Daan Dimara: Hamid Harus Dijadikan Tersangka

Tanpa putusan pengadilan, ia tak bisa diproses.

Daan Dimara, terdakwa korupsi pengadaan segel surat suara Pemilihan Umum 2004, meminta kepolisian menetapkan bekas Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin sebagai tersangka dalam kasus kesaksian palsu. Selama ini polisi beralasan pemeriksaan Hamid menunggu izin Presiden. Sekarang dia bukan menteri lagi, ujar Daan saat dihubungi Tempo kemarin.

Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum itu sekarang berada di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dalam kasus korupsi pengadaan segel surat suara, dia divonis empat tahun penjara.

Pada 14 September 2006 Daan telah melaporkan kesaksian palsu Hamid itu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Sehari kemudian, ia divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam kesaksiannya di persidangan kasus itu pada 25 Juli 2006, Hamid membantah jika disebut telah menentukan harga segel surat suara untuk pemilihan presiden putaran pertama dan kedua pada 2004. Kata Daan, dalam sidang itu di antaranya Hamid mengatakan, Banyak rapat di KPU, tapi saya tidak pernah hadir dan memimpin dalam rapat (14 Juni 2004).

Jawaban tersebut diucapkan Hamid ketika hakim I Made Hendra Kusumah menanyakan tudingan benarkah dia memimpin rapat penentuan harga kertas segel surat suara. Ketika Hakim Made mengingatkan agar Hamid bersaksi secara jujur karena telah disumpah, yang bersangkutan menjawab, Ya, sangat benar.

Menurut Daan, penentuan ongkos cetak segel surat suara pemilu presiden dilakukan sebelum dia ditunjuk menjadi ketua panitia pengadaan segel. Proses penentuan ongkos cetak segel suara itu, kata dia, dilakukan Hamid.

Keterangan Daan ini dikuatkan lima saksi lain, yaitu bos PT Royal Standard, Untung Sastrawijaya; dua anggota staf Untung; dan dua anggota panitia pengadaan barang KPU, Boradi dan Bakrie Asnuri. Kelima saksi tersebut menyatakan Hamid memimpin rapat penentuan harga pada 14 Juni 2004.

Daan menegaskan berkas salinan berita acara persidangan itu masih di pengadilan. Berkas tersebut, katanya, berisi keterangan Hamid, kesaksian staf KPU, dan pengusaha pencetak segel suara di pengadilan.

Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Carlo Brix Tewu mengatakan akan memanggil Hamid untuk diperiksa dalam kasus kesaksian palsu itu. Panggilannya bisa langsung dilakukan tanpa seizin Presiden, katanya (Koran Tempo, 8 Mei).

Kuasa hukum Hamid, Amir Syamsudin, mempertanyakan rencana pemanggilan kliennya itu oleh polisi. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, katanya, kasus sumpah palsu bisa diproses apabila sudah ada keputusan resmi pengadilan. Tidak sembarang orang bisa diproses dalam kasus sumpah palsu, kata Amir kemarin.

Pengacara Daan Dimara, Erick S. Paat, mengatakan Hamid sudah bisa diperiksa tanpa menunggu salinan berita acara. Ia bermaksud menemui Komisi Pemberantasan Korupsi dan jaksa penuntut. Kami ingin KPK dan jaksa penuntut menentukan sikap bahwa Hamid menjadi tersangka, bukan sekadar saksi, katanya. ERWIN DARYANTO | INDRIANI DYAH S | PURWANTO

------------------------------------------------

Siapa Berbohong

Ini kisah lama soal korupsi di Komisi Pemilihan Umum yang melibatkan Hamid Awaludin. Perkaranya sederhana: lima orang pejabat KPU menyatakan Hamid ikut rapat di kantor Komisi Pemilihan Umum pada 14 Juni 2004, menentukan harga kertas segel kotak suara. Namun, di sidang pengadilan, Hamid berkukuh membantah ikut rapat.

Majelis di meja hijau saat itu sedang menyidangkan Daan Dimara, anggota KPU yang dituduh menunjuk PT Royal Standard tanpa tender dalam pengadaan segel kotak suara pemilihan presiden 2004. Daan belakangan divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Daan meminta penegak hukum menyeret Hamid jadi tersangka. Namun, sampai kemarin polisi belum memeriksanya. Jadi siapa yang berbohong? Hamid ataukah kelima saksi lainnya?

Hamid Awaludin
# Anggota KPU pada Pemilihan Presiden 2004
# Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2004-2007

Hamid menyatakan tidak tahu soal rapat yang menentukan harga kertas segel, Rp 99 per lembar, dalam rapat di kantor KPU pada 14 Juni 2004. Saya berpegang pada bukti notulensi, ujarnya.

Bakri Asnuri
# Anggota Staf Biro Hukum KPU

Saya pernah diperintahkan oleh Hamid Awaludin mendampinginya melakukan negosiasi harga dengan Untung Sastrawijaya dari PT Royal Standard.

Boradi
# Anggota Panitia Pengadaan Segel KPU

Boradi mengatakan pertemuan itu tidak seperti biasanya karena tanpa ada undangan, absensi, dan notulensi rapat. Pada 14 Juni 2004 siang, saya ditelepon Bakri Asnuri agar ikut rapat pengadaan segel di lantai tiga kantor KPU. Harga segel ditentukan oleh Hamid, Rp 99 per keping, yang saat itu menuliskannya di whiteboard.

Untung Sastrawijaya
# Direktur PT Royal Standard, pembuat segel. Sudah divonis lima tahun penjara dan denda Rp 250 juta.

Hamid Awaludin yang menentukan harga segel, yakni Rp 99 per keping. Penentuan itu dilakukan dalam rapat di kantor KPU pada 14 Juni 2004.

Aryoko Mochtar dan Zainal Asikin
# Anggota Staf Untung di Royal Standard

Jusuf Kalla Soal Hamid
# Wakil Presiden Jusuf Kalla disebut-sebut sangat dekat dengan Hamid. Anda jangan bikin trial by press terhadap Hamid.

Naskah: Nurkhoiri | Tempo
Sumber: Koran Tempo, 9 Mei 2007
----------------------------
Bidik Yusril-Hamid
Jaksa Agung Panggil Informan Uang Tommy

Lengser dari kabinet, Yusril Ihza Mahendra dan Hamid Awaluddin harus bersiap-siap menerima panggilan dari penyidik Kejaksaan Agung. Lembaga yang dipimpin Jaksa Agung Hendarman Supandji itu sedang mempelajari kasus yang diduga melibatkan kedua mantan menteri hukum dan HAM itu. Yakni, pencairan USD 10 juta (sekitar Rp 90 miliar) milik Tommy Soeharto di BNP Paribas, London.

Saya masih mempelajari berita-berita di koran. Kejaksaan belum masuk ke alat bukti. Meski demikian, dari mempelajari analisis berita, ada perbuatan melawan hukum, kata Hendarman Supandji di Gedung Bundar Kejagung kemarin.

Menurut Hendarman, sesuai ketentuan UU No 31 Tahun 1999, kejaksaan akan mempelajari apakah perbuatan tersebut dikategorikan tindak pidana korupsi. Kami akan mendalami. Ini kan tidak semudah (yang dibayangkan), jelas mantan ketua Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) itu.

Hendarman mengatakan, kejaksaan tidak memaksakan menangani itu jika kajian tersebut tak menemukan indikasi korupsi atau hanya sebatas pelanggaran hukum. Kejaksaan hingga kini belum menyimpulkan bentuk pelanggaran hukumnya, katanya.

Menurut Hendarman, untuk memulai pengusutan, kejaksaan akan memanggil seseorang yang diduga memiliki data-data tentang pencairan uang Tommy di BNP Paribas, London. Sayang, dia menolak menyebutkan identitas informan tersebut. Saya mencari datanya terlebih dahulu. Kalau ada seseorang yang punya, saya suruh panggil dia untuk memberikan data-datanya, ujarnya.

Kasus pencairan uang Tommy USD 10 juta di BNP Paribas terjadi saat Yusril dan Hamid menjabat menteri hukum dan HAM (Menkum HAM). Dua pejabat tinggi negara tersebut diduga mempermulus pencairan uang Tommy itu. Caranya, membuat surat bahwa Tommy terbebas dari kasus pidana, termasuk korupsi di Indonesia. Bahkan, Depkum HAM memfasilitasi Tommy dengan rekening departemen untuk menampung dana dari pencairan tersebut.

Sukses pencairan pertama, Tommy Soeharto kini berupaya menarik dana yang lain USD 36 juta (sekitar Rp 424 miliar) di BNP Paribas. Dalam persidangan 5 Mei lalu, surat sakti Hamid dibeber kubu Tommy kepada hakim dalam persidangan gugatan intervensi di pengadilan (royal court) Guernsey, Inggris.

Tak Lindungi
Menteri Hukum dan HAM Andi Matalatta menegaskan, departemen yang dipimpinnya tidak akan memberikan perlindungan kepada mantan Menkum HAM Hamid Awaluddin dan Yusril Ihza Mahendra.

Departemen Hukum dan HAM hanya melindungi yang tidak bersalah, kata Andi setelah menghadiri rapat koordinasi DPP Partai Golkar dan Fraksi Partai Golkar DPR di Jakarta kemarin sore.

