Dalam Tekanan Aliran Dana BI

Sejak ditetapkannya Gubernur Bank Indonesia menjadi tersangka bersama dua orang pejabat BI, muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Pendapat yang kontra khawatir bahwa penetapan tersebut berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia, khususnya citra BI sebagai lembaga keuangan nasional yang tepercaya. Pendapat yang pro mempersoalkan kekhawatiran di atas sebagai bentuk paranoia--BI sebagai lembaga independen seolah-olah imun dari langkah proyustisia.

Di sisi lain, kalangan internal BI dan sejumlah pengamat berpendapat bahwa penetapan Gubernur BI sebagai tersangka adalah langkah politis untuk menghentikan Gubernur BI mengikuti pemilihan kembali Gubernur BI yang akan digelar Maret mendatang. Mereka bertanya kenapa hanya seorang Burhanuddin yang ditetapkan sebagai tersangka, tidak seluruh anggota Dewan Gubernur BI yang turut menandatangani dan menyetujui keputusan Rapat Dewan Gubernur BI tertanggal 20 Maret 2003, 3 Juni 2003, dan 22 Juli 2003, termasuk antara lain AP dan AN yang ketika itu menjabat Deputi Gubernur Senior BI.

Terlepas dari berbagai pro dan kontra menyangkut penetapan Komisi Pemberantasan Korupsi atas Gubernur BI selaku tersangka, tentu secara jernih dan obyektif masyarakat serta pengamat harus memberikan kesempatan kepada KPK jilid II di bawah Antasari untuk menunjukkan kinerja mereka dan sekaligus membalikkan opini publik yang telah apriori--menilai kelima pemimpin KPK jilid II sebagai the underdog, penilaian yang sifatnya underestimate terhadap keberanian serta integritas Antasari dan kawan-kawan. Jelas bahwa penetapan Gubernur BI selaku tersangka bak petir di siang bolong, karena kemudian terbukti penilaian masyarakat tersebut terhadap KPK jilid II meleset, terutama dari kalangan pemilik kekuasaan dan kalangan BI yang selama ini menikmati euforia independensinya, bahkan lebih independen daripada instansi pemerintah mana pun di republik ini.

Masalah kasus aliran dana BI dalam hitungan paling lama enam bulan ke depan tetap akan menjadi prioritas penyelesaian KPK. Dan sudah tentu selama itu pula tekanan-tekanan kepentingan serta politik terhadap KPK akan semakin bertubi-tubi, karena keterlibatan oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dan kaitan dengan Istana serta masih banyak lagi kelompok kepentingan yang ikut bermain dan mempengaruhi penuntasan kasus ini. Namun, kita tetap harus obyektif memandang semua isu seputar langkah KPK tersebut, karena pemberantasan korupsi telah merupakan agenda Kabinet Indonesia Bersatu di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, sehingga isu keterkaitan kasus ini dengan Istana tidak relevan untuk dipersoalkan.

Langkah KPK jilid II yang dilantik oleh Presiden Yudhoyono akan tetap meneruskan tugas dan wewenangnya berdasarkan Undang-Undang KPK, dengan tetap berpijak pada prinsip proporsionalitas dan profesional serta juga menjunjung tinggi integritas dan akuntabilitas. Begitu pula isu KPK jilid II tebang pilih, masih terlalu dini dilontarkan saat ini, karena KPK masih bekerja serius dan menyelesaikan kasus tersebut secara tuntas siang dan malam. Pemimpin KPK telah menegaskan akan ada lagi tersangka baru selain Burhanuddin Abdullah. Tentu kita harus bersabar menanti bukti pernyataan tersebut sampai Maret mendatang.

UU KPK telah melarang KPK menghentikan penyidikan di tengah jalan, sebagaimana dibolehkan kepada penyidik kepolisian dan kejaksaan sehingga tanpa minimal dua alat bukti permulaan yang cukup tidak mungkin KPK berani mengambil keputusan menetapkan seseorang menjadi tersangka. Jika keadaan buruk itu yang terjadi, jelas pemimpin KPK telah menjerumuskan lembaga ini ke dalam selokan kotor. Kita harus memberikan kepercayaan penuh kepada kelima pemimpin KPK jilid II, kecuali jika tanda-tanda kontaminasi kepentingan perorangan, kelompok, dan politik mulai tampak ke permukaan. Jika hal itu yang terjadi, KPK selayaknya dibubarkan saja daripada dibiarkan hidup tanpa makna dan sia-sia belaka.

Kasus aliran dana BI murni kasus (hukum) pidana, karena bersinggungan dengan masalah perbuatan melawan hukum dan perbuatan melakukan pungutan liar melalui pihak ketiga (intermediary), yaitu Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia ( YPPI) kepada pihak bank yang justru berada dalam pengawasan BI selaku bank sentral berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2004. Posisi dua anggota Dewan Gubernur BI, AP dan MS, selaku anggota dewan pengawas di YPPI, membuktikan keterkaitan antara YPPI dan BI dalam posisi dua bentuk badan hukum yang berbeda, baik dari sisi fungsi maupun tujuannya--mengacu pada dua UU yang berbeda pula.

Analisis hukum pidana terhadap Peraturan Dewan Gubernur BI yang merupakan sumber permasalahan kasus aliran dana BI justru membuktikan muatan ketentuan yang bersifat melawan hukum, yang berpotensi (telah) melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga menimbulkan citra kinerja BI selaku entitas yang bertentangan dengan prinsip integritas, akuntabilitas, serta transparansi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2004.

Analisis hukum terhadap status hukum Dewan Gubernur BI dan Rapat Dewan Gubernur BI sebagaimana diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 2004 membuktikan lebih jauh sistem pertanggungjawaban kolektif, sehingga sulit menyatakan bahwa hanya seorang Burhanuddin Abdullah yang harus bertanggung jawab. Analisis hukum lebih jauh adalah mengenai aliran dana kepada anggota DPR RI dan penegak hukum, sebagaimana dilaporkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI kepada KPK tertanggal 14 November 2006 dan juga kepada para penasihat hukum, yang pembuktiannya sulit.

Dalam keadaan tekanan apa pun yang muncul dari kasus aliran dana BI, masyarakat harus mendukung sepenuhnya langkah proyustisia kelima pemimpin KPK untuk mengusut tuntas dan membawa mereka yang bertanggung jawab ke depan pengadilan tindak pidana korupsi.

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 15 Februari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan