In-Depth Analysis: Menuntaskan Skandal Korupsi BLBI
Setelah sepuluh tahun tanpa kepastian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Syafruddin A. Tumenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagai tersangka perkara dugaan korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Selasa (25/4) lalu.
Syafruddin saat menjabat sebagai Kepala BPPN dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) terhadap Sjamsul Nursalim, salah satu debitor BLBI Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). KPK menyatakan dugaan kerugian keuangan negara di perkara ini mencapai Rp 3,7 triliun.
Penetapan Syafruddin sebagai tersangka korupsi BLBI oleh KPK merupakan babak baru bagi penyelesaian perkara skandal korupsi BLBI. Skandal korupsi BLBI merupakan salah satu skandal korupsi terbesar dinegeri ini dan dinilai belum pernah tuntas. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2000 menyebutkan kerugian Negara dalam skandal BLBI mencapaiRp 138,4 triliun.
Sebelum ditangani KPK, proses penyelesaian perkara BLBI diwarnai beberapa kebijakandan peristiwa yang kontroversial. Mulai dari pembebasan dan pengampunan (release and disharge) dan pemberian SKL bagi debitor BLBI, penghentian penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi, kaburnya pelaku korupsi BLBI ke luar negeri hingga pengajuan hak interpelasi dan hak angket mengenai BLBI oleh DPR.
Dari sisi penegakan hukum, penuntasan skandal BLBI tak banyak bergerak, terutama sebelum KPK masuk untuk menangani langsung. Langkah terakhir adalah ketika Kejaksaan Agung pada tahun 2007 membentuk tim khusus untuk menyelidiki dua obligor BLBI, yakni Bank Central Asia (BCA) dan BDNI. Namun hanya setahun kemudian, yakni pada 29 Februari 2008 Kejaksaan Agung menghentikan penyelidikan kedua perkara yang diduga melibatkan Sjamsul Nursalim dan Anthony Salim. Mereka menyerahkan perkara tersebut kepada Kementerian Keuangan untuk diselesaikan di luar mekanisme peradilan.
Meski KPK telah memulai babak baru dalam penanganan korupsi BLBI, penyelesaian skandal BLBI tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada KPK semata. Pemerintah khususnya Presiden Joko Widodo sebaiknya perlu mengambil momentum ini untuk menuntaskan masalah BLBI.
Langkah yang bisa dilakukan Jokowi antara lain: (1) mengkaji ulang beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya yang mengistimewakan para debitor BLBI, meskipun mereka tidak kooperatif; (2) mengumumkan kepada publik mengenai laporan perkembangan penyelesaian hutang-hutang para debitor BLBI. Berdasarkan hasil audit BPK tahun 2006 terdapat 10 orang debitor BLBI yang dinilai tidak kooperatif dan 7 orang yang belum melunasi kewajibannya; (3) mereka yang tidak kooperatif harus diserahkan kepada penegak hukum atau KPK agar diproses secara hukum.
Tentu publik berharap KPK mampu menuntaskan dan menjerat semua pelaku yang diduga terlibat dalam skandal BLBI. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk berani mengambil langkah tegas agar uang BLBI yang terlanjur dirampok dapat kembali ke kas negara. Kita belum bisa memperkirakan, apakah penanganan perkara BLBI oleh KPK membuat lembaga anti rasuah ini kian mendapatkan tekanan politik. (Emerson/Adnan)