In-Depth Analysis: Menuntaskan Suap dalam pengadaan satelit di Bakamla
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Fahmi Darmawansyah dengan tuntutan 4 tahun penjara dalam kasus korupsi proyek pengadaan satellite monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) pada 10 Mei 2017 lalu. Penuntutan ini dilakukan KPK setelah sebelumnya menuntut Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus, masing-masing 2 tahun penjara dikurangi masa tahanan.
Berdasarkan konstruksi peristiwa yang tertera dalam surat dakwaan, kasus ini berawal dari Staf Khusus Kepala Bakamla (Fahmi Habsyi/Ali Fahmi) melakukan pertemuan dengan Direktur PT. Melati Tecnofo Indonesia (MTI), Fahmi Darmawansyah pada Maret 2016. Ali menawarkan Fahmi untuk ikut dalam proyek pengadaan satelit dan diduga meminta jatah fee 15 persen jika tender di dapat dimenangkan.
Kesepakatan pun terjadi antara PT. MTI dan sejumlah pejabat Bakamla. Sederhananya, melalui pemberian fee kepada Pejabat Bakamla, Fahmi mendapatkan proyek pengadaan satelit monitoring senilai total Rp 222,43 miliar.
Merujuk pada proses persidangan, modus peyimpangan yang dilakukan merupakan pola yang biasa terjadi dalam pengadaan barang dan jasa, dimana penyedia memberikan/ meminta fee kepada penyelenggara barang dan jasa. Dalam persidangan, penuntut umum yakin jika Fahmi menyuap beberapa pejabat Bakamla, diantaranya Deputi bidang Informasi Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Utama (Sestama) Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2016; Eko Susilo Hadi sebesar 100 ribu dolar Singapura, 88.500 ribu dolar AS, 10 ribu euro; Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitment (PPK) Bambang Udoyo sebesar 105 ribu dolar Singapura ; Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan 104.500 dolar Singapura; dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp 120 juta dengan total suap adalah 309.500 dolar Singapura, 88.500 dolar AS, 10 ribu euro dan Rp 120 juta.
Upaya pengungkapan perkara ini sepertinya tidak akan menemukan hambatan yang berarti, namun demikian ada beberapa hal yang wajib mendapatkan perhatian KPK, Pertama, KPK tetap harus mengawal proses hukum terhadap Bambang Udoyono meskipun telah ditetapkan tersangka oleh Pusat POM TNI. Latar belakangnya Bambang sebagai anggota TNI menyebabkan proses hukum dilakukan terpisah, tentu ini berpotensi menimbulkan kerawanan sehingga KPK tak boleh mengurangi konsentrasi pengawalan terhadap proses hukumnya
Kedua, berdasarkan kesaksian di Pengadilan, diduga aliran dana tidak hanya mengalir kepada pejabat di Bakamla, tetapi juga mengalir kesejumlah anggota DPR. Hal tersebut diperkuat dengan pengakuan terdakwa Fahmi darmawansyah bahwa dirinya mentransfer sejumlah uang kepada politikus Golkar Fayakhun Andriadi sebesar Rp24 miliar untuk membantu mengurus anggaran bersama anggota DPR lainnya, termasuk Fayakhun.
Dan ketiga, tim pencegahan KPK harus melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap praktek pengadaan barang dan jasa di Bakamla. Hal ini mendesak dilakukan mengingat proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara elektronik yang selama ini justru dianggap mampu mereduksi potensi korupsi. (Tama/Agus)