In-Depth Analysis: Surat Peringatan untuk Novel Baswedan, Usaha Pelemahan dari Dalam?
21 Maret 2017, penyidik tersohor KPK, Novel Baswedan, diberi surat peringatan kedua (SP2) oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tak ada alasan jelas mengapa peringatan itu keluar. Namun yang pasti, setelah SP2 itu menjadi konsumsi publik, selang 7 hari kemudian, yakni pada 27 Maret 2017 SP2 untuk Novel Baswedan dicabut. Pimpinan KPK melalui Agus Rahardjo hanya mengatakan jika penyidik KPK diminta untuk fokus pada penanganan kasus-kasus penting.
Badai internal KPK ini bermula ketika Direktur Penyidikan KPK, Brigadir Jenderal Polisi Aris Budiman, mengirim surat dinas kepada Kepala Biro Sumber Daya Manusia pada 8 Februari 2017, agar dibuka rekrutmen untuk penyidik senior dari Kepolisian karena ada lima kursi Kepala Satuan Tugas di KPK yang kosong. Surat dinas itu langsung diprotes Novel Baswedan sebagai Ketua Wadah Pegawai KPK, karena pembukaan penyidik polisi akan berakibat pada penutupan jenjang karir fungsional penyidik dari internal KPK. Ia juga menyoroti kinerja Arisyang tak banyak memberi masukan dalam penyidikan perkara besar. Novel bahkan menganggap Aris tak berintegritas.
Pada akhir Februari 2017, sejumlah penyidik KPK dari Kepolisian mengadukan Novel Baswedan karena marah terhadap surat protes Novel yang ditujukan kepada pimpinan KPK. Pada awal Maret 2017, pengawas internal KPK memanggil Novel dan Aris yang dianggap sebagai sumber kekisruhan. 21 Maret 2017, empat pimpinan KPK setuju Novel Baswedan diberi surat peringatan karena memprotes nota dinas Aris Budiman (Sumber: Majalah Tempo Edisi 3-9 April 2017). Sayangnya, tidak disebutkan siapa Pimpinan KPK yang tak setuju adanya SP untuk Novel.
Sebenarnya ada tiga alasan yang membuat Novel keberatan, yaitu pertama, meminta perwira tinggi Polri sebagai Kasatgas Penyidikan di KPK tidak sesuai dengan prosedur rekrutmen KPK yang seharusnya. Kedua, Wadah Pegawai mengkhawatirkan integritas perwira yang direkrut tanpa prosedur reguler. Ketiga, masih banyak penyidik di internal KPK yang dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menjadi Kasatgas Penyidikan, sehingga diharapkan rekrutmen dilakukan dari internal terlebih dahulu.
Mudahnya pimpinan KPK mengeluarkan SP untuk Novel mensiratkan absennya visi pimpinan KPK untuk memperkuat kelembagaan KPK, terutama agar KPK bisa menjadi institusi yang independen. Apalagi yang sebenarnya digugat oleh Novel adalah masalah esensial KPK, yakni bagaimana KPK memiliki penyidik yang berintegritas dan mandiri tanpa terlalu bergantung pada Kepolisian.
Pimpinan KPK agaknya telah melupakan betapa pentingnya KPK memiliki penyidik mandiri. Independensi KPK salah satunya ditunjukkan dari independensi para pegawainya, terutama pada ranah penindakan. Mungkin usaha melemahkan KPK tidak mudah ketika dilakukan dari luar, tapi apa yang kita saksikan dalam drama SP2 untuk Novel, menggambarkan pergolakan internal KPK yang bisa secara perlahan-lahan menjadikan KPK sebagai macan ompong. (Dewi/Adnan)