Cegah Korupsi dengan ULP dan E-procurement
Indonesia bisa menghemat banyak tanpa korupsi di sektor pengadaan. Mencegah bocornya uang rakyat dapat dihadang sejak awal dengan Unit Layanan Pengadaan serta pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik yang lazim disebut e-procurement.
Denny Wahyu Hartanto, Kepala Biro Tata Laksana DKI Jakarta, mengungkapkan bahwa ULP dibentuk untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, serta mewujudkan pengadaan batang dan jasa yang dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis dan administratif menurut peraturan perundang-undangan yang ada.
“ULP itu tugasnya sekurang-kurangnya ada 19. Kewenangan dan tugas ULP begitu besar,” katanya.
Tugas ULP beragam mulai dari mengkaji ulang Rencana Umum Pengadaan Barang dan Jasa (RUPBJ) bersama Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), menyusun rencana pemilihan pengadaan barang dan jasa, sampai mengumumkan pengadaan barang dan jasa di website, papan pengumuman, dan portal pengadaan nasional. ULP juga bertanggung jawab menilai kualifikasi calon penyedia, hingga ke soal teknis dan harga.
Menurut Larto Untoro, Kepala Bagian Pengadaan ULP Komisi Pemberantasan Korupsi, Unit Layanan Pengadaan adalah “pemimpin dan mendesain pasar”. “Mau dibawa kemana pasar kita? Ini terserah teman-teman ULP,” ujarnya.
E-procurement, langkah baru reformasi pengadaan
Sejak 2012 lalu, pemerintah mewajibkan pengadaan barang dan jasa dilakukan secara elektronik, dikenal dengan electronic procurement atau e-procurement. E-procurement dilakukan secara online atau daring (dalam jaringan) internet.
Menurut Sely Martini, Deputi Koordinator ICW Bidang Monitoring dan Evaluasi, e-procurement berguna untuk para pegawai negeri sipil yang memikul tanggung jawab pengadaan. Sebab, ada saja tekanan politik bagi para PNS yang mengganggu kelancaran pengadaan tanpa korupsi.
Beberapa Satuan Kerja Perangkat Dinas DKI Jakarta, kata Sely, sering kali mendapat tekanan dari “gedung sebelah”, rujuknya pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta.
“Dengan e-procurement, Bapak Ibu bisa bekerja lebih independen. Jadi tidak ada alasan lagi ada proyek bayangan, atau harus selesai cepat. ini membebaskan Bapak Ibu dari tekanan politik,” kata Sely.
“Kalau kita tidak berubah, hasil yang kita keluarkan begitu-begitu saja,” imbuh Fadli Arif, Direktur Pengembangan Sistem Katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Menurutnya, konsekuensi perubahan pemerintah termasuk mereformasi sistem pengadaan barang dan jasa.
“Dalam mereformasi juga tidak asal-asalan. Ada pilar-pilar patokan. Salah satu pilar yang ingin kita kembangkan adalah market practice, dengan e-purchasing, inilah pilar ketiga dalam reformasi pengadaan barang dan jasa,” jelasnya merujuk e-procurement.
Pantau e-procurement dengan opentender.net
Tahun lalu, ICW dan LKPP menandatangani nota kesepahaman. LKPP bersedia membagi data pengadaan barang dan jasa seluruh Indonesia pada ICW. Seluruh data ini dimasukkan ke dalam website opentender.net, portal pemantauan pengadaan pemerintah yang mudah diutak-atik.
Lewat opentender.net, masyarakat bisa mengawasi proyek pengadaan yang tengah berlangsung di seluruh Indonesia. Dengan memasukkan kata-kata kunci ke mesin pencari opentender.net, publik dengan mudah bisa mengawasi proses dan mencegah penyelewengan sejak awal.
“Kita bisa tahu kelompok-kelompok mana saja yang menguasai proyek rehabilitasi sekolah, rumah sakit. Dan sekarang masyarakat sudah sangat pintar,” kata Sely. Masyarakat, tambahnya, juga bisa mengetahui berapa jumlah dan nilai proyek di wilayahnya dengan mengoperasikan opentender.net.
