Dephuk dan HAM Serahkan RPP PNBP MA ke Depkeu

Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak atau RPP PNBP Mahkamah Agung sekarang sudah kembali di tangan Departemen Keuangan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia selesai menggodok RPP PNBP itu beberapa waktu lalu.

Demikian diungkapkan Direktur Harmonisasi Undang-Undang Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Dephuk dan HAM Wicipto Setiadi kepada Kompas, Minggu (23/12) di Jakarta. Dephuk dan HAM sudah mengirimkan RPP itu ke Menteri Keuangan. Tetapi, saya tidak tahu apakah sudah dikirim ke Presiden atau belum, katanya.

Wicipto mengakui, RPP yang digodok Depkeu bersama Dephuk dan HAM hanya satu, yaitu RPP PNBP untuk lingkungan MA, dan tidak ada RPP tentang Tata Cara Pengelolaan Biaya Perkara. Tidak ada RPP lain selain RPP PNBP MA, jelasnya.

Khusus untuk RPP PNBP MA, kata Wicipto, tidak mengatur soal biaya perkara. Biaya perkara menjadi beban para pihak, kata dia.

Pengaturan PNBP dari pengadilan sebelumnya pernah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif atas jenis PNBP yang berada di Departemen Kehakiman. Ketika itu, pengadilan masih berada di bawah Depkeh. PP itu mengatur, antara lain, biaya register pada pengadilan niaga Rp 1,5 juta-Rp 5 juta, biaya kepaniteraan mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 3.000, dan biaya lainnya. Ini semua termasuk PNBP.

Namun, PP itu dicabut dengan PP Nomor 75 Tahun 2005 yang mengatur PNBP di Dephuk dan HAM. Dengan pencabutan itu, ketentuan mengenai PNBP di lembaga peradilan belum ada.

Wicipto melanjutkan, biaya perkara adalah uang titipan para pihak. Jika sudah inkracht (putusan berkekuatan hukum tetap), uang yang dibayarkan habis. Kalau ada sisa diberi tahu pada para pihak. Apabila dalam waktu 180 hari tidak diambil, harus disetor ke kas negara, ungkapnya.

Persoalan biaya perkara di MA dan lembaga peradilan pertama kali dipersoalkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution, yang memprotes Ketua MA Bagir Manan yang menolak audit BPK atas biaya itu. Polemik ini akhirnya diselesaikan di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September 2007 dengan kesepakatan akan dibuat PP untuk mengaturnya.

Akhir pekan lalu, anggota BPK Baharuddin Aritonang mengatakan, tim auditor BPK belum dapat masuk ke MA untuk memeriksa biaya perkara karena PP itu belum ada. (vin)

Sumber: Kompas, 24 Desember 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan