Deponering Tidak Bisa Diajukan karena Perkara Anggodo Tengah Disidangkan
Dua wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah, belum bisa lepas dari jerat kasus hukum. Hal itu terkait dengan langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) yang memilih opsi mengajukan peninjauan kembali (PK) atas pembatalan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) perkara Bibit-Chandra.
Dengan upaya hukum tersebut, Bibit dan Chandra masih berstatus tersangka kasus pemerasan. Karena itu pula, kejaksaan sengaja tidak memilih opsi menutup perkara dengan deponering (pengesampingan perkara). ''Statusnya berarti tersangka. Itu secara logika lurus. Tapi, ini kan masih ada upaya hukum. Jadi, nanti (lihat) bagaimana hasilnya,'' kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) M. Amari di kantornya kemarin (10/6).
Meski berstatus tersangka, Amari memastikan tidak ada upaya penahanan terhadap Bibit-Chandra. Alasannya, pihaknya masih berupaya mempertahankan SKPP dengan mengajukan PK. ''Penahanan bukan keharusan,'' ujar mantan kepala Kejati Jabar tersebut.
Pengumuman sikap kejaksaan atas pembatalan SKPP Bibit-Chandra oleh Pengadilan Negeri Jaksel yang dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta itu disampaikan Jaksa Agung Hendarman Supandji di Kantor Presiden kemarin. ''Kejaksaan akan mengambil upaya hukum luar biasa atau PK terhadap putusan praperadilan PT tersebut,'' ungkapnya setelah bertemu Presiden SBY.
Dia telah melaporkan sikap kejaksaan kepada presiden. Menurut Hendarman, presiden mempersilakan kejaksaan bersikap sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
PK diajukan karena pertimbangan majelis hakim dalam putusan praperadilan yang jelas memperlihatkan adanya kekhilafan atau kekeliruan yang nyata. Namun, Hendarman tidak bersedia menjabarkan kekhilafan yang dimaksud. ''Rahasia karena ya saya lihat pertimbangan keliru dan khilaf, tidak perlu saya elaborasi. Itu isi dapur jaksa penuntut umum untuk menyampaikan PK,'' tegas mantan JAM Pidsus itu.
Dia optimistis PK nanti diterima Mahkamah Agung (MA). ''Banyak yang begitu (jaksa kalah), tapi kami di MA menang. Tinggal kami menyatakan hakim itu keliru dan khilaf. Keliru dan khilaf itu di mana? Ya itu rahasia jaksa,'' tuturnya.
Opsi deponering yang diusulkan banyak pihak tidak digunakan saat ini. Itu ditujukan untuk menghindari sikap ambivalen dalam penanganan perkara dua pimpinan KPK tersebut.
Jaksa agung sengaja tidak mengambil haknya untuk melakukan deponering. Pertimbangannya, sejak awal kejaksaan mengambil sikap untuk menghentikan perkara dengan opsi SKPP. ''Karena itu, bila sikap kejaksaan berubah untuk menghentikan perkara dengan deponering, berarti kejaksaan tidak punya suatu sikap. Yaitu, ambivalen dalam perkara penghentian perkara,'' ujar mantan ketua Timtastipikor itu.
Hendarman menegaskan akan berusaha konsisten dengan sikapnya. ''Kalau sudah SKPP, saya SKPP terus. Tidak akan bersikap melakukan deponering saat sekarang,'' tegasnya.
Menurut dia, deponering juga tidak bisa diajukan karena perkara Anggodo Widjojo yang didakwa mencoba menyuap Bibit dan Chandra tengah disidangkan di Pengadilan Tipikor. Dengan demikian, jika perkara Bibit-Chandra dideponering, perkara Anggodo harus mendapat perlakuan yang sama. Sebab, dua kasus tersebut saling berkaitan. ''Jadi, (jika) satu dideponering, satu jalan, melanggar equality before the law,'' ungkapnya.
Selain itu, lanjut Hendarman, deponering baru bisa dilakukan setelah mendengarkan saran dari lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Hal itu berdasar penjelasan pasal 35 huruf c UU Kejaksaan. Hendarman lantas menceritakan, dalam rapat kerja dengan Komisi III (bidang hukum) DPR pada 9 November 2009, direkomendasikan agar jaksa agung menangani perkara Bibit dan Chandra secara profesional dan hukum pembuktian menurut KUHAP.
Sementara itu, sikap badan yudikatif telah diketahui melalui putusan PN Jaksel dan PT DKI. Yakni, memutus SKPP perkara Bibit-Chandra tidak sah dan mewajibkan melanjutkan penuntutan perkara.
Di tempat terpisah, Bibit dan Chandra tidak mau ambil pusing atas putusan PK tersebut. Sebab, hal itu memang menjadi kewenangan kejaksaan. ''Mau dibawa ke mana, mau pakai opsi apa kasus Bibit-Chandra ini, tidak masalah buat saya. Tapi, bagi (masa depan) KPK, tolong dipikirkan,'' kata Bibit.
Taufik Basari, salah seorang kuasa hukum Bibit-Chandra, menyatakan tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan pihaknya. ''Kami bukan pihak yang terlibat dan hanya bisa menunggu. Kami tidak bisa menghalangi atau mengatakan setuju atau tidak setuju,'' ujarnya.
Pengacara yang akrab disapa Tobas itu menyatakan telah bekerja sama dengan Bibit dan Chandra. Dua pimpinan lembaga superbodi tersebut tetap akan menjalankan tugas seperti biasa.
Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud M.D. mengakui adanya kesan mengulur-ulur waktu pada sikap kejaksaan. Secara tersirat, dia mengungkapkan kekesalannya terhadap korps Adhyaksa itu. ''Sulit bagi saya untuk menebak-nebak niat Kejaksaan Agung, apakah mau mengulur-ulur waktu atau mau memosisikan kasus itu dalam bingkai hukum yang sebenarnya,'' ungkapnya dalam diskusi di Hotel Sahid, Jakarta, kemarin.
Dia pun merasa tak bisa lagi berkata-kata mengenai tarik ulur kasus Bibit-Chandra itu. ''Kita lihat saja lah. Toh, kita sudah dibiasakan melihat hal-hal yang seperti itu. Komentar-komentar tentang itu sudah banyak. Masyarakat tinggal menilai,'' katanya.
Mahfud justru mengajak masyarakat untuk mengembalikan kasus tersebut kepada Tuhan. ''Tuhan akan bekerja sesuai dengan hukum-Nya. Sejarah telah mengajarkan dan akan membuktikan bahwa siapa pun berniat tak baik dalam penegakan hukum dan hak-hak asasi akan menerima karmanya. Sekarang ini, hukum karma saja yang bisa kita harap. Sebab, logika hukum dan hukum acara sering bersilang jalan dan sulit dipahami,'' ujar mantan menteri pertahanan era Presiden Gus Dur itu.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga menilai, langkah kejaksaan mengajukan PK sama saja dengan menggantung dua pimpinan KPK itu. Bahkan, lebih luas, hal tersebut bisa menghambat pemberantasan korupsi. ''Kalau bisa mengambil langkah menghentikan kasus dengan deponering, kenapa tidak dilakukan?'' tegas Emerson Yuntho, wakil koordinator ICW. (sof/fal/aga/kuh/c5/agm)
Sumber: Jawa Pos, 11 Juni 2010