Dana BI Buat Beli Rumah

Amburadulnya manajemen keuangan BI serta bobroknya mental mantan pejabatnya terungkap kemarin (21/7). Semua mantan petinggi bank sentral yang bersaksi di Pengadilan Tipikor kemarin mengaku, puluhan miliar dana bantuan hukum yang mereka terima tidak semua digunakan untuk kepentingan hukum. Salah satunya bahkan menggunakan uang negara itu untuk membeli rumah dan dijadikan deposito atas nama anaknya.

Pengakuan tersebut diungkapkan tiga mantan pejabat BI, yakni mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, mantan Deputi Gubernur BI Iwan R. Prawiranata, serta Hendro Budiyanto. Mereka bersaksi untuk Oey Hoey Tiong dan Rusli Simanjuntak dalam kasus korupsi dana BI di Pengadilan Tipikor kemarin.

Soedrajad yang mendapat giliran pertama mengungkapkan, bantuan hukum yang dia terima diubah menjadi pinjaman ketika Ketua YPPI Baridjusalam Hadi pada 30 November 2006 memberitahukan bahwa dana bantuan hukum yang diterima pada 2003 merupakan dana YPPI. ''Saya diminta menandatangani akta pengakuan utang dengan bunga nol persen,'' ujar pria paro baya tersebut.

Pengubahan bantuan hukum menjadi pinjaman dilakukan gara-gara audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan keuangan bank sentral tersebut disclaimer (tanpa pendapat). Sebab, lembaga audit negara itu menemukan ada dana YPPI Rp 100 miliar yang tak bisa dipertangungjawabkan penggunaannya.

Soedrajad mengaku, awalnya berat untuk menyetujui perubahan status dari dana bantuan menjadi pinjaman. ''Awalnya saya merasa berat. Tapi, karena itu keputusannya, saya akhirnya menyepakati. Saya berjanji mengembalikan uang tersebut hingga batas waktu 2011,'' ungkapnya.

Dia menuturkan, peralihan status dana tersebut ditandatangani di ruang rapat mantan Deputi Gubernur BI Bun Bunan Hutapea di Gedung BI. Oey Hoey Tiong dan Baridjusalam didaulat menjadi saksi. ''Ya, demikian,'' ujarnya ketika jaksa penuntut umum (JPU) menanyakan apakah latar belakang penandatanganan itu akibat keluarnya audit BPK.

Soedrajad menyebutkan, dirinya menerima uang bantuan hukum Rp 25 miliar yang diberikan dalam dua tahap. Yakni, pada 15 April 2003 sebesar Rp 5 miliar dan tahap kedua Rp 20 miliar pada 1 Juli 2003. ''Karena melihat teman-teman lain lebih dulu mengajukan, saya juga mengajukan permohonan,'' kata pria berambut putih itu menjelaskan alasan pengajuan.

Dari utang sebesar itu, dia mengaku baru membayar Rp 5,3 miliar dalam dua tahap, yakni Rp 5 miliar dan Rp 300 juta. Masih ada Rp 19,7 miliar yang harus dikembalikan.

Dia mengaku, uang tersebut digunakan untuk menjelaskan soal BLBI, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Bagaimana pertanggungjawaban yang diminta BI? ''Saya menggunakan sesuai peruntukannya, untuk kepentingan BI dan kepentingan saya sendiri,'' ujarnya.

Senada, Iwan R. Prawiranata mengungkapkan, BI sebelumnya tidak pernah menyampaikan bahwa bantuan hukum Rp 13,5 miliar yang dia terima dari Oey Hoey Tiong itu merupakan pinjaman yang harus dikembalikan. Namun, 23 November 2006, Ketua YPPI Baridjusalam Hadi meminta dirinya menandatangani akta pengakuan utang dengan bunga nol persen.

Tak semua bantuan hukum bermuara pada kepentingan hukum. Pria paro baya itu mengaku, bagian dana bantuan hukum tersebut kemudian dibelikan sebuah apartemen dan sebuah rumah serta ditabung dalam bentuk deposito atas nama Siti Nurhayati, anaknya. ''Itu cara saya mengamankan uang agar nilainya tidak turun,'' ungkap Iwan.

KPK telah menyita apartemen dan rumah Iwan yang dibeli dengan dana bantuan hukum tersebut. Sementara itu, uang yang didepositokan dan mengendap selama empat tahun di bank telah mendapat bunga Rp 1,3 miliar.

Hendro Budiyanto yang juga bersaksi kemarin mengungkap hal yang sama. Pria paro baya itu sempat terserempet kabel mikrofon. Untung, pria berjas hitam tersebut tak terjerembap ke lantai.

Hendro mengaku menerima uang Rp 10 miliar dari BI yang diterima tiga kali. Pertama, dia menerima Rp 5 miliar dari YPPI. Uang tersebut digunakan biaya deseminasi dan sosialisasi untuk meningkatkan citra BI, baik secara politis maupun ekonomis.

Pinjaman kedua dia terima dari Direktorat Hukum BI Rp 5 miliar. Menurut dia, uang tersebut digunakan membayar utang Rp 5 miliar kepada YPPI. ''Uang tersebut langsung dipindahbukukan dari Direktorat Hukum BI ke rekening YPPI,'' jelasnya.

Hendro menuturkan, pinjaman ketiga Rp 10 miliar awalnya merupakan permohonan bantuan yang diajukan ke BI. Namun, belakangan dia mengetahui bahwa uang tersebut ternyata merupakan uang yang diambilkan dari YPPI dan diminta menandatangani pembuatan surat utang.

Menurut Hendro, pinjaman ketiga tersebut juga digunakan untuk membayar utang-utang untuk biaya deseminasi serta sosialisasi BI. Dia menyatakan, dari total pinjaman Rp 10 miliar tersebut, dirinya baru mengembalikan Rp 50 juta.

Sebelumnya, dalam kesaksian untuk terdakwa Burhanuddin Abdullah, Bun Bunan Hutapea mengaku tak tahu untuk apa dana Rp 100 miliar itu. Belakangan, dia baru tahu saat audit BPK 2006 yang menyatakan ada kekurangan dana Rp 100 miliar.

Panik, BI lantas mengubah dana bantuan hukum yang semula cuma-cuma itu menjadi bentuk pinjaman. (ein/kim)

Sumber: Jawa  Pos, 22 Juli 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan