Dana Politik; Dari Ongkos ke Kompensasi
Uang dan kekuasaan adalah dua sisi yang sulit dipisahkan. Untuk menuju kursi kekuasaan, kekuatan uang sangat menentukan. Juga sebaliknya, ketika kekuasaan sudah dalam genggaman, uanglah yang diburu. Benarkah pemilihan langsung justru semakin mengekalkan praktik pemerintah bayangan (shadow state) dan ekonomi informal (informal economy) itu?
Dalam sebuah diskusi di Jakarta awal Juni lalu, bakal kandidat Gubernur DKI Jakarta, Faisal Basri, mengaku menghabiskan setidaknya Rp 1 miliar untuk persiapan maju dalam pencalonan. Biaya itu dihabiskan sebatas tahap sosialisasi, termasuk di antaranya untuk bantuan korban banjir di Jakarta.
Menurut Faisal, dana itu sebagian di antaranya dari sumbangan donatur yang bukan pengusaha hitam. Ia juga menyatakan, dirinya tidak pernah membayar partai politik agar lolos sebagai calon.
Bakal kandidat lain, Sarwono Kusumaatmadja, dalam diskusi itu terlihat sungkan mengakui berapa besar dana yang dihabiskan. Bermula dari ya sekitar-sekitar itulah, akhirnya mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup itu mengaku menghabiskan tidak kurang dari Rp 2 miliar untuk proses pencalonannya.
Ongkos politik?
Faisal dan Sarwono, yang sempat mengikuti proses penjaringan calon di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), berkilah tidak pernah membayar parpol agar diajukan sebagai calon. Namun, seperti pemeo tidak ada makan siang yang gratis sudah menjadi rahasia umum pula, parpol atau gabungan parpol tidak secara sukarela memberikan perahu pencalonan kepada seorang kandidat. Uang itu digunakan sebagai ongkos sewa parpol atau gabungan parpol yang dijadikan kendaraan sang calon untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (pilkada).
Seorang fungsionaris parpol besar pernah menceritakan bagaimana untuk menjalin koalisi antarpartai saja diperlukan mahar miliaran rupiah. Seorang fungsionaris parpol besar lainnya juga pernah diminta melupakan keinginan menjadi gubernur jika hanya membawa Rp 3 miliar di pundi-pundinya.
Politik uang sejak masa pencalonan seperti itu memang sukar dibuktikan. Namun, praktik seperti itulah yang menjadi dasar argumentasi sekelompok masyarakat sipil untuk mengusung calon perseorangan. Calon perseorangan adalah bentuk perlawanan atas hegemoni politik uang elite dan parpol dalam penetapan pasangan calon. Mengambil analogi pada Pemilu 2004, biaya politik kandidat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari kelompok nonparpol dianggap lebih murah ketimbang biaya yang dihabiskan anggota DPR dari jalur parpol.
Di pihak lain, ada kontra-argumentasi yang menyatakan, keberadaan calon independen, calon perseorangan, atau calon nonparpol pun tak menjamin bebas dari praktik politik uang. Calon dari parpol atau calon perseorangan sama-sama harus mengeluarkan biaya politik yang tidak sedikit jumlahnya dalam tahap awal pengajuan calon.
Berdasarkan pengalaman seorang calon perseorangan dalam pilkada di Nanggroe Aceh Darussalam, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Fahrul Rozi mengatakan, calon mengeluarkan uang untuk meminta dukungan dari warga sebagai salah satu syarat untuk bisa terdaftar sebagai peserta. Dukungan disampaikan dalam bentuk fotokopi kartu tanda penduduk (KTP). Semula warga dengan sukarela menyerahkan KTP-nya untuk difotokopi. Namun, lama-kelamaan warga meminta harga khusus bagi setiap KTP miliknya yang akan difotokopi tim sukses calon independen sebagai bentuk dukungan.
Praktik politik uang calon independen sama dengan yang terjadi pada calon yang maju melalui parpol, kata Fahrul.
Dalam pilkada di Aceh akhir Desember tahun lalu, calon independen harus mampu mengumpulkan minimal tiga persen dukungan dari total jumlah penduduk atau mencapai 120.904 orang. Seandainya setiap KTP dihargai Rp 10.000, setiap calon harus mengeluarkan dana minimal Rp 1,2 miliar. Dana itu baru biaya meminta dukungan warga sebagai syarat pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja biaya itu sangat sedikit dibandingkan dengan total biaya lain yang harus ditanggung calon dalam proses pilkada secara keseluruhan.
Bagi peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, keberadaan calon nonparpol memang tidak murni bebas dari politik uang. Namun, hal itu dianggap lebih baik ketimbang mekanisme biaya politik calon dari parpol. Biaya politik calon dari parpol hanya dinikmati segelintir elite partai, sedangkan biaya politik calon independen langsung mengalir dan dinikmati masyarakat.
