Dana Kompensasi Ibarat Politik Uang
Pemeritahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memastikan untuk menaikkan harga BBM mulai 1 Oktober 2005 dalam upaya mengurangi defisit anggaran. Sebab, tahun ini subsidi untuk BBM mencapai Rp 130 triliun.
Kenaikan harga BBM diperkirakan 50 persen-80 persen. Karena itu, untuk mengantisipasi dampak kenaikan harga-harga komoditi lainnya, pemerintah akan memberikan dana kompensasi bagi keluarga miskin. Yakni, keluarga yang pendapatannya kurang dari Rp 170 ribu per bulan mendapatkan kompensasi Rp 100 ribu/bulan/keluarga yang diberikan bersamaan pada saat kenaikan harga BBM direalisasikan, Oktober 2005.
Akibatnya, pemerintah menuai kritik, protes, dan pembangkangan dari berbagai pihak, baik mereka yang dapat mengartikulasikan aspirasinya di media publik maupun kelompok marginal yang memprotes dengan bahasa awam. Para pemrotes itu meliputi elite politik, DPR, mahasiswa, aktivis, buruh.
Bahkan, ibu-ibu rumah tangga tidak ketinggalan berkumpul di depan Bundaran HI (25/9) dengan membuat kegaduhan memukul-mukul peralatan dapur. Juga pembangkangan ibu-ibu rumah tangga di Kota Samarinda (19/9) untuk tidak mengikuti pilkada wali kota dan lebih memilih mengantre BBM. Akibatnya, TPS-TPS yang disediakan pemda hanya dikunjungi pemilih kurang dari 50 persen.
Kritik, protes, dan pembangkangan tersebut merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintahan SBY yang semakin hari justru semakin menyengsarakan rakyat. Sialnya lagi, Wapres Jusuf Kalla menyatakan, dana kompensasi Rp 100 ribu/bulan/keluarga akan membuat rakyat senang karena rakyat masih untung Rp 50 ribu. Itu merupakan sebuah praktik representasi aspirasi rakyat, tapi justru berdampak melukai hati rakyat.
Persoalannya, apakah dengan dana kompensasi sebesar itu rakyat miskin dijamin dapat mengakses pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang layak? Dapatkah dana kompensasi itu mewujudkan kesejahteraan sosial, seperti yang dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 45?
Compang-camping
Kalau kita memahami kembali Pancasila dan UUD 45, sebetulnya rakyat Indonesia mencita-citakan terbentuknya negara kesejahteraan. Yakni, negara menjadi agensi redistribusi sumber daya agar tercipta kemerataan dan keadilan. Namun, sejak republik ini berdiri, ada kecenderungan cita-cita tersebut diingkari.
Bahkan, setelah kita mengalami enam kali pergantian rezim pemerintahan, justru semakin terwujud diskrepansi antara harapan dan kenyataan. Kesalahan fatal dalam mewujudkan cita-cita itu adalah kebijakan redistribusi sumber daya yang dilakukan pemerintah secara proyek dan departemental.
Contohnya, program pengentasan kemiskinan tidak dilakukan terpadu, tapi menjadi proyek-proyek departemen dan agensi-agensi yang berkepentingan. Mengatasi kemiskinan penduduk pada masa Orba merupakan proyek-proyek departemen-departemen (pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, pertanian, dll) yang cenderung memiliki agenda sendiri-sendiri.
Contoh yang lucu, proyek jaring pengaman sosial (JPS) untuk mengatasi kemiskinan akibat krisis ekonomi di penghujung kekuasaan Orba ada di setiap departeman (termasuk Departemen Agama, Kejaksaan, yang tidak ada relevansinya).
Pada masa itu, para kritikus pembangunan sudah melakukan beberapa evaluasi dan kritik, namun kafilah pembangunan Orba tetap berlalu tanpa menggubris kritik tersebut. Mungkin saja itu terjadi karena proyek-proyek tersebut telah menjadi kepentingan additional income bagi masing-masing departemen, agensi, kelompok strategis, dan person yang terlibat sebagai fasilitator.
Pemerintahan SBY ketika mengatasi krisis anggaran karena pemerintah terlalu banyak menyubsidi BBM juga tidak mau belajar dari kesalahan-kesalahan rezim masa sebelumnya. Kompensasi untuk si miskin sebagai akibat kenaikan BBM tidak dilakukan melalui program terpadu, tetapi justru bersifat karitatif. Bahkan, hampir tidak ada bedanya dengan politik uang.
Seolah-olah, kebijakan itu bersifat imperatif agar si miskin tidak berontak karena dampak kenaikan harga BBM. Sialnya, kalau dihitung secara rasional, jumlah kompensasi tersebut tidak dapat memperbaiki kualitas kesejahteraan mereka.
Justru sebaliknya, si miskinlah yang akan menjadi korban kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Mestinya, dana kompensasi itu diintegrasikan dengan subsidi silang lainnya, bukan hanya menjadi proyek Bappenas, BPS, Departemen Dalam Negeri, dan PT Pos Indonesia, dengan ukuran kesuksesan si miskin bisa lebih mengakses pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang lebih layak.
Silang yang Terpadu
Sudah saatnya pemerintah tidak melakukan kebijakan subsidi secara parsial, departemental, dan proyek kalau cita-cita negara kesejahteraan yang ingin dicapai. Pemerintah segera menarik pajak progresif bagi warganya agar dapat digunakan sebagai subsidi silang rakyat. Hal itu dimaksudkan supaya mereka bisa semakin mengakses pendidikan (mulai TK hingga PT), pelayanan kesehatan (dengan mengurangi diskriminasi layanan untuk si miskin dan si kaya, obat generik vs bermerek, dll), serta perumahan yang memadai.
Selain itu, pemberantasan korupsi harus dilakukan hingga ke akar-akarnya agar dana-dana yang dikorup dapat disalurkan untuk menambah alokasi subsidi silang dengan hasil akhir tercipta keadilan masyarakat. Meski di era globalisasi negara-negara kesejahteraan juga dipaksa oleh kekuatan neoliberal untuk memprivatisasi beberapa sektornya, karena pemerintahan yang kuat, hukum yang kokoh, dan masyarakat sipilnya berdaya, subsidi silang terus berlangsung untuk menjamin kemerataan kesejahteraan. Tidak seperti pemerintah kita yang justru terseok-seok karena didikte IMF dan Bank dunia agar menghilangkan subsidi BBM.
Akibatnya, pemerintah lebih memilih mengorbankan rakyat daripada secara kreatif mencari dana tambahan anggaran atau memberantas korupsi secara sungguh-sungguh. Mudah-mudahan, kita tidak sedang menjauh dari cita-cita bangsa ini!
* Heru Nugroho PhD, dosen Fisipol UGM Jogjakarta, kini sedang penelitian di Universitaet Georg August, Goettingen, Jerman
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 29 September 2005