Dana Rehab Rumah Dinas Sekda tidak Masuk Akal
Thanthawi Ishak:
Direhab dengan biaya sedikit besar, untuk membuat rumah itu indah dan enak dipandang.
Nazamuddin:
Rehab rumah boleh saja, tapi jangan sampai menimbulkan kesan mewah dan pemborosan uang rakyat.
Mawardi Ismail:
Mereka seenaknya menggunakan anggaran buat kepentingan dinas, tapi untuk rakyat dilakukan pembatasan.
Dana yang dianggarkan, pada tahun 2002 dan 2003, untuk merehab rumah dinas Sekda NAD hingga mencapai Rp 1,4 milyar dinilai sejumlah kalangan tidak masuk akal. Apalagi, hal itu dilakukan saat rakyat sedang dalam keterpurukan akibat konflik berkepanjangan.
Sementara Sekda NAD, Thantawi Ishak yang menelepon Serambi, kemarin sore, mengatakan, besarnya alokasi dana untuk rehab rumah dinas itu karena kerusakan yang dialami cukup besar. Rumah itu mulai direhab, sejak 2002, karena Nopember 2000, terendam banjir besar. Sehingga, banyak bagian ruangan harus dibongkar dan dibangun kembali, ungkap Sekda.
Setelah direhab pada 2002, tambah dia, tahun 2003, masih ada bagian yang belum bagus. Misalnya beberapa bagian atapnya yang masih bocor sehingga bagian perlengkapan (Setda NAD) terpaksa mengusulkan biaya rehab. Tapi berapa nilai yang diusul, Thanthawi mengaku tidak tahu.
Yang pasti biaya rehabnya tidak senilai, seperti disebutkan Pansus VII (DPRD NAD), Rp 1,4 milyar selama dua tahun anggaran, jelasnya. Padahal, Sekda NAD merupakan ketua panitia anggaran eksekutif, yang bertugas sebagai pengawas alokasi anggaran setiap tahunnya.
Dia juga menyatakan, rumah itu rumah dinas. Dan, ia tinggal di situ selama menjabat Sekda. Setelah tak lagi menjabat, akan ke luar dari rumah itu dan akan ditempati pejabat yang baru. Kalaupun rumah itu direhab dengan biaya sedikit besar, untuk membuat rumah itu menjadi indah dan enak dipandang, bukan maksud untuk kemewahan, ujarnya.
Seperti dilaporkan kemarin, Pansus VII DPRD yang melakukan evaluasi terhadap penggunaan dana APBD 2003 sangat terkejut panitia anggaran eksekutif mengalokasikan dana Rp 700 juta buat tambahan biaya rehab rumah dinas Sekda NAD. Padahal, tahun 2002 telah dialokasikan biaya senilai Rp 700 juta untuk kepentingan yang sama.
Tidak masuk akal
Kalangan developer perumahan di Banda Aceh menilai, bila benar dana rehap rumah dinas Sekda NAD --yang terletak di Simpang Tiga Setui-- Banda Aceh, mencapai Rp 1,4 milyar, hal itu sudah terlalu mahal dan tidak masuk akal.
Kalau kegiatan rehabnya diserahkan pada developer, maka biaya yang dikeluarkan paling tinggi cuma Rp 700 juta, kata Menejer Bumi Aceh Lestari, Ikrar, kepada Serambi, yang diminta komentarnya, kemarin.
Dengan dana Rp 1,4 milyar, sebutnya, dapat membuat rumah mewah tipe 700. Karena satuan harga rumah mewah Rp 2 juta per meter. Sedangkan rumah sederhana cuma Rp 300.000 per meter. Jadi, tegas manajer Bumi Aceh Lestari itu, kalau biaya rehab rumah dinas Rp 1,4 milyar, maka anggarannya sangat besar dan cukup mengerikan sekali.
Bahan apa saja yang dipakai buat merehab rumah dinas Sekda NAD itu sehingga biaya rehabnya melambung tinggi. Sebab, kalau dilihat dari bentuk dan kondisi rumah dinas itu, anggaran yang pantas disediakan cuma Rp 700 juta, katanya yang menyebutkan untuk pagu senilai itu, bahan yang digunakan sudah cukup baik atau dengan kata lain di atas standar rumah dinas.
Pengalaman tahun 2002, kata dia, yang saat usulan biaya rehab rumah dinas Ketua DPRD NAD senilai Rp 850 juta ---yang dihujat masyarakat itu, eksekutif tidak mengulangi kesalahan kedua kalinya. Namun ini masih saja dilakukan, dan terkesan eksekutif sudah tak menghiraukan lagi aspirasi rakyat, katanya.
Dalam pidato kepada masyarakat, sebut pengembang lain, para pejabat eksekutif selalu menyerukan agar masyarakat untuk hidup hemat. Tapi ketika sudah kebutuhan diri pejabat, hidup hemat dan sederhana itu tidak ada baginya, malahan sebaliknya berlomba-lomba untuk mendapat kemewahan, kata seorang developer.
Buktinya seperti yang ditemukan bahwa biaya rehab rumah dinas Sekda NAD mencapai Rp 1,4 milyar, tegas para pengusaha perumahan di Banda Aceh, nilainya sangat besar, dan sudah tidak rasional lagi. Apapun alasan yang dipakai eksekutif untuk pembenaran dari penggunaan dana rehab itu rasanya sulit bisa diterima, katanya.
Sementara itu, pakar ekonomi dari Unsyiah, Dr Nazamuddin mengatakan bahwa dalam situasi NAD yang masih memprihatinkan hendaknya pejabat eksekutif bisa menahan diri. Rehab rumah boleh saja dilakukan tapi jangan sampai menimbulkan kesan mewah, dan pemborosan uang rakyat, katanya.
Para pejabat, tambahnya, selama ini meminta rakyat untuk bisa hidup sederhana dan hemat. Sementara, yang menyerukan malah hidup dengan gaya sebaliknya, penuh dengan fasilitas yang berlebihan. Akibatnya, seperti terjadi selama ini, kepercayaan rakyat pada pemerintah, tak setinggi 10 tahun sebelumnya, katanya.
Hal senada diungkapkan pakar hukum Unsyiah, Mawardi Ismail. Menurut dia, kepekaan pejabat terhadap kondisi rakyat, yang sedang prihatin akibat konflik, amat kurang. Mereka seenaknya menggunakan anggaran untuk kepentingan dinas dan kelompoknya, tapi buat rakyat dilakukan pembatasan, dengan asalan terbatasnya keuangan daerah, kata mantan anggota DPRD NAD itu. (her)
Sumber: Serambi Indonesia, 28 Mei 2004