Selain itu, besaran biaya politik yang harus dikeluarkan calon independen juga lebih rendah dibandingkan dengan calon parpol. Alat politik dan mekanisme pembayarannya lebih jelas sehingga biaya calon untuk maju dalam pilkada dapat dipangkas. Keberadaan calon independen membuat penentuan calon pemimpin tak sewenang-wenang ditentukan pengurus parpol, katanya.
Kompensasi?
Terlepas besar-kecil dana politik yang dihabiskan, peneliti LIPI lainnya, Syarif Hidayat, mengingatkan, pelaksanaan pemilihan langsung mungkin saja mengekalkan oligarki kekuasaan dan mendorong merebaknya praktik shadow state dan informal economy dalam penyelenggaraan pemerintahan. Alih-alih untuk mendapatkan pemerintahan yang demokratis dan memenuhi harapan rakyat, rangkaian proses menuju pemilihan berikut kesepakatan di bawah meja oleh kandidat dengan sponsor menjadikan kian jauhnya upaya menegakkan kedaulatan rakyat, mewujudkan kebebasan politik rakyat, dan percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Penelitian di Provinsi Jambi, Kalimantan Selatan, dan Bengkulu menunjukkan ada persekongkolan politik dengan bisnis. Memang, setiap kandidat menyediakan dana dari kantongnya sendiri untuk membiayai proses politik. Namun, dipastikan dana sendiri itu tidak cukup sehingga diperlukan sponsor untuk menutup kebutuhan. Umumnya, dana itu berasal dari pengusaha, baik lokal maupun nasional. Itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab kemenangan sejumlah calon yang merupakan incumbent atau pengusaha.
Para sponsor inilah yang pascapemilihan berupaya memengaruhi penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai bagian dari in-return cost atas investasi politik dan ekonomi yang ditanamkan. Harus ada kompensasi memadai atas biaya yang sudah dikeluarkan. Jika sponsor dari kalangan pengusaha, orientasi keuntungan bisa sangat variatif. Bisa berupa pemberian proyek atau lewat perlindungan dan kemudahan atas kelangsungan unit bisnisnya. Proyek konstruksi bernilai besar diincar, selain usaha di bidang pertambangan dan pariwisata.
Menurut Syarif, sponsor itu biasanya juga sangat cerdik. Pada tahap awal, sokongan dana diberikan kepada semua pasangan calon. Pada tahapan berikutnya, mereka akan berganti strategi dengan menyumbang kepada calon yang punya peluang lebih besar untuk menang. Kalau dua pilkada dua putaran, biasanya lebih menarik. Putaran pertama hati-hati, putaran kedua baru jor-joran, katanya.
Perbaikan?
Praktik uang sebagai penentu kemenangan dalam pemilihan itu tidak terlepas dari definisi atas ongkos politik dan politik uang. Mengeluarkan sebanyak-banyaknya dana untuk berkampanye dianggap sebagai biaya politik. Definisi politik uang dimanipulasi sehingga siapa pun calon bisa berlindung dengan aman. Kalaupun ada rekening resmi yang mesti diaudit, celah untuk mengakalinya masih sangat terbuka. Kerap kali tidak cocok antara aktivitas dan biaya yang dilaporkan, kata Syarif.
Indonesia Corruption Watch (ICW) merinci sejumlah titik lemah pengaturan dana politik. Misalnya, tidak ada aturan khusus mengenai sumbangan dari pribadi pasangan calon atau parpol atau gabungan parpol pendukung. Di luar tim kampanye yang dilaporkan, juga ada tim sukses yang bisa meraup dana tanpa akuntabilitas kepada publik. Juga tidak ada pengaturan yang jelas mengenai sumbangan dari induk dan anak perusahaan sehingga mungkin saja sebuah konglomerasi menyumbang berkali-kali. Dengan adanya batas sumbangan maksimal, masih ada kemungkinan mengakalinya dengan memecah-mecah sumbangan dengan nilai di bawah batas minimal pencatatan.
Tanpa perbaikan, diyakini bahwa pejabat publik yang terpilih dalam pemilihan langsung akan terlipat dalam persekongkolan jahat. Jika tidak ada perbaikan aturan, sampai kapan pun uang akan menjadi faktor paling menentukan. Harapan pada demokrasi langsung pun bisa-bisa pupus. Karena, (tanpa perbaikan aturan) kita tinggal menunggu ke mana (pengusaha) membawa tasnya, kata Syarif. (M Zaid wahyudi dan sidik pramono)
Sumber: Kompas, 15 Juni 2007
--------------
Agar Dolar Tak Mengaliri Calon RI-1
Sepanjang masih ada tim sukses bayangan, tak ada guna semua aturan.
