Calon Perseorangan Cuma Jadi Obyek
Calon perseorangan hampir dipastikan tidak akan lolos dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Partai-partai ataupun fraksi-fraksi di DPRD tidak akan memberikan kursi kepala daerah itu untuk orang di luar kadernya. Karena itu, para calon perseorangan itu hanyalah dijadikan obyek untuk mengeruk keuntungan.
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Drs Kautsar Bailusy MA yang dihubungi pada hari Senin (21/2) mengemukakan, pilkada justru memberi peluang besar bagi partai atau fraksi di DPRD untuk mencari profit (keuntungan) dalam proses penjaringan para calon independen.
Partai kan membuka peluang bagi siapa saja yang mau menggunakan partai sebagai kendaraannya. Setiap pendaftar dalam proses penjaringan itu dikenai biaya Rp 5 juta, belum lagi kalau ada dana untuk kasak-kusuk, ujar Kautsar.
Persoalannya, lanjutnya, ada agenda tersembunyi yang dimiliki partai. Mereka pasti lebih memilih kader-kadernya sendiri untuk menduduki posisi kepala daerah. Sekarang ini (agenda) itu kan disimpan. Kalau terbuka, mana ada orang yang mendaftarkan diri karena pasti tidak berhasil, ujarnya.
Ditanya soal kemungkinan kericuhan antarpartai yang berkoalisi dalam menentukan calon peserta pilkada, Kautsar menyatakan, kemungkinan besar sudah ada kesepahaman.
Calon yang punya kursi lebih sedikit kelihatannya akan memilih posisi wakil, sedangkan partai yang kursinya lebih banyak akan mendapat jatah calon kepala daerah, katanya.
Massa
Yang perlu dicermati justru di tingkat massa. Bila simpatisan partai menolak apa yang digariskan pengurus partai, persoalannya bisa runyam dan bisa menimbulkan gejolak massa.
Itu kan yang terjadi di Kabupaten Gowa, antara Partai Merdeka dan Partai Amanat Nasional. Simpatisannya menolak, tetapi para pemimpin partainya sudah merintis untuk berkoalisi, ujar anggota Tim Verifikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah di Sulsel itu.
Selain itu, menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Pangkep Amir Amin, potensi kericuhan justru akan terjadi di tingkat antarcalon peserta pilkada. Yang rawan kalau para calon itu gontok-gontokan. Menjelang pemilihan, mereka saling jegal agar dirinya bisa lolos, papar Amir Amin.
Peran cukong
Pengamat masalah sosial dari Universitas Padjadjaran Bandung Budi Radjab dalam diskusi Telaah Kritis Atas Pilkada Langsung di Bandung, pekan lalu, mengharapkan agar pilkada tidak dikotori politik uang oleh para cukong. Para cukong itu mau mengeluarkan dana untuk membiayai calon kepala daerah dengan tujuan mempertahankan usaha ilegalnya.
Peluangnya selalu ada, karena dalam pemilihan, bupati atau wali kota pasti memerlukan dana besar. Indikasinya saya belum melihat lebih jelas, karena cukong-cukong itu pasti bermain sembunyi-sembunyi di belakang, ungkap Budi. Dia mengharapkan agar KPU membuat regulasi yang jelas untuk mencegah praktik politik uang, terutama oleh para cukong.
Sosialisasi pilkada di tingkat bawah hingga kini belum dilakukan oleh KPUD dan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat. Ini terjadi akibat lambatnya penerbitan peraturan pemerintah mengenai pilkada. (SSD/BAY/LKT/EVY/iam)
Sumber: Kompas, 22 Februari 2005