Deadline Kejagung Terganjal BPPN
Kejaksaan Agung (Kejagung) agaknya harus bekerja keras untuk menuntaskan penyelidikan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Salah satunya terkait kelengkapan dokumen yang dimiliki BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Padahal, Kejagung diberi tenggat (deadline) hingga akhir bulan ini untuk menuntaskannya.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kemas Yahya Rahman mengakui, hingga pekan lalu pihaknya belum mendapat dokumen penting dari BPPN terkait hasil audit aset milik obligor. Kalau (dokumen) itu tidak ada, jangan salahkan kami ketika hitungannya -penyerahan dan penjualan aset obligor- di BPPN dilaksanakan asal-asalan, katanya di Jakarta kemarin (16/12).
Kemas menolak menjelaskan dokumen dari BPPN yang belum diperoleh tersebut. Yang jelas, dokumen itu amat dibutuhkan untuk menuntaskan kasus BLBI.
Dia meyakini mantan pejabat BPPN masih menyimpan dokumen tersebut. Sebab, siapa pun pejabatnya, pasti terjadi serah terima dokumen saat pergantian. (Dokumen) itu terkait perkara. Harusnya ada, jelas mantan Kapuspenkum Kejagung di era Jaksa Agung M.A. Rachman itu. Dia menyesalkan sikap mantan pejabat BPPN yang terkesan enggan menyerahkan dokumen itu.
Meski belum memperoleh dokumen, dia optimistis bisa menuntaskan kasus BLBI sesuai target pada akhir Desember ini.
Siapa obligor selain Anthony Salim yang diperiksa? Dia menolak mengungkapkannya. Menurut Kemas, kejaksaan tidak mau tergesa-gesa memanggil seluruh obligor. Satu per satu dulu, katanya. Kejagung juga menindaklanjuti kasus BLBI lain yang tidak kooperatif dalam menyelesaikan kewajiban.
Secara terpisah, anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari optimistis Kejagung tidak mengutak-utik obligor yang kooperatif dalam menyelesaikan utang lewat Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Ini kan negara hukum. MSAA saat itu ditetapkan berdasarkan ketentuan hukum. Jika ada yang mempersoalkan itu, silakan diselesaikan secara hukum pula, katanya kemarin.
Dia menilai tidak etis bila Kejagung mempersoalkan kebijakan MSAA yang disahkan MPR dan Mahkamah Agung (MA) serta disetujui Kejagung pula. Sejauh ini kami belum melihat arah penyelidikan atas obligor yang sudah memenuhi kewajiban sesuai MSAA, jelas anggota FPDIP itu.
Menurut Eva, saat ini Kejagung menyelidiki kembali obligor nakal yang sama sekali tidak mematuhi MSAA maupun obligor yang belum menuntaskan kewajiban. Misalnya, kewajiban Rp 10 triliun, tetapi yang dibayar masih kurang Rp 1 triliun. Nah, itu yang sekarang dikejar oleh mereka, tuturnya.
Dalam kasus pemeriksaan atas mantan pemilik BCA, Anthony Salim, BLBI yang dikucurkan Rp 52,7 triliun pada 1998. Melalui perjanjian MSAA, Anthony menyerahkan 108 aset, termasuk BCA, plus uang tunai Rp 100 miliar sebagai pengganti dan ditindaklanjuti dengan penerbitan surat keterangan lunas dari pemerintah. Tetapi, penyelidik tetap minta keterangan Anthony terkait perbedaan nilai aset yang ditaksir BPPN. Karena itu, dia beberapa kali diperiksa penyidik Kejagung. (agm/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 17 Desember 2007