Demokrasi dan Korupsi Global; Menyongsong UU Penanaman Modal [02/08/04]
Lahirnya UU Penanaman Modal kini sedang ditunggu. Konon DPR akan mempercepat proses pembahasan sebelum habis masa kerjanya. Sangat ditunggu karena undang-undang ini diharapkan dapat memulihkan iklim investasi yang sekarang ini dianggap sudah sedemikian buruknya. Tanpa sebuah undang- undang investasi yang baru, Indonesia konon akan mengalami kekalahan dari China yang berhasil menyedot 50 persen dari investasi asing dunia.
Tujuan utama dari undang-undang ini memang menjamu investor asing. Maka, salah satu perubahan yang revolusioner adalah dihapuskan pembedaan antara modal asing dan modal dalam negeri. Dalam arti khusus, berarti tidak ada lagi pembedaan antara modal pribumi dan modal nonpribumi. Semuanya mendapat perlakuan sama. Mereka boleh masuk ke bidang apa saja dan di mana saja. Waktunya tidak terbatasi 30 tahun, boleh sepanjang yang dibutuhkan. Insentif fiskal juga akan diberikan dengan murah hati. Selamat datang investor asing!
Para ekonom serentak memuji undang- undang yang belum lahir ini. Mereka memang ingin melihat Indonesia yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Mereka sudah tidak sabar melihat kelesuan dalam investasi asing. Kalau investor asing boleh berkiprah bebas di Tanah Air ini, mereka pikir Indonesia akan kembali mengalami zaman keemasannya. Tentu saja mereka gembira karena semua ini terjadi sesuai dengan buku teks ekonomi neoklasik mereka.
Masalahnya, menurut perhitungan cost-benefit, biaya apa yang harus dipikul oleh Indonesia akibat derasnya arus investor asing? Ada tiga biaya: biaya ekonomi, biaya ekologi, dan biaya politik. Tentang dua yang terdahulu sudah banyak dibahas, saya ingin memfokuskan pada biaya politik. Dengan masuknya investor asing, sering dibayangkan bahwa kehidupan politik sebuah negara tidak akan terganggu, bahkan juga difantasikan bahwa tingkat korupsi dapat dikurangi atau bahkan dibasmi. Bayangan dan fantasi ini tentu saja berbahaya karena yang terjadi adalah kebalikannya.
SEBUAH buku yang diterbitkan oleh Transparency International (TI), Global Corruption Report 2004, mengejutkan dengan data-data tentang korupsi oleh investor asing. Saya telah menulis hal ini di harian ini tentang bagaimana investor asing menyuap pejabat-pejabat negara (22 Juli 2002). Laporan TI tahun 2004 ini memberi ulasan lebih panjang lagi tentang korupsi oleh investor asing. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh Control Risks Group pada 50 perusahaan di Inggris, Jerman, Belanda, Amerika Serikat, Hongkong, dan Singapura ditemukan bahwa suap-menyuap memang terjadi. Perusahaan lokal mengalami kalah bersaing karena suap yang dilakukan oleh investor asing. Perusahaan di Hongkong dan Singapura merupakan korban yang paling menderita, masing-masing 60 dan 64 persen perusahaan di sana kalah bersaing.
Kemenangan investor asing sering dijamin tidak hanya karena uang suap yang lebih besar, tetapi juga karena mereka mendapat bantuan dari negara asal (home country). Sekali lagi , menurut survei yang sama, diperlihatkan bahwa investor asing dari Amerika Serikat dan negara OECD lainnya memperoleh keuntungan lewat tekanan politik yang dilakukan oleh negara mereka. Hanya 7,6 persen perusahaan AS dan 9,2 persen dari perusahaan asal negara OECD tidak pernah memakai tekanan politik. Selebihnya terbagi antara beberapa kali, secara teratur, dan selalu. Yang beberapa kali melakukan tekanan politik adalah 48,4 persen untuk perusahaan Amerika dan 54,8 persen perusahaan OECD. Berapa kali yang selalu memakai tekanan politik? Ada 6 persen dari perusahaan Amerika dan 2 persen dari perusahaan dari negara yang tergabung dalam OECD.
Ketika investor asing berbondong-bondong datang ke Indonesia, seberapa jauh perusahaan lokal kita bisa bersaing secara fair dengan perusahaan- perusahaan asing? Soal suap- menyuap pengusaha kita juga tahu, tetapi apakah mereka tahan menghadapi kompetisi suap oleh perusahaan multinasional? Begitu pula ketika perusahaan asing memakai tangan tak kelihatan sehingga mereka dapat menanamkan modal mereka di tempat empuk? Seberapa kuat mereka melawan tekanan politik? Negara- negara yang disurvei bukanlah negara yang diperintah oleh diktator, tetapi negara yang demokratis. Perusahaan dari negara demokratis ternyata tidak bertindak demokratis kalau mereka harus bersaing dalam bisnis internasional.
