Dana Aceh Diduga Digelembungkan
DPR hari ini memanggil menteri-menteri yang menangani pembangunan Aceh.
Komisi Darurat Kemanusiaan untuk Aceh menemukan indikasi penggelembungan dana kemanusiaan selama masa tanggap darurat di Aceh pascatsunami. Indikasi penggelembungan terjadi di bagian pengadaan logistik, jatah hidup, dan pengadaan barak pengungsi pascatsunami.
Kami melihat pengelolaan bencana enam bulan pertama menunjukkan pemerintah belum mampu melakukan pengelolaan bencana yang baik, kata anggota komisi, Teten Masduki, di Jakarta kemarin.
Dalam pembangunan barak misalnya, komisi ini menjelaskan sudah dibangun 1.658 barak dan diperkirakan menampung 109.440 jiwa atau 18 persen dari jumlah semua pengungsi. Padahal target awal pemerintah, pembangunan barak ini untuk 30 persen dari jumlah semua pengungsi. Akibatnya, kata Firdaus Ilyas, manajer data Komisi Darurat Kemanusiaan untuk Aceh, masih banyak penduduk yang tinggal di tenda-tenda penampungan dalam kondisi tidak layak.
Belum lagi biaya pembangunan barak yang dinilai merugikan uang negara. Soalnya, kata Firdaus, biaya pembangunan barak berkisar Rp 90 juta per unit. Namun, realitasnya berbiaya Rp 250-350 juta per unit. Potensi kerugian negara mencapai Rp 170 miliar karena selisih harganya, ujar Firdaus.
Menurut Firdaus, indikasi pembengkakan juga terjadi pada jumlah pengungsi. Ini terlihat menjelang pemberian dana jatah hidup senilai Rp 375 miliar. Survei Asian Development Bank dan Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menyebutkan, jumlah pengungsi sekitar 441 ribu orang. Namun, dalam tempo dua bulan terakhir jumlah pengungsi membengkak jadi 594.991 orang.
Temuan lain, kata Firdaus, masih banyak pengungsi yang belum menerima uang jatah hidup. Namun, kata Teten, ada pengungsi yang menerima jatah hidup hanya Rp 56 ribu dari yang seharusnya Rp 93 ribu. Telah terjadi penyunatan sekitar Rp 40 ribu, ujarnya.
A.S. Hikam, anggota tim pengawas DPR untuk pembangunan kembali Aceh, mengatakan, pemerintah memang belum bisa menunjukkan keberadaan dana tanggap darurat. Sampai saat ini uang Rp 1,2 triliun untuk pembangunan Aceh tidak jelas di mana, ujarnya saat dihubungi kemarin.
Setiap kali DPR menanyakan keberadaan uang itu, kata Hikam, jawaban pemerintah berbeda-beda. Kalau menterinya ditanya, jawabannya pasti beda-beda. Menteri Kesehatan bilang ini, Menteri PU bilang itu, tutur Hikam. Untuk itu, DPR hari ini memanggil menteri-menteri yang menangani pembangunan Aceh untuk meminta kejelasan pengelolaan uang itu. AGUS SUPRIYANTO | AMI AFRIATNI | YUDHA SETIAWAN
Sumber: Koran Tempo, 1 Juli 2005