In-Depth Analysis: Pansus Angket KPK Tidak Sah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Susunan pansus ini telah diumumkan pada akhir Rapat Paripurna, 30 Mei 2017. Pansus terdiri dari 16 nama yang berasal dari 5 fraksi, yaitu PDIP, Golkar, PPP, Nasdem, dan Hanura, yang adalah partai-partai pendukung pemerintah.
Perwakilan pansus dari fraksi PDIP adalah Masinton Pasaribu, Eddy Kusuma Wijaya, Risa Mariska, Adian Yunus Yusak, Arteria Dahlan, dan Junimart Girsang. Dari fraksi Golkar adalah Bambang Soesatyo, Adies Kadir, Mukhamad Misbakhun, John Kennedy Azis, Agun Gunanjar. Dari fraksi PPP adalah Arsul Sani dan Anas Thahir. Dari fraksi Nasdem adalah Taufiqulhadi dan Ahmad HI M. Ali. Dari fraksi Hanura adalah Dossy Iskandar.
Masih ada 5 fraksi yang belum mengirimkan perwakilan di pansus KPK ini. Lima fraksi tersebut adalah Demokrat, PKS, Gerindra, PAN, dan PKB. Fraksi PKS dan Demokrat telah menyatakan tidak mengirimkan perwakilan dalam pansus karena dapat melemahkan kinerja pemberantasan korupsi oleh KPK. Lebih lanjut, Agus Hermanto, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, menyatakan jika pansus terbentuk, maka akan mengganggu kinerja KPK yang saat ini sedang banyak PR untuk membongkar kasus korupsi.
Terpecahnya suara dalam DPR membuat keabsahan pembentukan pansus hak angket terhadap KPK dipertanyakan. Dalam Undang-Undang No. 14 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pasal 201 dinyatakan unsur angket harus terdiri dari semua anggota fraksi. Hingga saat ini dari 10 fraksi dalam DPR, setengah menyatakan setuju dan setengah menyatakan menolak. Setengah yang menyatakan setuju bahkan datang dari partai pendukung pemerintah. Perlu diingat, wacana penggunaan hak angket KPK berawal dari desakan Komisi III DPR kepada KPK untuk membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani, kolega DPR dari Fraksi Hanura. Dengan tidak bulatnya suara di tingkat fraksi, bisa diartikan pansus angket KPK yang hanya terdiri dari 5 fraksi tidak sah.
Selain itu, materi penyelidikan dalam hak angket DPR memuat poin yang dapat bertentangan dengan Pasal 17 huruf a UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam pasal ini dijelaskan bahwa informasi yang dapat menghambat proses penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana tergolong pada informasi yang dikecualikan. Sedangkan dalam penggunaan hak angket, pansus akan memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan dan dokumen yang diminta pansus. Padahal, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, angket DPR terhadap KPK ini akan banyak berkaitan dengan penanganan kasus E-KTP oleh KPK yang masih berjalan.
Pembentukan pansus ini juga sarat dengan konflik kepentingan. Diantara nama perwakilan pansus, Agun Gunanjar dari Golkar, disebut dalam dakwaan kasus E-KTP sebagai pihak yang diuntungkan dalam perkara tersebut. Selain itu, Masinton Pasaribu dari PDIP adalah pihak yang dalam kesaksian Novel Baswedan di persidangan tanggal 30 Maret 2017, disebut sebagai salah satu pihak yang menekan saksi Miryam S. Haryani untuk tidak mengakui fakta-fakta menerima dan membagikan uang. (press release ICW)
Jika Pansus tidak sah ini tetap dipaksakan terbentuk, tentu akan ada persoalan hukum di depannya. Persoalan hukum yang dimaksud seperti penggunaan anggaran dan seluruh fasilitas yang digunakan oleh pansus. Tentu ini akan berpotensi menjadi kerugian negara karena anggaran bersumber dari APBN. Selain itu, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh pansus angket KPK ini juga akan dapat dipersoalkan dalam ranah hukum.*** (Dewi/Adnan)