MISTERI dana kampanye tiga tahun lalu kembali jadi bahan pertanyaan ketika calon presiden yang diusung Partai Amanat Nasional, Amien Rais, membuat pernyataan kontroversial pada bulan lalu. Ada aliran dana kampanye dari Amerika Serikat ke salah satu calon pasangan presiden dan wakil presiden. Kontroversi ini membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara, membantah semua tudingan itu.
Tidak ada satu dolar pun dana dari Washington seperti yang diopinikan Amien Rais, kata Presiden di depan Kantor Kepresidenan di Istana Negara, Jakarta, akhir bulan lalu. Silakan cek yang bersangkutan.
Kucuran duit dari lembaga asing memang ilegal menurut Undang-Undang Pemilihan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Pencalonan seorang presiden bisa batal apabila terbukti menerima duit dari pihak asing. Saat ini Undang-Undang Pemilihan Presiden akan direvisi oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah telah mengajukan rancangannya ke DPR awal bulan ini. Dalam ketentuan baru usul pemerintah itu, dana asing tetap terlarang.
Namun, aliran dana asing bukan satu-satunya persoalan sumber pundi-pundi lima calon pasangan yang berebut kursi RI-1--istilah untuk jabatan presiden--pada 2004 silam. Menjelang masa kampanye pemilihan presiden, Panitia Pengawas Pemilu menemukan aliran dana ilegal dari lembaga atau perseorangan.
Dari laporan keuangan tim kampanye, Panitia Pengawas menemukan antara lain penyumbang tak jelas identitasnya, alamat penyumbang tak jelas, atau penyumbang diyakini tak mampu menyumbang. Dalam aturan pendanaan kampanye, identitas orang yang menyumbang di atas Rp 5 juta harus jelas.
Temuan ini berbeda dengan hasil audit dana kampanye dari lima auditor yang ditunjuk Komisi Pemilihan Umum. Semua pengaudit menyatakan laporan dana kampanye bersih dari persoalan. Namun, KPU lalu tak sigap mengusut perbedaan itu.
Desakan publik supaya dilakukan audit investigatif tak dituruti. Ketua Tim Pemantau Kampanye KPU Mulyana W. Kusumah dan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti ketika itu menyatakan undang-undang tak memberikan kewenangan kepada Komisi meminta audit investigatif.
Hasil audit menjadi dianggap wajar karena ketentuan masa audit dana kampanye yang begitu singkat. Undang-undang membatasi waktu audit hanya 15 hari. Padahal, Tidak cukup hanya satu kali, butuh waktu yang lama serta sampel lebih banyak, kata bekas anggota Lembaga Pengawas Pemilu 2004, Topo Santoso.
Masa audit yang sempit ini membuat auditor tak menanyai semua penyumbang. Para penyumbang dipilih secara random. Berbeda dengan Pengawas Pemilu, yang memiliki jangkauan lebih luas hingga tingkat kabupaten/kota.
Namun, pemantauan dana kampanye pemilihan presiden 2004 memang tak melibatkan Panitia Pengawas Pemilihan. Ada tiga pasal dalam undang-undang tentang pendanaan kampanye ini. Tapi tak ada satu item yang menyebutkan peran Panitia Pengawas dalam memantau aliran dana kampanye calon presiden.
Pasal 43 undang-undang tersebut hanya berisi sumber dan pelaporan duit kampanye. Dua ketentuan lain, Pasal 44 dan Pasal 45, berisi masa audit dana kampanye dan larangan beserta sanksinya. Tak jelas pula tindak lanjut temuan panitia pengawas atas pendanaan kampanye. Meskipun Panitia Pengawas menduga para calon melanggar.
Menurut Topo, yang kini menjadi penasihat Partnership untuk Reformasi Pemerintahan di Indonesia, keberadaan tim sukses tidak resmi juga menjadi penyebab ketidakjelasan akuntabilitas pendanaan partai dalam kampanye. Sepanjang masih banyak tim sukses bayangan, tidak ada gunanya segala aturan, katanya.
Memang, banyak tim tak resmi dalam pemilihan presiden lalu. Tak resmi karena mereka tak didaftarkan ke KPU seperti perintah undang-undang. Celah undang-undang ini tak diikuti sanksi tegas atas aturan pendanaan kampanye.
Kini Dewan Perwakilan Rakyat telah menerima Rancangan Undang-Undang Pemilihan Presiden dari pemerintah. DPR punya kewenangan menutup kelonggaran dan celah aturan kampanye masa lalu. Ketegasan aturan dan sanksi diyakini bisa membuka misteri duit kampanye para calon petinggi negeri ini. Sanksi penjara dua tahun dan/atau denda saja masih belum efektif, kata ahli hukum tata negara Denny Indrayana. BUDI SAIFUL HARIS | AQIDA SWAMURTI | PURWANTO
Sumber: Koran Tempo, 15 Juni 2007