Dana Kampanye dan Pencucian Uang
Pemilihan Umum merupakan salah satu bentuk konkrit dari kehidupan berdemokrasi atau disebut pesta demokrasi. Sebagai pesta demokrasi, pemilu tentu membutuhkan biaya yang besar.
Sebagai peserta pemilu, partai politik memerlukan dana untuk berbagai aktivitas kampanye. Dana pemilu itu bisa diperoleh dari sumbangan pendukung baik perseorangan maupun perusahaan. Sumbangan tersebut memang diperbolehkan, namun tetap harus ada rambu-rambu pengamannya. Misalnya, dana yang masuk ke partai harus bisa dipantau. Hal ini diperlukan untuk menjaga agar salah satu pilar demokrasi itu tidak runtuh hanya karena menjadi kendaraan bagi para penyumbang dana yang bisa jadi hasil sebuah kejahatan.
Rambu-rambu
Untuk mengamankan agar dana yang masuk ke partai politik benar-benar sah, sumber dana tersebut harus jelas, baik berkaitan dengan identitas penyumbangnya maupun cara mendapatkannya. Karena jangan sampai dana yang masuk berasal dari kejahatan terutama korupsi. Karena itu, partai tidak boleh menutup mata atas asal- usul sumbangan yang masuk ke partai. Partai dituntut untuk transparan kepada publik tentang dana yang diterima.
Sayangnya, peraturan tentang transparansi keuangan partai yang sudah didengungkan sejak beberapa tahun lalu, ternyata tidak mendapatkan respon positif dari kebanyakan partai peserta Pemilu. Selalu saja terjadi tarik ulur dari partai, misalnya penolakan atas identitas donatur, jumlah maupun asal usul atau sumber dana yang disumbangkan, bahkan belakangan ada penolakan berkaitan dengan munculnya wacana bahwa penyumbang harus mempunyai NPWP. Padahal, sumber dana partai sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, khususnya Pasal 34 ayat (1) huruf b, yang menyebutkan bahwa keuangan partai politik harus bersumber pada sumbangan yang sah menurut hukum. Ini berarti sumber dana tersebut adalah bukan berasal dari aktivitas ilegal. Sedangkan jumlahnya telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) yaitu dari perseorangan tidak lebih dari Rp1 milyar dan dari perusahaan atau korporasi tidak lebih Rp4 miliar per tahun anggaran.
Semestinya ketentuan ini harus dipatuhi karena juga telah sesuai dengan rambu-rambu universal tentang pendanaan atau keuangan partai politik. Rambu-rambu itu minimal memuat tiga hal yang harus dipatuhi. Pertama, transparansi tentang asal atau sumber dana dan jumlah. Kedua, tentang transparansi penggunaan dana yang telah diterima partai. Ketiga, pelaporan serta membuka hasil audit pada masyarakat.
Meskipun pengaturan tentang pendanaan partai politik sangat tergantung pada situasi nasional masing-masing negara, namun harus diingat bahwa tetap ada rambu-rambu universal yang tidak bisa ditawar yaitu pendanaan itu tidak boleh menimbulkan conflict of interest, kejelasan atas dana dan harus diketahui oleh publik (ensure transparency of donations and avoid secret donations). Sedangkan bagi perusahaan (legal entities), ditambahkan persyaratan bahwa pemberian dana tersebut tercatat dalam pembukuan (to keep proper books and accounts) dan rekening perusahaan, dan diketahui oleh para pemegang saham atau orang tertentu dalam keanggotaan perusahaan. Selain itu tentu saja penggunaan atas dana partai hanya dibenarkan untuk keperluan partai bukan untuk keperluan di luar kepentingan partai, dan dilakukan audit yang hasilnya dapat diakses oleh masyarakat.
Politik Balas Budi
Dalam pemilu legislatif, keterbukaan tentang dana partai politik ini sangat penting. Hal itu mencakup identitas penyumbang, asal sumber dana serta jumlahnya. Berkaitan dengan jumlah sumbangan kepada partai politik, baik dari perorangan maupun perusahaan seharusnya dibatasi. Hal itu dilakukan untuk menghindari kesan telah terjadi jual beli pengaruh, dan politik balas budi yang akan berakibat buruk terutama bila partai politik pascapemilu. Bila hal ini terjadi maka pada akhirnya tugas dan fungsi anggota partai politik sebagai wakil rakyat akan terganggu dan kepentingan masyarakat akan tergadai kepada pihak-pihak yang memiliki banyak uang. Praktiknya bisa terjadi dalam bentuk mengulur-ngulur pembahasan RUU yang isinya membahayakan penyandang dana mereka. Selain itu, DPR menyusun Prolegnas yang tidak berdasar skala prioritas yakni demi kepentingan masyarakat. Lebih parah lagi mereka sengaja secara sistematis menghalangi pembuatan RUU yang diperlukan, dan mendesak.
Dengan kata lain, jika proses penghimpunan dana tidak transparan maka DPR yang terbentuk pun akan selalu dicurigai telah tercemar dana hasil kegiatan illegal. Bila ini yang terjadi maka keuangan partai dan kegiatannya dapat menjadi sarana pencucian uang.
Wakil rakyat yang terpilih idealnya adalah orang-orang yang mempunyai integritas tinggi dan mengerti akan tugas dan fungsinya. Selain memperjuangkan kepentingan rakyat, DPR bertugas mengawasi dan memelihara tata kelola pemerintahan yang baik. Dan tentu saja DPR turut membangun kebijakan politik dalam pemberantasan korupsi.
Pelaksanaan tugas ini tentu akan terganggu bila anggoga DPR "disandera" oleh para penyandang dana tersebut. Apabila hal ini terjadi, maka dapat dipastikan segala RUU yang berkaitan dengan arah pencegahan dan pemberantasan korupsi akan melemah. Dalam kaitan ini maka dapat dikatakan anggota DPR telah melakukan korupsi, yakni telah melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk kepentingan diri dan para peyandang dana.
Dosen Hukum Universitas Trisakti
Tulisan ini disalin dari Jurnal Nasional, 27 Februari 2009