Citra Pertamina Kembali ke Titik Nol [16/06/04]
Aku kemarin telepon-teleponan sama orang Pertamina... Mereka bilang citra Pertamina balik lagi ke nol besar akibat ulah direksi sekarang menjual dua tanker raksasa. Demikian salah satu pelayanan pesan singkat senada yang diterima Kompas dari beberapa orang yang prihatin dengan keputusan penjualan tanker raksasa (very large crude carries/VLCC) milik Pertamina.
Citra Pertamina yang sangat buruk, sarat dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) di zaman Orde Baru sebenarnya telah dikikis perlahan-lahan oleh Direktur lama Baihaki Hakim. Tetapi, adanya kebijakan kontroversial oleh direksi baru yang dipimpin Ariffi Nawawi untuk menjual tanker raksasa milik Pertamina, kesan penyakit KKN kembali menyerang tubuh perusahaan minyak nasional ini.
Baihaki yang dipilih langsung oleh mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid sebagai Dirut Pertamina pada bulan Februari 2002, pada tahun 2003 memesan dua tanker raksasa di Hyundai Heavy Industries di Korea Selatan (Korsel). Langkah tersebut untuk menjadikan Pertamina mandiri dengan mengurangi ketergantungan pada mafia tanker yang selama ini mengatur harga sewa.
Sayangnya, rencana itu langsung dianulir oleh direksi Pertamina yang dipimpin Ariffi Nawawi karena berbagai alasan yang pada zaman Baihaki tak pernah mencuat. Alasan itu antara lain, kondisi keuangan lagi kolaps, SDM tidak mampu, dan pengoperasian tanker menyebabkan biaya tinggi.
Akibat keputusan direksi menjual tanker raksasa yang dianggap menguntungkan Pertamina, citra perusahaan ini langsung merosot. Padahal, di zaman Baihaki citra tersebut susah payah dibangun dan belum 100 persen pulih dari tudingan KKN.
Hubungan antara merosotnya citra dengan penjualan tanker karena direksi tetap ngotot menjual tanker, sekalipun semua lembaga yang melakukan audit pembelian tanker menyimpulkan bahwa jika tanker dipertahankan maka akan menguntungkan. Tetapi, Pertamina dengan berbagai alasan tetap melaksanakan proses penjualan tanker.
Akan tetapi, ibarat anjing menggonggong kafilah berlalu, Pertamina tetap melanjutkan proses penjualan tanker yang dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. Bahkan, mengabaikan proses pengambilan keputusan Komisi VIII DPR yang mendesak dibatalkan rencana penjualan tanker. Sebagai BUMN yang berada di bawah pengawasan Komisi VIII DPR, perusahaan ini mengambil keputusan berani untuk tetap menjual tanker di tengah Komisi VIII mempersiapkan keputusan penolakan.
Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tanggal 8 Maret 2004 menyimpulkan, pembangunan kedua tanker tipe VLCC lebih tepat ketimbang menyewa karena terdapat penghematan sebesar 20,120 juta dollar AS per tanker selama 25 tahun usia ekonomi. BPKP juga menyimpulkan, posisi tawar Pertamina terhadap broker kapal sewa makin kuat, dan pasokan minyak mentah dari Timur Tengah ke Kilang UP-IV Cilacap jadi terjamin.
Selain itu, BPKP juga melihat adanya potensi penghematan 6,354 juta dollar AS karena adanya percepatan penyerahan tanker dari jadwal semula jika dihitung dari tarif sewa tanker per hari. Pertamina juga diuntungkan karena harga membangun saat ini terdapat selisih sekitar 14 juta dollar AS per kapal.
Oleh karena itu, BPKP meminta Pertamina untuk segera membentuk perusahaan special purpose company (SPC) dari setiap tanker raksasa sebelum kapal selesai agar terhindar dari tuntutan hukum di kemudian hari. BPKP juga meminta Pertamina untuk segera mencari penyandang dana, antara lain dari The Export-Import Bank of Korea.
