Cicak dan Buaya Bermain Bola

pak ekoPerseteruan cicak dan buaya masih berlanjut. Kali ini perseteruan antara pemberantas korupsi dan koruptor beserta pendukungnya itu terjadi di lapangan bola.

Pertandingan sepak bola itu berlangsung di lapangan futsal Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah, Minggu (8/11) pagi. Tim cicak dan tim buaya masing-masing diperkuat lima orang.

Tidak seperti pertandingan sepak bola pada umumnya, ada banyak aksesori di tubuh pemain maupun di tiang gawang. Setiap pemain memakai tanda pengenal di dada.

Khusus tim buaya, masing- masing pemainnya memasang gambar buaya di dada.

Di punggung tertera identitas lain, yaitu jaksa, polisi, dan pengacara. Di tiang gawang kubu tim buaya terpasang boneka buaya dan spanduk bertuliskan ”Negeri Para Buaya”. Ada pula tulisan-tulisan lain, seperti ”Kasus Korupsi Jateng”, ”Kasus BLBI”, atau ”Korupsi Buku Ajar”.

Sementara itu, wasit dalam pertandingan itu memakai tanda pengenal ”Presiden SBY”. ”Pertandingan bola ini hanyalah sebuah parodi yang menggambarkan penegakan hukum di Indonesia yang masih kacau,” kata koordinator parodi dari Komunitas Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) Jateng, Eko Haryanto.

Bola korupsi
Bola menggambarkan kasus korupsi, sedangkan gawang merupakan pengadilan. Memasukkan bola ke gawang diartikan sebagai menuntaskan kasus korupsi itu hingga ke pengadilan.

Sejak awal pertandingan, tim cicak terus menggempur pertahanan tim buaya. Melihat serangan tim cicak yang membabi buta itu, tim buaya mulai panik dan mendekati wasit.

”Bagaimana ini pak wasit, kami tidak mau kalah. Pokoknya harus menang,” kata salah satu pemain tim buaya. Akhirnya, pemain tersebut mengeluarkan sejumlah uang dan menyerahkannya kepada wasit. Wasit pun mengangguk dan melanjutkan pertandingan.

Pada akhir pertandingan, tim buaya kalah telak 1-10. Pemain tim buaya pun mendekati wasit lagi. Akhirnya, wasit maju ke tengah lapangan dan menganulir semua gol yang diciptakan tim cicak. Tim buaya pun menang dan bersorak-sorak.

Parodi
Parodi itu ingin menjelaskan bahwa belum ada ketegasan dan komitmen yang kuat dalam pemberantasan korupsi.

”Hampir semua kasus korupsi selalu dioper ke mana-mana dan tidak pernah sampai ke pengadilan,” kata Eko.

Daftar kasus korupsi yang terpajang di gawang tim buaya merupakan contoh kasus-kasus yang belum tuntas. Tidak hanya kasus korupsi di tingkat nasional, tetapi juga kasus di tingkat daerah, seperti dugaan korupsi kepala daerah di Jateng.

Mungkin pernyataan yang menggambarkan pertikaian antara KPK dan pihak lain sebagai pertarungan antara buaya dan cicak bukan hanya memberikan inspirasi di Universitas Diponegoro Semarang. Mungkin ada di tempat lain pula. Pernyataan tersebut ternyata punya guna juga. (Herpin Dewanto)

Sumber: Kompas, 9 November 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan