Dana Kampanye di Sarang Penyamun
Cara-cara ilegal untuk memobilisasi dana kampanye menjadi fakta yang tidak dapat dihindari. Melalui korupsi, pemerasan terhadap kalangan pengusaha, meminta kepada BUMN/BUMD, hingga menggunakan dana dari perjudian, narkotika, sampai pembalakan liar, peserta pemilu menggali sumber keuangan politik.
Tetapi, menjerat mereka yang melanggar itu sulit karena minimnya perangkat hukum yang tersedia. Jika pun ada, inisiatif untuk menggunakannya amat sedikit. Akibatnya miris karena pemenang pemilu tidak steril dari penggunaan dana-dana haram.
Persoalannya, menyulap perolehan sumbangan haram menjadi laporan resmi adalah hal yang mudah. Apalagi audit terhadap dana kampanye menggunakan pendekatan prosedur yang disepakati, bukan investigatif audit. Prosedur yang disepakati telah membuat Kantor Akuntan Publik (KAP) pada akhirnya terbentur pada keterbatasan akses dan dokumen.
Hal itu mengingat dalam pendekatan prosedur yang disepakati, KAP hanya dapat melakukan audit terhadap informasi dan data yang disediakan para peserta pemilu. KAP tidak dapat melampaui dari batasan itu.
Di sisi lain, penting bagi KPU untuk menyelamatkan pemilu sehingga tidak cacat hukum. Dengan begitu, audit dana kampanye kerap dilakukan sebatas memenuhi kewajiban formal UU saja.
Modus Kecurangan
***Saat ini kampanye pemilu telah dimulai. Dapat dipastikan, peserta pemilu mulai mengumpulkan dan membelanjakan sumber pendanaan kampanyenya. Pertanyaannya, apakah aktivitas memobilisasi dana kampanye sekaligus kegiatan membelanjakannya dapat dibuat lebih transparan dan akuntabel sehingga sistem yang tersedia dapat mendeteksi adanya pelanggaran terhadap aturan dana kampanye?
Mungkin, kita dapat merujuk kepada beberapa temuan yang diperoleh Indonesia Corruption Watch pada pelaksanaan pemantauan dana kampanye Pemilu 2004. Dari penelurusan ICW pada pelaporan dana kampanye Pemilu 2004, ditemukan beberapa modus operandi pelanggaran dana kampanye, yang pada intinya membuat laporan dana kampanye seolah-olah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Modus pertama dengan memecah-mecah dana dari satu penyumbang, baik individu maupun badan hukum/swasta, ke berbagai ''joki'' penyumbang untuk menghindari batasan maksimal sumbangan.
Untuk aturan dana kampanye Pemilu 2009, pembatasan jumlah maksimal sumbangan bagi perorangan dan badan hukum/swasta mengalami peningkatan dibandingkan pada Pemilu 2004. Sesuai dengan pasal 134 UU No 10/2008 tentang Pemilu, batas maksimal sumbangan individu adalah Rp 1 miliar, sedangkan bagi badan hukum/swasta mencapai Rp 5 miliar.
Dengan kondisi bahwa partai politik dan kandidat peserta pemilu masih dikuasai segelintir pihak yang memiliki akses pendanaan luas, modus di atas masih mungkin terjadi.
Modus lainnya adalah memecah dana dari satu penyumbang ke berbagai nama penyumbang fiktif untuk menghindari kewajiban pencatatan identitas penyumbang. UU Pemilu 2004 mewajibkan adanya pencatatan terhadap identitas penyumbang yang nilai sumbangannya di atas Rp 5 juta. Dengan mendistribusikan jumlah tertentu sumbangan ke berbagai penyumbang fiktif, maka kewajiban pencatatan identitas penyumbang dapat dihindari.
Untuk Pemilu 2009, meskipun aturan baru telah mewajibkan adanya pencatatan identitas penyumbang tanpa terkecuali, sangat mungkin daftar laporan penyumbang dengan identitas fiktif masih akan banyak ditemukan.
Hal itu mengingat sejak awal para penyumbang dana kampanye tidak ingin diketahui identitasnya. Tujuannya jelas, yakni untuk menghindari kemungkinan diketahuinya sumber bantuan dana kampanye yang sejatinya berasal dari sumber yang dilarang UU.
Modus berikutnya menggunakan rekening liar sebagai penampungan dana kampanye. Meskipun ada kewajiban bagi peserta pemilu untuk memiliki rekening khusus dana kampanye, pada praktiknya mereka dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan kepada KPU. Teknik ini sulit dideteksi karena pengelola rekening liar adalah tim bayangan yang juga tidak terdaftar secara resmi sebagai tim kampanye di KPU.
Tantangan ke depan yang harus dijawab adalah pemberian sanksi terhadap berbagai pelanggaran terkait dengan aturan dana kampanye bisa ditegakkan. Dengan begitu peserta pemilu yang kedapatan melakukan kecurangan dapat didiskualifikasi sebagai peserta pemilu dan pemenang, terlebih dipidana.
Tiga Pendekatan
Jika dibagi berdasar jenisnya, ada tiga kategori pelanggaran dana kampanye. Pertama, pelanggaran administratif dan pidana pemilu itu sendiri, yakni pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu, khususnya yang terkait langsung dengan dana kampanye.
Terhadap peserta pemilu yang melanggar aturan main dana kampanye, pidana pemilu dapat memberikan sanksi cukup berat berupa diskualifikasi sebagai peserta pemilu atau sebagai pemenang.
Pendekatan itu bisa sangat efektif jika Bawaslu dan KPU memiliki kemauan kuat untuk menertibkan dana kampanye liar. Masalah ke depan yang mungkin muncul ialah pada masa kedaluwarsa temuan laporan pelanggaran aturan dana kampanye yang sangat singkat sehingga memperkecil peluang untuk dapat ditindaklanjuti oleh Bawaslu.
Jenis pelanggaran kedua ialah pelanggaran yang ketentuannya di luar UU Pemilu. Yakni pidana pencucian uang. Banyak pihak yang menengarai pemilu merupakan ajang yang tak luput dari pencucian uang. Apalagi peserta pemilu dapat membuka rekening liar yang tidak dilaporkan ke KPU. Kerja sama yang baik KPU dengan PPATK sangat memungkinkan pidana pencucian uang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilu.
Terakhir adalah pidana korupsi. Kasus mengalirnya dana DKP ke berbagai tim sukses pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2004 mewakili bentuk pidana ini. Sayang, KPK tidak melanjutkan proses hukum terhadap temuan itu sehingga tidak menjadi preseden bagi pemilu selanjutnya.
Ketika ada aliran dana dari sumber-sumber yang dilarang, apalagi dari APBN/APBD atau BUMN/BUMD, maka sebenarnya KPK atau kejaksaan dapat mulai mengusut indikasi tindak pidana korupsinya. Bukan justru mengalihkan isu pidana korupsi kepada masa kedaluwarsa pelanggaran pidana pemilu sehingga seolah-olah terjadi kekosongan hukum.
Adnan Topan Husodo , koordinator Divisi Korupsi Politik pada Indonesia Corruption Watch (ICW) di Jakarta
Sumber: Jawa Pos, 30 Juli 2008