Sementara itu, kajian dari lembaga Japan Marine Science Inc pada bulan April 2004 menyebutkan bahwa investasi tanker tersebut akan membawa Pertamina pada posisi yang kompetitif dalam pasar tanker internasional. Japan Marine juga menyebutkan bahwa tingkat pengembalian investasi dari dua tanker ini kepada Pertamina sebesar 11,83 persen.
Jika tanker raksasa ini digunakan Pertamina untuk mengangkut minyak mentah dari Arab Saudi ke Cilacap, maka sesuai kajian Japan Marine, keuntungan per hari dari Pertamina 19.515 dollar AS. Hitungan ini berdasarkan penghasilan tanker raksasa 47.212 dollar AS per hari, sementara biaya operasi hanya 27.697 dollar AS per hari.
Sementara itu, hasil kunjungan Komisi VIII ke Korsel mendapatkan masukan bahwa harga tanker dengan konstruksi lambung ganda (double hull) seperti yang dimiliki Pertamina akan mengalami kenaikan sekitar 30 persen setiap tahun karena memiliki prospek bisnis bagus, selain juga karena perkembangan harga baja. Pihak Hyundai juga menyampaikan bahwa galangan mereka tidak menerima pesanan tanker raksasa seperti dimiliki Pertamina hingga tahun 2007 karena banyak pesanan.
Lagi pula, pihak galangan kapal Hyundai di Ulsan, Korsel, juga memuji rancangan tanker yang dibuat sendiri Pertamina. Pujian ini disampaikan langsung kepada rombongan DPR yang berkunjung ke sana.
Menurut Ketua Komisi VIII DPR Irwan Prayitno, salah seorang kapten kapal Pertamina mengatakan sanggup untuk mengoperasikan tanker itu seperti ketika pertama kali membawa tanker dari Timur Tengah ke Kilang Balongan, Indramayu, pada tahun 1980-an. Perbedaannya hanya pada ukuran tanker yang lebih besar.
Salah seorang pegawai American Bureau Shipping yang mengecek spesifikasi tanker milik Pertamina mengatakan, lembaga Marine Polution telah melarang tanker single hull beroperasi mulai tahun 2005. Bahkan Eropa, Australia, dan Amerika Serikat telah melarang tanker single hull.
Sementara itu, negara-negara di Timur Tengah bisa sewaktu-waktu melarang masuknya tanker single hull ke wilayah mereka. Jadi, tanker raksasa tidak mungkin menganggur di masa depan dan apabila dijual lima tahun mendatang, harganya masih bisa bertahan karena banyak peminat.
Akan tetapi, sebagai pengambil keputusan, direksi Pertamina punya sejuta alasan untuk membenarkan tindakan mereka menjual tanker dan mengalahkan perhitungan ekonomis, meskipun pernyataan direksi tersebut menimbulkan tanda tanya, bahkan menjadi bahan tertawaan.
Misalnya, apa yang dikatakan Irwan Prayitno ketika menyinggung omongan Direktur Keuangan Pertamina Alfred Rohimone di depan pegawai American Bureau Shipping di Ulsan, Korsel, bahwa Pertamina akan rugi karena tanker hanya membawa minyak sekali jalan, Irwan mengatakan omongan Alfred itu menjadi bahan tertawaan di Ulsan. Sebab, semua tanker sewa juga hanya pergi membawa muatan dan pulang dalam keadaan kosong.
Irwan juga menambahkan, pernyataan Direktur Hilir Pertamina Harry Poernomo bahwa Pertamina membutuhkan biaya tinggi untuk menyewa operator guna mengoperasikan tanker dianggap kurang tepat sebagai alasan menjual tanker. Pasalnya, jika Pertamina menyewa dari pihak ketiga, maka biaya sewa sudah merupakan bagian komponen biaya operasional.
Sebenarnya pernyataan direksi seputar penjualan tanker memang menjadi pertanyaan berbagai pihak karena dinilai tak masuk akal dan lucu. Penilaian ini terutama di mata Serikat Pekerja Pertamina Seluruh Indonesia (SP-PSI). Saat melaporkan dugaan korupsi atas penjualan tanker ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dipertanyakan beberapa pernyataan komisaris dan direksi Pertamina.