Menurut Sely, dengan e-procurement dan penyelenggara negara yang berintegritas, Indonesia bisa cepat bersih dari korupsi.
“Uang Rp 17 triliun di DKI akan selamat,” kata Sely mengacu pada Anggaran Pendapatan Belanja Jakarta.
Sely menekankan bahwa masyarakat wajib mengawasi proses pengadaan barang dan jasa. Sebab, masyarakat membayar pajak dan pungutan pemerintah lainnya sebagai ongkos menikmati pelayanan publik.
Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga wajib memberi pelayanan terbaik. Penyedia swasta pun tak luput harus terus berinovasi dan meningkatkan kualitas, supaya tidak tertinggal dari negara-negara lain.
Sistem waspada korupsi pengadaan
Sely menjelaskan bahwa masyarakat memerlukan “sistem waspada” (alert system) agar selamat dari korupsi, layaknya bencana memiliki sistem waspada. Menurut Sely, sistem waspada korupsi pengadaan barang dan jasa ini harus cepat dan tepat. Opentender.net dibuat untuk menjadi sistem waspada itu.
Sebelumnyam ICW telah melakukan uji coba dengan LKPP dan mendapatkan data 535 Layanan Pengadaan Secara Elektronik. Dari data ini, ICW membuat lima kriteria pengawasan, yaitu:
- Nilai kontrak relatif besar (sehingga banyak pihak yang ingin mendapat untung)
- Jumlah peserta tender hanya sedikit (yang memberi penawaran hanya 3, 4, atau 6 calon penyedia).
- Penghematan (saving) negara sangat kecil (ada inefisiensi Harga Perkiraan Sendiri dengan nilai kontrak)
- Proyek konstruksi yang dibangun di kuartal ke-4. (contohnya pembuatan gedung dan jalan dilakukan di kuartal terakhir, di mana evaluasi sangat sulit dilakukan)
- Pemenang berulang.
Sely mengungkapkan data e-procurement Provinsi DKI Jakarta di seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tahun anggaran 2013 DKI Jakarta sebesar Rp 13 triliun dengan 1.200 pemenang. Publik juga dapat mengetahui sepuluh rekanan yang paling banyak mendapatkan proyek per SKPD. Nah, lewat opentender.net, dengan sekali klik, masyarakat dapat melihat kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
“Masyarakat DKI Jakarta bisa melihat proyek-proyek dengan potensi resiko dikorupsi paling besar, apa saja proyeknya, mana yang paling berpotensi,” terang Sely memperlihatkan satu laman opentender.net.
Publik juga bisa menilai SKPD mana yang memiliki perencanaan terbaik maupun yang menunda-nunda.
“Masyarakat memonitor Bapak Ibu bekerja di dalam, maka mempercepat pemberantasan korupsi. Agar kota-kota lain bisa ikut serta,” kata Sely lagi.
Fadli menyatakan pengadaan barang dan Jasa paling rawan dengan korupsi. Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa, tuturnya, berjumlah 38% dari kasus-kasus yang ditangani KPK pada 2012.
Menurut Larto, ada enam problem pengadaan pemerintah, yaitu: adanya kepentingan tertentu, proses pengadaan yang tidak terbuka, sumber daya manusia tidak berkualitas, kurangnya kapasitas manajemen, kurangnya pengawasan, dan vendor yang tidak kompeten.
Larto menambahkan tiga faktor pemicu korupsi, yaitu: kerakusan, kebutuhan, dan kesempatan. Beberapa modus korupsi terutama dalam pengadaan, juga didukung adanya kesempatan. Misalnya penggelembungan harga (mark-up) saat proses perencanaan pengadaan.
Walaupun demikian, Larto menyadari adanya dilema bagi pegawai negeri ketika menjalankan tugas, salah satunya adalah kesempatan menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup untung pribadi, yang berujung tindak pidana korupsi.
“Namun ini menjadi pilihan Bapak dan Ibu,” ujar Larto, mengembalikan keputusan itu pada para peserta sosialisasi.
“Pemberantasan korupsi bukan hanya memenjarakan koruptor. Yang paling penting itu masyarakat yang berintegritas dan penyelenggara negara yang karakternya juga berintegritas,” tutup Sely.