SASARAN suap dan sogok yang diceritakan di atas adalah negara/pejabat negara. Hal ini tentu terbatas pada usaha bagaimana menggerogoti peraturan dan undang-undang yang sedang berlaku. Praktik seperti ini dianggap klasik atau kuno. Daripada menggerogoti undang-undang bukankah lebih baik langsung pada sasaran, yaitu memengaruhi pembuatan undang-undang itu sendiri? Karl Marx 100 tahun yang silam sudah mengetahui hal ini ketika ia mengatakan bahwa undang- undang dibuat untuk melayani para kapitalis. Yang menarik pada zaman globalisasi sekarang adalah bahwa bukan kapitalis lokal saja yang ingin membengkokkan undang-undang, tetapi juga kapitalis global.
Kembali TI mengungkapkan data-data yang mengejutkan. Dengan memakai sebuah penelitian yang dihimpun oleh World Economic Forum yang berjudul 2003 Executive Opinion Survey, ditemukan bahwa para pelaku bisnis mengeluarkan uang suap untuk memengaruhi pembuatan kebijakan. Ini terjadi paling banyak di negara-negara yang dikategorkan sebagai medium political corruption, Indonesia ada di antaranya bersama China, India, Jepang, Brasil. Pelaku bisnis di negara-negara dalam kategori ini (57 negara) pada umumnya tak pernah atau kadang-kadang memengaruhi kebijakan pemerintah. Di antara negara ini tidak sedikit yang sudah demokratis, seperti Italia, Jepang, Irlandia, Rusia, Thailand.
Negara demokrasi ditandai dengan sistem multipartai. Karena partai-partai itu akan punya suara dalam pembuatan undang-undang, investor asing juga tidak melewatkan peluang ini. Masih menurut survei yang sama, kebiasaan pelaku bisnis memberikan sumbangan politik yang ilegal terjadi di 41 negara, Indonesia termasuk di sini bersama dengan Amerika Serikat, Italia, Israel, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Portugal, Taiwan. Menarik bahwa China dan Vietnam (bersama 18 negara) dapat dikatakan bersih, tetapi ini karena di sana tidak ada sistem demokrasi dengan multipartai.
Apakah partai politik memang doyan uang suap? Jawabannya ya, menurut survei Global Corruption Perceptions Barometer (2002) yang dibuat oleh TI juga. Mayoritas responden yang berjumlah 40.000 orang dari 47 negara menyatakan bahwa mereka mau memberantas korupsi. Menarik, bagaimana partai politik yang merupakan pilar dalam sistem demokrasi justru menjadi sumber korupsi!
AMERIKA Serikat punya Foreign Corrupt Practice Act dan negara-negara yang tergabung dalam OECD punya Convention on Combatting Bribery of Foreign Public Officials in International Business. Sementara itu, PBB pada tingkat global telah menghasilkan UN Declaration against Corruption and Bribery in International Commercial Transactions pada 1996. Oleh negara induk mereka, dengan ancaman hukuman, investor asing dilarang memberi suap dan sogok kepada pejabat negara tempat mereka menanamkan modal. Namun, jelas bahwa suap-menyuap oleh investor asing tidaklah mengendur. Perusahaan-perusahaan multinasional tetap saja memberi suap kepada negara dan partai politik.
Korupsi dikhawatirkan akan semakin berkembang biak dengan disahkannya UU Penanaman Modal. Semakin banyak investor asing, semakin tinggi korupsi. Maka, siapa berani menjamin bahwa Indonesia akan lebih kompetitif? Atau, bahwa Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi? Salah-salah korupsi di Indonesia akan semakin merajalela dan karena itu akan semakin membuat investor asing kecut untuk datang ke Indonesia.
Korupsi di Indonesia memang dahsyat, orang Indonesia memang doyan korupsi, tetapi investor asing juga punya sumbangan besar untuk menyuburkan korupsi di bumi Indonesia. Demokrasi di Indonesia yang masih seumur jagung ini justru dilihat sebagai santapan empuk yang tidak boleh disia-siakan oleh para kapitalis global (juga lokal). Mumpung pejabat negara masih gampang disuap, apalagi partai politiknya. Korupsi memperlemah demokrasi, tetapi korupsi global menghancurkan demokrasi.(I Wibowo Visiting Scholar pada CSEAS, Universitas California, Berkeley)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 2 Agustus 2004