, mantan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Ponorogo |
DPRD Kabupaten Ponorogo |
Polwil Madiun |
4. |
45 anggota DPRD Pandeglang |
Anggota DPRD Pandeglang |
Dugaan suap dari Bupati Pandeglang |
Kejati Banten |
5. |
45 anggota DPRD Kabupaten Garut |
Anggota DPRD Kabupaten Garut |
Dana proyek Jaring Asmara (Jasmara) dari Pos Bantuan Sosial APBD Garut tahun 2007 sebesar Rp 76 miliar |
Polda Jawa Barat |
6. |
Yaomil RM. |
Ketua DPRD Mamuju Utara |
Pencairan kredit di Bank Sulawesi Selatan |
Kejati Sulawesi Selatan |
7. |
Herlan Agussalim dkk (6 orang) |
Ketua DPRD Kalimantan Timur |
Dugaan korupsi dana operasional dewan |
Kejati Kaltim |
8. |
Jhon Tabo
|
mantan ketua DPRD Jayawijaya yang saat ini menjabat Bupati Tolikara |
Korupsi dana DPRD Jayawijaya 1999-2004 |
Polda Papua |
9. |
11 anggota DPRD NTB |
anggota DPRD NTB |
korupsi APBD NTB 2001, 2002, 2003 dan dana tak tersangka |
Kejati NTB |
10. |
Agus Sukamto, Aries Pudjangkoro dan Ahmad Fauzan |
Anggota DPRD Kota Malang |
dugaan korupsi di DPRD Kota Malang tahun 2004 |
Kejari Malang |
11. |
Bennedi Boiman
|
anggota DPRD Dumai |
proyek pengadaan air bersih (PAB) Dumai |
Kejari Dumai Riau |
12. |
Farizal SE |
anggota DPRD Kabupaten Siak |
proyek pengadaan air bersih (PAB) Dumai |
Kejari Dumai Riau |
Dok. Indonesia Corruption Watch 2008 (diolah dari surat KPK 25 Agustus 2006 dan berbagai sumber media)