Dana Aspirasi: Anomali Politik
Dana aspirasi, istilah baru yang tiba-tiba saja populer; meski mendatangkan banyak pertanyaan dari kalangan publik. Apalagi secara substantif di sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Filipina, ”dana aspirasi” itu dikenal dengan istilah pork barrel (gentong babi).
Terlepas dari setuju atau tidak dengan substansinya, dalam konteks Indonesia, istilah itu agaknya bisa diganti dengan cow-barrel (gentong sapi), atau bahkan chicken barrel (gentong ayam), yang mungkin bagi banyak kalangan masyarakat Indonesia lebih nyaman didengar.
Di luar soal istilah itu, jelas sebagian besar anggota DPR menolak usulan Partai Golkar tersebut. Juga muncul penolakan dari Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Kita tidak tahu apakah penolakan itu genuine atau tidak karena pada dasarnya jika usulan itu diterima DPR dan pemerintah—apakah secara terpaksa atau tidak—jelas sangat menguntungkan bagi setiap dan semua anggota DPR. Karena dana aspirasi itu membuka peluang lebih besar memperkuat posisi mereka vis-a-vis konstituen masing-masing yang bakal menimbulkan berbagai implikasi dan dampak positif ataupun negatif.
Jelas ada segi-segi positif tertentu terkandung dalam usulan dana aspirasi itu—tentu saja jika akhirnya disetujui dan direalisasikan. Khususnya bagi masyarakat konstituen, bisa diduga mereka senang-senang saja menerima berbagai bentuk program yang pendanaannya berasal dari ”dana aspirasi” sejumlah 15 miliar rupiah yang cukup besar bagi setiap anggota DPR.
Anomali baru
Terlepas dari berbagai manfaat yang bakal diperoleh masyarakat konstituen, usulan dana aspirasi yang bisa saja terealisasi dalam bentuk-bentuk lain jelas ia telah menciptakan anomali tambahan dalam kehidupan politik dan kenegaraan kita, yang bukan tidak bisa berlanjut di hari-hari depan. Anomali baru itu terjadi bukan hanya dalam segi hukum, khususnya yang mengatur dana dan anggaran negara, melainkan juga dalam kaitannya dengan fungsi dan kewenangan DPR itu sendiri.
Anomali itu bisa terlihat, dalam kenyataan bahwa usulan itu pertama kali muncul dari Fraksi Partai Golkar, yang agaknya merupakan hasil dari kesepakatan di dalam partai ini. Akan tetapi, jelas pula, usulan itu tidak melalui pembicaraan di antara partai-partai yang terlibat dalam koalisi yang belakangan ini dikenal sebagai Sekretariat Bersama Koalisi dengan Ketua Hariannya Aburizal Bakrie yang notabene Ketua Umum Partai Golkar. Di sini, muncul pertanyaan tentang fungsi Sekretariat Bersama tersebut; apakah dan kenapa masalah sepenting ini tidak dibahas lebih dahulu di dalam koalisi?
Karena kelihatannya tidak dibicarakan lebih dahulu dalam koalisi, tidak mengherankan kalau ketika usulan ini dibuka ke depan publik, partai-partai pendukung koalisi hampir sepenuhnya menentang sehingga ia tidak dibicarakan dalam sidang DPR. Selain itu, kalangan pemerintahan sendiri, masyarakat LSM, pengamat, dan aktivis juga menentang usulan tersebut. Hasilnya, pihak Partai Golkar merasa ditinggal sendirian dan bahkan terpojok sehingga salah seorang Ketua DPP Golkar M Yamin Tawari mengancam, Partai Golkar bakal keluar dari koalisi karena tidak ada dukungan para mitra koalisi terhadap usulan tersebut.
Ancam mengancam dalam dunia politik dalam batas tertentu merupakan hal umum dan biasa saja di Indonesia atau negara mana pun. Namun, ancam mengancam di antara pihak-pihak pendukung koalisi secara terbuka di depan publik merupakan gejala ganjil yang dapat dikatakan merupakan anomali politik.
Terlepas dari itu, ancaman atau boleh jadi lebih merupakan ”gertak sambal” ternyata cukup efektif. Fenomena ini dapat menjadi preseden dalam dinamika politik koalisi dan bahkan politik Indonesia secara keseluruhan. Apalagi tidak lama setelah adanya ancaman Partai Golkar yang kemudian dibuat lebih lunak oleh kalangan Partai Golkar sendiri sebagai ”pendapat pribadi” bukan sebagai pendapat resmi partai, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, dana aspirasi bisa direalisasikan. ”Sangat bisa karena anggota DPR, mereka juga dipilih pada tingkat dapil itu mengajukan usulan khusus. Nah, usulan itu masukkan dalam sistem, dalam tatanan, ada musrenbang, ada musyawarah tingkat daerah, ada ini, ada itu. Kita jalankan sesuai undang-undang,” kata Presiden Yudhoyono (10/6/10).
Dengan pernyataan Presiden ini, Partai Golkar kini memenangi pertarungan, tidak hanya dengan mitra-mitra koalisinya, bahkan sekaligus juga dengan para penentang yang masih tersisa, khususnya PDI-P. Hampir bisa dipastikan kekuatan politik terbesar di DPR, khususnya Partai Demokrat, harus melaksanakan persetujuan Ketua Dewan Pembinanya, yang sekaligus juga merupakan Presiden RI.
Dominasi partai besar
Jika dana aspirasi (atau apa pun namanya kemudian) dapat disepakati DPR dan pemerintah, jelas masyarakat konstituen bakal mendapat manfaat tertentu. Meski, masyarakat penerima terbesar adalah di pulau Jawa yang memiliki dapil terbanyak; sementara pulau dan daerah lain yang memiliki dapil lebih sedikit— tetapi dengan wilayah lebih luas—mendapatkan bagian jauh lebih kecil.
Akan tetapi, tidak ragu lagi penerima manfaat terbesar adalah parpol-parpol besar, yang memiliki jumlah anggota terbanyak di DPR. Karena dengan dana aspirasi itu, para anggota DPR dapat menyatakan kepada konstituen masing-masing, mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan masyarakat dapil dan memenuhi janji-janji mereka pada waktu kampanye pemilu legislatif 2009.
Tidak hanya itu, dana aspirasi membuat lebih mungkin bagi mereka untuk kembali terpilih dalam pemilu legislatif berikutnya. Karena toh sudah ada ”bukti” bahwa mereka telah berhasil memperjuangkan kepentingan dapil masing-masing. Dengan demikian, realisasi dana aspirasi nanti dapat menjadi ”jualan” yang efektif bagi para anggota DPR agar konstituen kembali memilih mereka. Jika dana aspirasi itu terealisasi mulai 2011, berarti selama empat tahun ke depan menjelang pemilu legislatif 2014, para anggota DPR dapat mengikat konstituen masing-masing secara lebih kuat.
Dalam konteks ini, penerima manfaat maksimal dana aspirasi nanti adalah parpol-parpol besar, sementara parpol-parpol kecil hanya mendapat manfaat terbatas. Apalagi parpol-parpol yang tidak memiliki wakil di DPR, yang bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan finansial untuk mengimbangi dana aspirasi yang dihasilkan para anggota DPR untuk konstituen masing-masing.
Dalam kondisi seperti itu, semakin kecil pula peluang bagi wajah-wajah baru untuk mampu bersaing dan memenangkan diri dalam pemilu legislatif nanti. Dengan demikian, sirkulasi elite politik di lingkungan DPR menjadi lebih terbatas. Akhirnya, kita harus terus hidup bersama para anggota DPR wajah-wajah lama dengan segala kekuatan dan kelemahannya.
Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Advisory Board, International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm
Tulisan ini disalin dari Kompas, 17 Juni 2010