Common Enemy dan Solusi Terintegrasi
Pemberantasan korupsi merupakan sebuah keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Tanpa hal tersebut, permasalahan-permasalahan yang sekian lama membelenggu bangsa ini tidak pernah selesai. Sebab, inti segala permasalahan adalah kebobrokan attitude bernegara bangsa ini, termasuk budaya korupsi.
Namun, lebih dari dua bulan masa pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) mengalami banyak kesulitan. Setidaknya, itu tergambar dalam keluh-kesahnya pada pidato 30 hari masa pemerintahan (20/11/2004).
Kesulitan yang dihadapi pemerintah tentu merupakan hal yang bersifat akumulatif. Aturan pemberantasan korupsi yang kurang jelas dan multiinterpretatif merupakan sebab utama. Selain itu, perilaku penegak hukum yang menyimpang merupakan permasalahan tersendiri.
Sudah jamak diketahui, perilaku menyimpang aparat penegak hukum terdapat dalam tataran penyidik (polisi dan jaksa) maupun pembuat keputusan (decission maker) di pengadilan.
Belum lagi penempatan orang yang salah (the wrong man on the wrong place) pada jajaran penegak hukum. Dengan demikian, dalam hal tersebut, tugas berat jaksa agung adalah harus melakukan jejak rekam (track record) jajaran di bawahnya, sehingga jika ditemukan orang-orang yang tidak representatif (baca: tidak mumpuni), segera digantikan dengan orang yang lebih kompeten.
Shifting Paradigm
Sebuah hal yang ironis, ketika rakyat sekian lama berteriak-teriak mengenai pemberantasan korupsi, aparat masih menggunakan paradigma lama dalam melaksanakan tugasnya.
Di sinilah, dibutuhkan perubahan pola pikir (shifting paradigm) para penegak hukum. Pola pikir yang dimaksud adalah pola pikir progresif-reformatif dan mau meninggalkan tradisi lama, seperti keengganan menyentuh koruptor kelas kakap yang dekat dengan penguasa.
Tentu, dalam mentradisikan sikap progresifitas tersebut, dibutuhkan konsensus bersama pihak kepolisisan, kejaksaan, kehakiman, dan seluruh elemen bangsa.
Dengan merumuskan itu, diharapkan, seluruh penegak hukum dan masyarakat luas akan bekerja sama secara sinergis berperang melawan korupsi. Konsep korupsi sebagai musuh bersama (common enemy) merupakan langkah paling konkret yang harus dilakukan jajaran pemerintahan SBY-JK. Tanpa pemahaman sebagai musuh bersama, korupsi selalu beradaptasi dengan kondisi yang ada.
Terapi kejut (shock therapy) dalam pemberantasan korupsi merupakan salah satu manifestasi kesadaran (consciousness) bahwa korupsi sebagai musuh bersama. Seperti jamak kita saksikan, hari-hari pertama setelah pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), hampir semua anggota kabinet berjanji melakukan shock therapy dalam seratus hari pertama kerja.
Ketika itu, dengan wajah berseri-seri para menteri berjanji akan melakukan terapi kejut di lingkungan kerja masing-masing. Fokusnya, agenda pemberantasan korupsi.
Pemerintahan SBY yang menggunakan diktum perubahan sebagai jargon politik memang sungguh memukau. Perubahan dalam panorama institusi penegak hukum merupakan hal sangat penting yang pernah dijanjikan. Tanpa sebuah niat perubahan kolektif, mustahil jika pemberantasan korupsi akan dapat dicapai. Bahkan, jargon perubahan yang diusung dalam kampanye SBY-JK akan menjadi bom waktu yang setiap saat meledak.
***
Secara normatif, saya dapat mengungkapkan bahwa pemberantasan korupsi harus merupakan langkah terintegrasi semua eleman bangsa. Sebab, korupsi adalah permasalahan yang kompleks dan terintegrasi. Di sanalah, perang melawan korupsi merupakan langkah yang kolektif.
Langkah tersebut harus bersinergi dengan perubahan dan normalisasi kehidupan politik, pembangunan ekonomi, dan reformasi birokratis. Hal itu sesuai apa yang diusulkan pemantau korupsi Indonesia (ICW) dan transparency Indonesia (TI). Tanpa langkah kolektif dan strategi terintegrasi dalam memberantas korupsi, usaha terbebas dari budaya koruptif merupakan ilusi belaka.
Selain hal tersebut di atas, keberanian pemerintah (government brave) membuat jera koruptor kurang terlihat. Justru, hal sebaliknya yang terlihat, pemerintah ragu dan tidak tegas (indecisive) melakukan program aksi pemberantasan korupsi. Komitmen SBY yang akan memberikan dua borgol pada jaksa agung harus ditagih.
Seperti yang dijanjikan dalam kampanye pemilihan presiden, SBY akan memberikan dua borgol pada jaksa agung; satu borgol untuk para koruptor, satu untuk jaksa agung jika menyeleweng dari tugasnya. Pernyataan itu sungguh memikat, namun, implementasinya harus terus dituntut masyarakat luas.
SBY-Kalla telah memulai masa bulan pertamanya dengan keraguan, termasuk kasus pemberantasan korupsi. Hal itu tidak perlu terjadi jika SBY-Kalla menyadari betapa besar legitimasi masyarakat terhadapnya. Sebenarnya, dengan legitimasi itu, SBY-Kalla dan seluruh jajarannya mesti berani melakukan terobosan kreatif, konsisten, dan konstruktif dalam mem-follow up-i kemauan politik memberantas korupsi. Di antaranya, mengajukan konsepsi common enemy bagi korupsi, termasuk shock therapy seperti pemberhentian pejabat publik yang terindikasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi.
Substansi Masa Seratus Hari
Menurut subjektivitas saya, penempatan masa seratus hari sebagai salah satu parameter keberhasilan pemberantasan korupsi merupakan hal yang keliru. Di sana, kita dapat melihat jajaran pemerintahan SBY-Kalla hanya mengambil label seratus hari, bukan substansinya. Mengingat, dalam kondisi negara yang tidak menentu -akibat krisis multidimensi- secara logika sederhana, pemerintah belum mampu berbuat apa-apa. Bagi penegak hukum, seratus hari tidak lebih dari waktu pengenalan dan adaptasi tugasnya.
Seperti sering diungkapkan SBY, agenda pemberantasan korupsi akan dipimpin langsung presiden. Namun di lain sisi, SBY mengungkapkan kesulitan-kesulitan dalam memberantasan korupsi, khususnya dalam kaitannya dengan program seratus harinya. Program pemberantasan korupsi pada masa seratus hari hanya simbol, bukan keberhasilan. Itulah dilema SBY dalam menjaga ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahannya.(Munib Ansori, mahasiswa Sastra Asia Barat (Arab) Universitas Indonesia)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 23 Desember 2004