In Depth Analysis: Nurhadi Mundur, Mahkamah Agung Harus Segera Reformasi
Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi mengundurkan diri pada 1 Agustus 2016. Surat pengunduran diri Nurhadi ditujukan ke Presiden Jokowi dan langsung ditandatangani pada tanggal 28 Juli 2016. Alasan Nurhadi mengundurkan diri masih belum diketahui, namun Kepala Biro Hukum dan Humas dari Sekretaris MA, Ridwan Mansyur menyatakan bahwa Nurhadi pensiun dini dan masih menunggu Surat Keterangan (SK) pensiun dari Badan Kepegawaian Negara.
Meskipun alasan pengunduran diri tidak diketahui namun disinyalir terkait kasus suap yang melibatkan panitera/sekretaris Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Eddy Nasution dan Pegawai PT Arta Pratama Anugerah dan tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Nurhadi sendiri dibidik oleh KPK karena diduga juga terlibat, apalagi pada saat penggeledahan ditemukan uang setara Rp 1,7 miliar di dalam kloset rumahnya pada saat penggeledahan, 21 April lalu.
Temuan uang milliaran dalam kloset tentu saja mencurigakan, bukan saja soal motif menyembunyikan kloset tetapi juga soal fantastisnya jumlah kekayaan yang dimiliki Nurhadi. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang dilaporkan oleh Nurhadi pada 7 November 2012, total harta kekayaan yang ia memiliki sebesar Rp 33,4 miliar. Di sisi lain, gaji pokok yang diterima eselon 1 pada tahun 2013 hanya sebesar Rp 19 juta. Sedangkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 128/KMA/SK/VIII/2014 tentang Tunjangan Khusus Kinerja Pegawai Negeri di Lingkungan Mahkamah Agung, tunjangan untuk Sekretaris Mahkamah Agung sebesar Rp 32 juta.
Jika dibandingkan profil antara gaji dan tunjangan sebagai sekretaris MA dengan total harta kekayaan yang dimiliki, sangat tidak mungkin mendapatkan harta kekayaan tersebut di usia 47 tahun. Nurhadi membutuhkan waktu sekitar 54 tahun untuk mengumpulkan harta sebanyak Rp 33,4 miliar dengan asumsi tidak mengeluarkan uang sepersen pun. Pertanyaannya adalah darimana Nurhadi mendapatkan semua kekayaannya tersebut?
Diselidikinya Nurhadi oleh KPK dan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali Kamar Perdata dan Tata Laksana Perkara seharusnya menjadi pintu masuk dalam mereformasi lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Seperti diketahui, sepanjang semester I 2016, KPK telah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak empat kasus yang pelakunya berasal dari lembaga peradilan. Beberapa diantaranya seperti kasus suap untuk meringankan vonis hakim bagi Saipul Jamil dan kasus suap penanganan perkara perdata di Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi harus bisa menunjukkan wibawanya dengan mengedepankan integritas setiap pejabat di lingkungan MA. Hal tersebut dicerminkan dengan taat dan jujur dalam melaporkan harta kekayaan. Terungkapnya harta tidak wajar yang dimiliki oleh Nurhadi seharusnya dijadikan momentum bagi MA untuk menyeleksi setiap calon yang akan menggantikan posisi sekretaris MA tersebut. Bila perlu, lembaga tersebut mewajibkan setiap calon untuk melaporkan harta kekayaannya secara jujur dan transparan. Membuat tim khusus dalam menelusuri harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap pejabat di lingkungan MA pun juga merupakan solusi agar MA terbebas dari mafia hukum.