Desentralisasi Pemberantasan Korupsi

Inti KKN tidak lain dari korupsi, sementara otonomi daerah adalah desentralisasi.

Pemberantasan korupsi masih mengawang-awang dan sentralistis. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, dan Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, misalnya, masih menitikberatkan skenario pemberantasan korupsi di tingkat pusat yang kemudian diharapkan akan turun ke bawah (trickle-down effect).

Apalagi Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi 2004-2009 yang telah disusun lebih banyak mengarah ke instansi yang berada di tingkat pusat. Sementara itu, dengan perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah saat ini, aliran dana dan kewenangan telah banyak beralih ke daerah-daerah. Artinya, aliran korupsi bukan tidak mungkin mengarah ke daerah-daerah dengan istilah desentralisasi korupsi.

Berkaitan dengan ini, kita ingat kembali tiga isu utama tuntutan para pejuang reformasi 1998, yaitu turunnya Soeharto, pemberantasan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta otonomi yang luas pada daerah. Setelah Soeharto turun, tinggal dua isu yang mengemuka, yakni KKN dan otonomi yang luas pada daerah. Inti KKN tidak lain dari korupsi, sementara otonomi daerah adalah desentralisasi.

Kedua isu diyakini merupakan kegagalan Orde Baru dalam menjalankan pemerintahan dengan jargon yang disebut pembangunan. Menjelang kejatuhan Orde Baru, praktek penyelenggaraan pemerintahan sangat sarat KKN (Dadang Trisasongko, Serambi Indonesia, 25 September). Sedangkan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistis telah menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi daerah.

Di era reformasi, kedua isu tersebut menjadi prioritas penting bagi pemerintah yang berkuasa. Beberapa produk politik telah lahir untuk membuktikan keseriusan pemerintah. Beberapa peraturan perundangan telah lahir guna memberantas korupsi dan mengatasi masalah pemerintahan yang sentralistis.

Sebagai imbas dari undang-undang tentang pemerintah daerah tersebut, bertambahlah kewenangan yang dimiliki oleh daerah dan mengalirlah uang dari pusat ke daerah. Beberapa daerah menjadi kaya mendadak dengan adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Namun, kewenangan dan kekuasaan mengelola uang besar cenderung membuat anggaran yang kurang rasional pula. Kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat di daerah yang merupakan tujuan awal dari tuntutan otonomi daerah menjadi jauh dari harapan. Elite politik dan birokrasi di daerah ramai-ramai menggerogoti anggaran. Sebut saja, misalnya, korupsi berjemaah yang dilakukan anggota DPRD di daerah yang menggunakan anggaran tak masuk akal serta di luar asas kewajaran dan kepatutan. Ada juga daerah kabupaten yang mensponsori atau menjadi promotor olahraga tinju dan balap mobil. Apa hubungan tinju dan balap mobil bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat?

Karena itu, desentralisasi dalam kewenangan dan anggaran hendaknya juga dibarengi dengan desentralisasi dalam pemberantasan korupsi. Kreasi-kreasi dalam menghabiskan anggaran juga harus diikuti dengan pengawasan yang kreatif. Jika di pusat, Bappenas mengkoordinasi penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi, di daerah perlu dibuat Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004, yang merupakan payung hukum Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi, secara khusus diinstruksikan kepada gubernur dan wali kota/bupati untuk menerapkan good governance di lingkungan pemerintah daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan menekan pungutan liar dalam pelaksanaan pelayanan publik, bersama-sama DPRD, untuk melakukan pencegahan atas peluang kebocoran terhadap anggaran negara dan anggaran daerah.

Pemberantasan korupsi bukanlah ranah yang harus diperdebatkan kewenangannya. Baik pusat maupun daerah punya kewenangan yang sama dalam agenda ini. Agar pemberantasan korupsi lebih terarah, dibutuhkan rencana yang konkret dalam pemberantasan korupsi tersebut. Perencanaan yang matang diyakini akan mampu mencapai tujuan yang lebih terukur. Perencanaan yang baik dapat menghasilkan program yang terencana, terukur, terarah, akseptabel, dan kapabel untuk dijalankan semua pihak.

Namun, jika perencanaannya gagal, itu sama dengan merencanakan suatu kegagalan. Pengejawantahan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 bagi gubernur/bupati/wali kota dan DPRD akan lebih berhasil jika perencanaannya dibuat secara matang. Bisa saja pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah yang berisi rencana aksi daerah sebagai payung hukum pelaksanaannya di daerah. Jika daerah bisa menerbitkan peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam, mengapa tidak mungkin daerah juga menerbitkan peraturan daerah yang bernuansa pemberantasan korupsi?

Selain itu, adanya rencana aksi daerah yang konkret dalam pemberantasan korupsi merupakan bukti bahwa daerah punya komitmen yang jelas dalam pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi tidak hanya dalam tataran niat dan angan-angan, bahkan jargon politik, tapi juga diimplementasikan secara nyata dalam kegiatan. Sangat aneh jika ada daerah yang tidak mau membuat perencanaan dalam memberantas korupsi.

Bukti lain dari seriusnya daerah dalam menekan korupsi adalah terakomodasinya rencana aksi daerah ini dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dengan adanya kegiatan pemberantasan korupsi yang nyata dalam APBD, pemberantasan korupsi sudah masuk wilayah agenda daerah yang harus dilaksanakan, baik secara hukum maupun politik.

Diharapkan, dengan adanya Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi, pelayanan publik di daerah dapat lebih terjamin. Hal yang aneh jika kita ingin berhasil memberantas korupsi di daerah tapi tanpa rencana aksi yang konkret. Apakah korupsi itu akan terhapus hanya dengan berbekal keajaiban? Untuk itu, Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi bisa menjadi indikator bahwa daerah tersebut serius dalam memberantas korupsi dan juga cerminan dari telah terdesentralisasinya agenda pemberantasan korupsi.

Henry Siahaan dan Ainul Ridha, Anggota Tim Program Anti-Korupsi Partnership (Kemitraan), Jakarta

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 17 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan