Destigmatisasi Bank Indonesia
Indonesia adalah negara anomali. Di tengah huru-hara ekonomi dunia, politisi Indonesia justru sibuk berdagang sapi. Akibatnya, anomali melahirkan anomali, salah satunya adalah depresiasi rupiah.
Indonesia adalah negara anomali. Di tengah huru-hara ekonomi dunia, politisi Indonesia justru sibuk berdagang sapi. Akibatnya, anomali melahirkan anomali, salah satunya adalah depresiasi rupiah.
Kini, mata uang nasional seharusnya menguat bila ditinjau dari kecenderungan penguatan nilai mata uang negara lain terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya.
Demikian pula, dari kaidah keseimbangan suku bunga antarnegara, penurunan Fed rate dari 3,00 persen menjadi 2,25 persen (sementara BI rate bertahan 8,0 persen) menyebabkan meningkatnya perbedaan suku bunga antara AS dan Indonesia, membuat rupiah undervalued.
Nilai rupiah
Mengikuti kaidah suku bunga itu, pasar seharusnya mengoreksi nilai rupiah terhadap dollar AS. Namun, yang terjadi justru sebaliknya sehingga depresiasi yang ada bukan diakibatkan terutama oleh faktor suku bunga, melainkan anomali ini lebih disebabkan oleh adanya ekspektasi inflasi domestik yang lebih tinggi ketimbang negara lain, termasuk AS, pada bulan-bulan mendatang.
Ekspektasi inflasi sendiri disebabkan beberapa hal. Pertama, potensi peningkatan defisit anggaran akibat belum tuntasnya fine tuning anggaran. Kedua, masih banyaknya gangguan sisi produksi dalam negeri, baik karena faktor alam maupun bukan, terutama di pertanian dan industri. Ketiga, kasus suap BLBI yang melibatkan Bank Indonesia (BI) dan pemilihan gubernur baru, sarat dengan intrik kelas tinggi.
Hal terakhir menarik dielaborasi. Rupiah adalah satu leading indicator dari tingkat kepercayaan pemodal terhadap pengelolaan ekonomi nasional. Penurunan kepercayaan akan meningkatkan nilai dan kenaikan kepercayaan akan mengakibatkan sebaliknya. Dalam hal ini, berbagai intrik dan rekayasa hukum terbukti berpengaruh pada fokus BI mengendalikan inflasi inti, yang meningkat tajam dua bulan terakhir (Januari-Februari 2008). Inflasi tahun berjalan 2008 sebesar 2,44 persen merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir. Bahkan, bila dibandingkan dengan tahun 2006, di mana terjadi kenaikan subsidi BBM, hanya menghasilkan inflasi berjalan 1,95 persen hingga Februari. Yang menyedihkan, kenaikan ini banyak dipengaruhi komponen inflasi inti (30 persen), yang biasanya relatif terkendali berkat keandalan BI.
Dari fenomena itu, agaknya tidak terlalu salah bila dikatakan selain high oil-price effect, ada KPK-Burhanuddin effect sebagai penyebab meroketnya inflasi.
Maka, jelas, buku bunga bukan faktor di balik peningkatan ekspektasi inflasi dan depresiasi rupiah. Untuk itu, BI rate seharusnya turun, setidaknya sama dengan penurunan Fed rate sebesar 75 basis poin menjadi 7,25 persen. Penurunan ini selain untuk meredam capital inflow berupa dana-dana jangka pendek, yang terbukti bisa merusak juga untuk menstimulasi konsumsi dan investasi domestik guna mencegah terjadinya resesi domestik.
Percepatan konversi dollar
Namun, pada saat sama, penurunan ini harus diimbangi antisipasi lain, terutama yang terkait nilai rupiah. Kebijakan konvesional berupa intervensi pada pasar valuta asing harus dikurangi dan dilakukan secara lebih selektif mengingat hal ini tidak lagi efektif. Sebab, gejolak yang ada karena persoalan jangka panjang (produksi) dan kepercayaan, bukan akibat persoalan jangka pendek, ketidakseimbangan pasar uang.
Langkah yang bisa ditempuh BI, selain intervensi selektif, adalah pembuatan peraturan percepatan konversi dollar yang dimiliki eksportir, terutama dari BUMN. Cara lain, pemberian fasilitas pembelian dalam dollar oleh BI bagi BUMN, seperti pembelian minyak oleh Pertamina. Dengan fasilitas ini, mereka tidak perlu lagi masuk pasar valas yang menyebabkan tekanan terhadap rupiah.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah faktor psikologi pasar atas rupiah. Di sini, peningkatan kredibilitas BI sebagai pengendali moneter adalah krusial. Untuk itu, politisasi hukum dan stigmatisasi BI dalam kasus BLBI sejauh mungkin harus dihentikan. Bila politisasi terus berlanjut dan hukum menjadi komoditas politik, sulit berharap ada perbaikan psikologis pasar yang pada gilirannya akan memengaruhi nilai rupiah dan mengganggu stabilitas makro secara umum.
Bagi pemerintah, kini prioritas utama yang harus dibenahi adalah kebijakan anggaran. Perubahan anggaran yang akan diajukan harus realistis. Jangan lagi ada asumsi-asumsi tidak masuk akal untuk kemudian disiasati dengan aneka tindakan ad-hoc, misalnya menambah utang guna menutup defisit. Pasar cukup cermat dan bisa menebak langkah-langkah ini sehingga yang terjadi sekadar peningkatan ketidakpercayaan.
Begitu juga