In Depth Analysis: Audit BPK Temukan 8 Masalah Pengelolaan Keuangan di Komnas HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai lembaga kuasi Negara paling diandalkan dalam menegakan HAM di Indonesia sedang dirundung bermacam persoalan. Mulai ketidakpercayaan dari publik sampai issue dugaan korupsi yang dilakukan oleh Komisionernya. Benarkah ada korupsi disana?
Sejumlah desakan datang dari pegawai komnas HAM dan kalangan mesyarakat sipil seperti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka merasa resah atas audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memberikan status “Tidak Menyatakan Pendapat” (disclaimer) terhadap laporan hasil pemeriksaan Komnas HAM tahun 2015. Status ini sudah tentu tidak menguntungkan, karena secara tidak langsung akuntabilitas Komnas HAM menjadi dipertanyakan.
Pihak-pihak tersebut mendesak agar Komnas HAM memberikan penjelasan resmi terkait status disclaimer, meminta penyelidikan terhadap pihak-pihak yang dianggap tidak profesional dalam melaksanakan pengawasannya, pemberian sanksi, sampai pengusutan dugaan korupsi di internal Komnas HAM. Mereka berharap agak Komnas HAM kembali menjadi ujung tombak perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Berdasarkan audit BPK, status disclaimer didasarkan pada 8 kejanggalan dalam pengelolaan keuangan di lingkungan Komnas HAM.
Pertama, realisasi belanja barang dan jasa berindikasi fiktif minimal Rp820,25 juta. Auditor BPK menemukan 671 bukti berbentuk nota/kuitansi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Penelusuran lebih lanjut, ditemukan tiga rekanan pemberi nota/kuitansi yang tidak dapat ditemukan keberadaannya.
Kedua, biaya sewa rumah dinas komisioner senilai Rp330 juta yang tidak sesuai ketentuan. Berdasarkan penelusuran BPK, salah seorang komisioner berinisial DB tidak menempati rumah yang disewa menggunakan anggaran Komnas HAM. Celakanya, dengan menggunakan serangkaian transaksi menggunakan tangan pihak ketiga, uang yang dibayarkan komnas HAM masuk kembali ke rekening pribadi DB.
Ketiga, pembayaran uang saku rapat dalam kantor tidak sesuai ketentuan sebesar Rp2,17 miliar. Prinsipnya pembayaran tersebut tidak sesuai Peraturan Menteri Keuangan, yang mensyaratkan adanya peserta eselon dua/ masyarakat, dilaksanakan minimal 3 jam di luar jam kerja, dan tidak mendapatkan uang lembur.
Keempat, tidak ada bukti pertanggungjawaban sebesar Rp87,35 juta dalam pengadaan jasa konsultasi pengembangan aplikasi pengaduan secara online. Serta terjadi kelebihan pembayaran sebesar Rp12,37 juta dan denda keterlambatan pembayaran sebesar Rp12,20 juta. Lebih parahnya lagi, pembuatan aplikasi yang menelan biaya Rp273,87 juta ini belum bisa dimanfaatkan oleh Komnas HAM.
Kelima, pembayaran honorarium tim pelaksana kegiatan Komnas HAM sebesar Rp925,78 juta tanpa bukti pertanggungjawaban. Selain itu, terdapat biaya honor lainnya sebesar Rp6,006 miliar rupiah yang belum sesuai ketentuan.
Keenam, pelaksanaan pekerjaan pengadaan langganan internet dan pembayaran service charge yang tidak sesuai ketentuan senilai Rp135,96 juta. Kesimpulan ini didapatkan dari evaluasi BPK terhadap sewa gedung dan penggunaan internet padahal gedung tersebut belum dimaksimalkan dipergunakan.
Ketujuh, terdapat penetapan standar biaya yang digunakan oleh Komnas Perempuan yang belum mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan. Menurut ketentuan, mekanisme pelaksanaan dan pelaporan atas hibah langsung dari lembaga pendonor dilaksanakan melalui pengesahan BUN/Kuasa BUN (Bendahara Umum Negara), dan ditetapkan melalui persetujuan Menteri Keuangan.
Terakhir atau kedelapan, terdapat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dari penerimaan jasa giro yang belum diperhitungkan oleh Bank.
Dimana korupsinya? Kedelapan temuan dari BPK mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum oleh penanggung jawab di lembaga Komnas HAM. Jika semua perbuatan melawan hukum yang berujung pada kerugian negara, serta dilakukan secara sengaja (mengetahui dan menghendaki), maka peluang terjadinya korupsi sangat besar. Khususnya pada sejumlah laporan fiktif yang tidak bisa dibuktikan pertanggungjawabannya.***