Daftar Penghentian Semakin Panjang
Daftar penghentian penanganan perkara di kejaksaan bertambah panjang. Satu nomor lagi ditambahkan pada daftar tersebut, yakni penghentian penyidikan perkara korupsi dana sisa anggaran Kedutaan Besar Republik Indonesia di Thailand.
Bertambah panjangnya daftar itu tak pelak membuat masyarakat bertanya-tanya, ”Apakah setiap perkara yang akan ditingkatkan ke penyidikan selalu dibahas matang?” Biasanya, perkara diselidiki lebih dulu. Kemudian, dibahas bersama untuk ditingkatkan ke penyidikan. Tak semua perkara berlanjut dari penyelidikan ke penyidikan.
Contohnya, penyelidikan dugaan korupsi dalam renovasi gedung Kedubes RI di Singapura. Setelah diselidiki beberapa waktu oleh Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dipimpin Hendarman Supandji, kasus itu pun menggantung. Padahal, mantan Dubes RI untuk Thailand Slamet Hidayat sudah dimintai keterangan.
Pada Mei 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Slamet Hidayat dan mantan Kepala Bagian Tata Usaha dan Administrasi KBRI di Singapura Erizal. Perkaranya, sama dengan yang diselidiki Tim Tastipikor, yakni korupsi berupa penggelembungan biaya renovasi gedung KBRI senilai Rp 16,548 miliar. Perkara itu terus bergulir hingga keduanya divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Contoh lain, perkara korupsi di KBRI di Thailand. Dalam menangani perkara itu, jaksa sudah menetapkan tersangka. Negara bahkan sudah mengeluarkan uang untuk membiayai jaksa ke Thailand, memeriksa sejumlah saksi dan tersangka serta menyita barang bukti.
Apa daya, setelah disidik sejak Juli 2009, angin berubah. Pada Desember 2009, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Marwan Effendy mengatakan, jaksa mengkaji lagi perkara itu. Sebab, ada kemungkinan hanya kesalahan administrasi, bukan tindak pidana korupsi. Dalih lain, uang negara sudah kembali.
Pada Maret 2010, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) pun terbit. Alasan dihentikannya penyidikan: perbuatan melawan hukum dan kerugian negara tidak terbukti.
Pertanyaannya kemudian, mengapa nekat meningkatkan perkara ke penyidikan jika hanya berakhir dengan SP3? Atau, seperti dipertanyakan Emerson Yuntho, Wakil Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, apakah ada intervensi dalam perkara itu? ”Bahkan, mungkin saja dalam perkara lain ada intervensi sehingga penyidikan tak berlanjut,” kata Emerson, Rabu (24/3).
Dasar pijakan dugaan Emerson adalah posisi Jaksa Agung yang berada di jajaran kabinet di bawah Presiden. Posisinya tak independen. ”Oleh karena itu, perlu didorong agar Jaksa Agung independen, tidak di bawah Presiden atau di dalam kabinet,” saran Emerson.
Namun, dugaan intervensi itu dibantah Marwan Effendy. ”Ini soal hukum, bukan politik,” katanya.
Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana, berpendapat nyaris sama dengan Emerson. Sistem ketatanegaraan di Indonesia saat ini membuat sistem menjadi tidak independen. Hal itu sangat terasa pada posisi kejaksaan dan kepolisian.
Meski demikian, Indriyanto mengakui, penghentian penyidikan dan penuntutan bagi kejaksaan memang dimungkinkan dan tidak menyalahi undang- undang. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur hal itu. ”Dalam kondisi normal, penghentian penyidikan dan penuntutan memang diatur,” kata Indriyanto, Rabu.
Namun, coba kita bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Pasal 40 menyebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi.
Sebagaimana dipaparkan Indriyanto, yang pernah terlibat sebagai anggota tim penyusun RUU KPK, semangat dalam pembentukan KPK adalah ketidakpercayaan terhadap penegak hukum yang ada, yakni kepolisian dan kejaksaan. Semangat lainnya adalah perlunya pembaruan dalam konteks hukum acara perkara korupsi.
Perkara korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Oleh karena itu, perlu perubahan paradigma dalam menanganinya, termasuk perlunya kekecualian dalam hukum acaranya. Bentuknya, tak ada penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa, tentunya semua penegak hukum setuju. Jaksa pun beberapa kali menyatakan hal itu. Persoalannya, mengapa jaksa masih menangani sebagaimana perkara biasa? Tak terlihat semangat untuk melakukan gebrakan luar biasa.
Kondisi itu terlihat jelas di masyarakat. Ada kesan, orang memilih beperkara di kejaksaan dibanding di KPK. Alasannya, perkara masih bisa dihentikan.
Untuk Indonesia, rasanya upaya luar biasa mesti dilakukan untuk memberantas korupsi. Bukan hanya oleh KPK, melainkan juga oleh semua unsur dan institusi penegak hukum. Indeks persepsi korupsi tahun 2009 yang dilansir Transparency International menyebutkan, Indonesia ada di peringkat ke-111 dengan indeks persepsi korupsi 2,8. (Dewi Indriastuti)
Sumber: Kompas, 3 April 2010