Misalnya pernyataan Komisaris Pertamina Roes Aryawijaya yang menyebutkan bahwa keputusan menjual tanker terkait dengan hasil konsultan Japan Marine yang merekomendasi menjual kapal tersebut. Ternyata, Japan Marine menilai menguntungkan bagi Pertamina jika memiliki tanker itu.
Mereka juga mempermasalahkan pernyataan Direktur Utama Pertamina Ariffi Nawawi yang mengatakan Pertamina akan tetap menyewa tanker yang biayanya hanya 20.000 dollar AS (sekitar Rp 190 juta) per hari karena mengoperasikan sendiri membutuhkan biaya 45.000 dollar AS per hari. Kenyataannya, semua lembaga yang mengaudit mengatakan bahwa Pertamina akan untung jika memiliki tanker. Bahkan, SP-PSI menyebutkan Return on Investment tanker raksasa Pertamina mencapai 11,83 persen sesuai kajian Japan Marine.
Pihak SP-PSI juga mempertanyakan data yang diperoleh Direktur Keuangan Alfred Rohimone karena mengatakan jika tanker raksasa dipakai sendiri maka patokan harga beli 130 juta dollar AS dan 20 tahun pemakaian efektif, maka biayanya menjadi 37.000 dollar AS per hari. Padahal menurut Alfred, kalau menyewa hanya 15.000 hingga 17.000 dollar per hari.
Biang kemahalan karena tanker hanya melayani rute Timur Tengah-Cilacap dan Timur Tengah-Balikpapan. Ketika datang ke Indonesia membawa minyak, tapi baliknya kosong.
Pernyataan Alfred tersebut dipertanyakan pihak SP-PSI, terutama dari mana mendapat angka 37.000 dollar AS per hari dan angka sewa 15.000 hingga 17.000 dollar AS per hari. Selain itu, biaya sewa tanker selalu dihitung bolak-balik, bukan hanya satu kali jalan.
Pihak SP-PSI juga mengemukakan, sesuai kajian Japan Marine, biaya sewa tanker raksasa seperti milik Pertamina pada tahun 2002 sebesar 25.829 dollar AS per hari, tahun 2003 akan naik menjadi 34.040 dollar AS, dan tahun 2004 naik lagi menjadi 47.212 dollar AS per hari. Artinya, dari tahun 2002 hingga tahun 2004 terjadi kenaikan tarif sewa tanker sebesar 83 persen.
Pernyataan direksi mengenai target harga penjualan yang harus sesuai harga pasar juga dikritisi SP-PSI dan pengamat bisnis perkapalan. Pasalnya, harga penjualan dua tanker raksasa yang dikabarkan telah laku 184 juta dollar AS dinilai merugikan negara karena terlalu rendah.
Staf pengajar bisnis pelayaran di Pascasarjana Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Surabaya, Raja Saut Guming, mengatakan, harga pasar dari tanker raksasa yang sedang dibangun Pertamina di galangan kapal Hyundai pada saat ini berkisar antara 100 juta dollar AS hingga 120 juta dollar AS per tanker.
Bahkan, menurut Raja, seandainya kapal tersebut dipertahankan oleh Pertamina hingga tahun 2008 dan baru dijual pada tahun 2009, harga saat dijual masih bisa dipertahankan pada angka 100 juta dollar AS. Alasan dia, pasokan tanker baru stabil pada tahun 2010 sehingga harga tanker baru mencapai titik kulminasi pada tahun 2009.
Sementara itu, SP-PSI juga mengingatkan jika tanker Pertamina hanya terjual 90 juta dollar AS, Pertamina menderita kerugian 40 juta dollar AS atau sekitar Rp 380 miliar. Kerugian itu karena harga jual tanker harusnya di atas 110 juta dollar AS karena Pertamina harus memperhitungkan prospek bisnis tiga tahun ke depan.
Kini Pertamina mendapat ujian berat. Keputusan ada di tangan komisaris dan direksi. Jika belakangan hari terbukti salah, bisa saja menuai tuntutan hukum.(Buyung Wijaya Kusuma)
Sumber: Kompas, 16 Juni 2004