Sangat tidak baik kalau Departemen Hukum dan HAM tidak memberikan contoh yang baik dalam penegakan hukum, tambah mantan dosen Unhas, Makassar, itu.

Meski menghormati Yusril dan Hamid sebagai pendahulunya di Depkum HAM, Andi menegaskan tidak akan menghalangi penyidikan yang dilakukan penegak hukum. Yang kita hormati itu kebaikannya. Kalau negara menuntut untuk diproses hukum, apa kewenangan saya untuk menghalangi, katanya.

Meski demikian, Andi menegaskan bahwa departemen yang dipimpinnya bukan lembaga penyidik. Karena itu, lanjut dia, pihaknya tidak akan proaktif dalam pengungkapan kasus tersebut. Namun, Depkum HAM kooperatif membantu Polri, Kejaksaan Agung, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus tersebut.

Yang menyidik itu polisi, jaksa, dan KPK. Tugas kami hanya membangun hukum dan mempromosikan HAM, kata mantan ketua Fraksi Partai Golkar itu.

Bila kasus tersebut terkait ulah orang dalam Depkum HAM, Andi menegaskan tidak akan menyembunyikan fakta maupun melindungi bawahannya. Dia bertekad untuk membenahi mentalitas bawahannya agar propenegakan hukum. Pasti akan ada pembenahan, ujar pria kelahiran Bone itu.

Malamnya, saat pernyataan Andi Matalatta itu dikonfirmasikan Jawa Pos kepada Yusril Ihza Mahendra di rumahnya, kompleks Widya Candra, mimik laki-laki asal Belitung, Provinsi Bangka Belitung (Babel), tersebut berubah tegang. Yusril menegaskan, dirinya tak perlu perlindungan siapa pun.

Saya berharap, cobalah tawaduk, banyak-banyak beristigfar. Baru menjadi menteri jangan ngomong yang aneh-aneh, ujarnya kepada Jawa Pos dengan nada tinggi. Mantan Mensesneg itu menegaskan, saat ini dirinya tidak perlu perlindungan dari Andi Matalatta.

Kajati Jatim Calon Kuat JAM Pidsus
Meski secara resmi baru hari ini dilantik menjadi jaksa agung, Hendarman Supandji kemarin sudah menerima kunjungan banyak tamu. Beberapa tamu yang datang di antaranya Chairuman Harahap (mantan ses-JAM Pidsus yang menjabat salah satu deputi di Kantor Menkopolkam), Indra Sahnun Lubis (ketua Ikatan Penasihat Hukum Indonesia/IPHI), dan beberapa anak buahnya. Mereka menyampaikan ucapan selamat atas tugas baru pria kelahiran Klaten, Jateng, itu sebagai jaksa agung.

Hendarman kemarin juga masih bisa memenuhi undangan seorang koleganya yang mantan anggota Timtastipikor. Yakni, menghadiri acara tasyakuran atas terpilih si pengundang menjadi Kapolres Karawang.

Ucapan selamat juga diterima Hendarman dalam bentuk ratusan SMS yang masuk ke ponselnya. Saya jawab SMS sampai jam dua malam. Saking banyaknya SMS, handphone saya sampai hang, kata Hendarman sambil tertawa.

Seusai pelantikan hari ini, Hendarman berencana memanggil seluruh jajaran Kejagung, terutama seluruh Kajati seluruh Indonesia untuk mendengarkan visi dan misi dirinya sebagai jaksa agung. Salah satunya, mengingatkan jajarannya tetap profesional dan punya integritas. Para jaksa juga diminta tidak menyakiti hati masyarakat selama menangani penyidikan dan menyelesaikan perkara. Ini sesuai amanat presiden, katanya.

Ditanya tentang siapa yang menggantikannya sebagai Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Khusus (Pidsus), Hendarman mengatakan pejabat baru harus memenuhi tiga kriteria. Yakni, harus kuat iman, taqwa; tidak mudah kompromi dengan pelaku korupsi; serta punya komitmen dalam melaksanakan tugas.

Siapa yang terpilih saya tidak tahu. Untuk mendekati semua syarat itu pasti sulit. Tapi, saya akan cari tiga calon. Kalau sudah terpilih saya ajukan ke presiden, katanya.

Menurut sumber di Kejagung, ada tiga kandidat yang bersaing untuk mengisi kursi itu. Mereka adalah Darmono (kepala Kejati DKI), Marwan Effendy (kepala Kejati Jawa Timur), dan M. Salim (direktur penyidikan Kejagung). Dari tiga kandidat tersebut, Darmono dan Marwan bersaing ketat. Sedangkan Salim harus bertugas menjadi kepala Kejati dulu sebelum menjabat eselon I di Kejagung. (agm/noe/nue)

Sumber: Jawa Pos, 9 Mei 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan