Dana Taktis nan Fantastis
Seluruh institusi pemerintah, baik pusat maupun daerah, memiliki dana nonbujeter yang sering disebut dana taktis, demikian pernyataan mantan calon wakil presiden Salahuddin Wahid.
Lebih lanjut dikemukakan, praktik semacam itu lazim terjadi di seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah, serta tidak tertutup kemungkinan KPUD di seluruh Indonesia memiliki dana taktis tersebut. Penyebabnya ialah terbatasnya anggaran pemerintah, sehingga institusi pemerintah mencari sendiri anggaran di luar bujet resmi.
Penyimpangan yang lazim ini oleh banyak pihak disebut korupsi berjamaah atau korupsi telah membudaya. Tentang dana taktis ini dapat ditelusuri menurut sumber dan penggunaan dananya.
Sistem Anggaran
Sebelum diterapkan sistem anggaran berbasis kinerja (ABK) secara utuh, dapat dipastikan terdapat sejumlah kegiatan yang tidak cukup anggarannya. Ini mengingat anggaran tahun berjalan suatu instansi pemerintah hanya dinaikkan sekitar 10 persen dari anggaran tahun sebelumnya tanpa memperhatikan kebutuhan nyata setiap kantor.
Pengeluaran tersebut, di antaranya, biaya pemeliharaan, pembelian alat tulis kantor (ATK), langganan listrik, telepon, dan air. Tiga yang terakhir ini acapkali berdampak menjadi piutang tak tertagih bagi BUMN/D terkait. Pada gilirannya kondisi tersebut mempengaruhi kinerjanya sehingga ada yang menderita kerugian dalam jumlah yang tidak sedikit namun jarang diungkap secara terbuka.
Instansi pemerintah, baik sipil maupun TNI-Polri, sebagai pelayanan umum masyarakat, pada satu sisi memang kecil kemungkinannya ditutup atau diputus hubungan telepon, listrik, atau airnya hanya karena menunggak pembayaran rekening tersebut.
Pada sisi lain, pimpinan unit kerja yang bersangkutan akan berusaha sedemikian rupa untuk menanggulangi minimnya anggaran yang ada agar kemungkinan disegel tidak menjadi kenyataan.
Juga ketika setiap kantor perlu tampil meriah menjelang hari-hari nasional, khususnya menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia. Tidak ada anggaran khusus untuk itu. Anggaran ATK juga relatif kecil untuk mendukung kegiatan kantor yang sebagian besar (memang) belum efisien.
Upaya yang dilakukan biasanya dengan mark up harga dalam pembelian alat-alat sehari-hari, dan/atau membuat SPJ (surat perintah jalan) fiktif sebagaimana sinyalemen Ajip Rosidi (Suara Pembaruan, 9 Mei 2005).
Ada pula yang mendapat dukungan dana dari rekanan seperti kasus KPU yang kini disidik KPK. Uang terima kasih ini (lagi-lagi) dianggap wajar oleh mantan Sekjen KPK Safder Yusacc, dengan alasan rekanan telah menikmati keuntungan yang besar dari proyek pengadaan barang/jasa KPU.
Dana taktis KPU yang konon tidak hanya Rp 20 miliar itu memang fantastis. Sebab, biasanya dana taktis suatu kantor hanya cukup untuk menutup kekurangan anggaran rutin kantor.
Artinya, dana yang dihimpun tidak lebih dari kebutuhan untuk menutup kekurangan anggaran kantor. Termasuk dalam hal ini untuk membayar honorarium tenaga harian lepas untuk kebersihan kantor dan satuan pengamanan (satpam) yang tidak semua kantor punya pegawai (negeri sipil) khusus untuk tugas-tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada pejabat yang ikut menikmati dana taktis, apalagi sampai USD 105 ribu per orang.
Menjamu Tamu
Dalam banyak kasus, dana taktis acap disiapkan untuk menjamu tamu kantor, padahal para tamu tersebut telah dibekali uang jalan, baik yang dibayar lump sum maupun at cost. Termasuk dalam uang jalan ini biaya transportasi, uang makan, uang penginapan, dan uang saku. Bagi pimpinan yang melakukan perjalanan dinas juga dibayarkan uang representasi.
Ironisnya, justru pimpinan/pejabat dari kantor pusat yang acapkali bertamu ke daerah ini yang uang jalannya utuh masuk kantong karena semua kebutuhannya disiapkan oleh tuan rumah. Dari mana uangnya?
Lagi-lagi dana taktis jawabannya. Belum lagi tamunya kemudian dibelikan oleh-oleh khas daerah itu. Masih untung tamunya tidak memberi isyarat agar ada yang menemani tidur.
Berapa banyak dana taktis yang harus disiapkan kalau tamunya sedemikian rupa banyaknya setiap rombongan dan frekuensinya juga hampir setiap bulan? Para (mantan) pimpinan unit tentu punya cerita panjang tentang hal ini. Fantastis.
Dana taktis KPU bukan hanya fantastis dalam jumlah, tetapi juga mengalirnya demikian jauh. Tidak hanya untuk menutupi kekurangan anggaran yang terbatas serta menjamu para tamu yang berkunjung ke KPU, tetapi juga dibagi-bagikan tunai secara proporsional di kalangan internal KPU serta ke DPR, BPK, dan Departemen Keuangan. Oknum yang disebut terakhir ini mengaku menerima dan mengembalikan ke KPK.
Beberapa orang juga sudah ada yang mengaku menerima dan sebagian yang lain masih bungkam. Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin terpaksa mengakui kemudian dan memang terbukti uangnya disimpan di rumah sebanyak USD 44.900 setelah digelandang pulang oleh KPK.
Sisi fantastis lain dari dana taktis KPU adalah semua penerimaan dan pengeluaran dicatat dengan rapi sedemikian rupa sehingga tidak sedikit yang merasa sebagai uang halal yang layak diterima tanpa curiga sedikit pun ketika menandatangani tanda terimanya karena lengkap dengan kop surat, stempel, dan tanda tangan ketua KPU.
Disebut demikian karena umumnya dana taktis hanya dicatat dalam buku pintar yang hanya diketahui pemegang uang dan pimpinan unit kerja dan penerimaannya tanpa tanda tangan bukti penerimaan uang. Hanya ada saling percaya di antara mereka berdua. Buku pintar ini bersifat rahasia dan acap dimusnahkan untuk menghilangkan jejak.(Gede Eka Suryatmaja, auditor ahli madya. Bertugas pertama menangani kasus korupsi sebagai ketua tim ketika masih berstatus calon pegawai negeri sipil)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 10 Juni 2005