Catatan atas Korupsi DAU di Departemen Agama
Mengajarkan kata-kata dan memberikan teladan bijak menunjukkan pribadi-pribadi yang agamis. Namun oknum-oknum di Departemen Agama (Depag) malah memberikan warna penyimpangan pada masyarakat. Apakah teladan ini yang mendorong munculnya korupsi di berbagai instansi dan masyarakat, karena tindakan seperti ini dianggap halal?
Kasus dugaan penyimpangan Dana Abadi Umat (DAU) di Departemen Agama bukanlah hal pertama dan baru. Sepertinya yang terlibat kasus ini menganggap hal itu pekerjaan halal. Atau mungkin mereka sudah mahir dalam seluk beluk dosa, sehingga menganggap perbuatan dosa kalau diikuti dengan tobat atau kebaikan, Tuhan akan mengampuni.
Apapun itu, dugaan penyimpangan DAU bukanlah perbuatan iman, sehingga tak perlu ditiru oleh siapa pun. Masyarakat selama ini menganggap Departemen Agama selalu membicarakan kebenaran, atau meluruskan penyimpangan di masyarakat.
Namun, para pelaku rupanya lupa akan tugas dan tanggung jawab mereka, bahwa urusan haji bukan cuma sekadar mengurus keberangkatan haji, tapi juga untuk menjadikan haji-haji yang mabrur.
Pola mismanajemen yang terstruktur menjadikan pelaku gelap mata, tanpa peduli terhadap masyarakat yang dengan niat suci dan luhur akan menunaikan rukun agama. Naik haji merupakan dorongan batin untuk menunaikan rukun agama dengan penuh pengorbanan dari dirinya sendiri. Tetapi ada instansi lain yang rela membiayai orang lain untuk menjalankan ibadah tersebut tanpa mengeluarkan sepeser pun. Memang manusia makhluk sosial (homo socius) yang saling menolong. Lalu apakah pertolongan keberangkatan haji seperti itu tanpa pamrih atau dengan pamrih?
Apabila pertolongan tersebut tanpa pamrih, berarti pribadi penolong mendapat pahala besar, tetapi sebaliknya bila pertolongan dengan pamrih berarti pelaku-pelaku membuat sistem jaringan dosa.
Apakah jaringan ini telah bekerja secara sempurna dan mengakar dalam raga pribadi manusia Indonesia sehingga sulit dideteksi siapa pelaku yang sebenarnya? Bila ya, berarti dosa sosial telah menjamur sehingga tindakan penyimpangan seperti ini terus berlangsung bahkan dengan terang-terangan.
Kondisi seperti ini berlangsung karena citra orang bahwa mereka yang di Departemen Agama mengerti dan mengetahui betul tentang ajaran agama. Kalau mereka saja menyimpang apalagi yang lain? Jika pandangan seperti ini menjadi modal budaya penyimpangan sosial demi kebahagiaan pribadi tertentu, maka celakalah generasi penerus. Perilaku mereka bisa menyimpang terus dari ajaran agama, dan hanya memusatkan perhatian pada diri sendiri dengan membahasakan kebenaran.
Apakah ini bisa berarti sesuatu yang sesat yang diteladankan oleh instansi tersebut kepada masyarakat, lalu dikonversikan menjadi posisi rahmat? Bisa jadi itu yang mengakibatkan pribadi manusia berlomba mengambil jalan salah, merelakan pribadinya diperbudak nilai material, lalu meluaslah penyakit sosial yang turut membahayakan masyarakat dengan berbagai kasus seperti: korupsi, perampokan dll.
Lalu, bagaimana peran akal dan budi dari pihak kita untuk mengembalikan posisi manusia Indonesia ke citra yang baik dan benar?
Dosa Kebiasaan
Masyarakat mencitrakan Departemen Agama sebagai pengayom dan protektor kerohanian. Namun, penyimpangan di sana terus berjalan dengan rapi, sehingga anggapan terhadap Depag itu melanggengkan jalannya penyimpangan DAU; ia menjadi suatu dosa kebiasaan (habitus sin), memeras habis-habisan golongan lemah yang punya niat baik guna menjalankan rukun agama.
Inilah suatu kesulitan yang sangat mendasar bagi kelompok yang biasa mengarahkan pribadi guna hidup sesuai ajaran agama yang baik dan benar. Karena semua orang merasa instansi tersebutlah yang lebih berkuasa dan lebih tahu ajaran-ajaran agama dan moral. Situasi seperti ini bisa menularkan penyakit yang produktif, kreatif dan inovatif yang sulit ditemukan antivirusnya.
Patut dipelajari, apakah penyimpangan yang terjadi baru sebatas nilai nominal rupiah, ataukah adakah penyimpangan yang lain lagi dari material yang ada? Bagaimana pun uang adalah akar dari segala kejahatan, namun mungkin suara Tuhan yang terus mengingatkan mereka untuk mengajarkan dan memberikan teladan yang baik menyangkut harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan tidak digubris. Oleh karena itu pribadi-pribadi yang terlibat dalam kasus penyimpangan segera kembali ke jalan benar karena dengan bertobat berarti kita lebih merasa bahagia.
Saya meminjan istilah Felix Culpa